Erwin Aksa, Sungguh Terlalu: Kau Tega Menambah Duka dan Lara
Oleh : Nasrudin Joha
Belum kering perih dan luka, akibat OTT Rommy oleh KPK, Erwin Aksa datang, menabur garam dan air cuka diatas luka dan derita petahana. Betapa tidak, jatuhnya Rommy di tangan KPK, menjadi pukulan telak bagi kubu petahana.
TKN Jokowi masih terus membentengi banjir bandang akibat OTT KPK terhadap Rommy, elektabilitas petahana ikut terseret arus besar banjir bandang. Bidak talut yang dibangun bocor sana sini, unggahan 'OTT Rommy masalah pribadi' tak mampu melawan asosiasi publik atas apa yg terjadi pada Rommy yang berimbas pada kubu Jokowi.
Ya, persoalan luka yang menganga akibat ulah Rommy, belum sepenuhnya terjahit sempurna. Malahan, luka itu semakin menganga dan bernanah. Sulit bagi kubu Jokowi untuk selamat, jika tidak melakukan 'operasi amputasi'. Agar luka itu tidak menjalar ke tubuh petahana. Hanya saja, mengambil opsi amputasi pada masa injury time, juga tidak memberi tangguh kesembuhan, hingga hari pencoblosan.
Luka itu masih sakit, terasa perih, pedih tak terkira. Tiba-tiba Erwin Aksa, deklarasi terbuka mendukung kubu 02. Onde mande, ini ibarat air cuka dan garam yang disiramkan ketubuh petahana yang terluka dan menganga.
Padahal, Erwin bisa mengambil opsi mendukung 02 secara implisit, tidak perlu terbuka. Erwin bisa memainkan karakter senasabnya, JK. JK tak terprediksi, meskipun memberikan dukungan implisit tapi pada beberapa kasus JK Tetap eksplisit bersama di kubu 01. JK, adalah karakter pedagang tulen yang bisa mengatur bobot kesetimbangan politik pada neraca bisnisnya.
Ini juga bukan hanya soal Erwin, tapi barisan lain dibelakang Erwin. Diketahui, geng Golkar tidak sepenuhnya mendukung petahana. Secara formal Golkar berkoalisi, secara substansial Golkar berdiri di dua kaki.
Tidak mustahil, selain membawa gerbong yang cukup besar, tindakan Erwin ini menginspirasi banyak tokoh lainnya, baik dari Golkar maupun diluar Golkar, untuk terbuka berbeda poros dengan petahana. Apalagi, saat ini berjibaku mendukung Jokowi itu tidak menguntungkan secara politik.
Tindakan Erwin ini, bisa menjadi dalih banyak faksi yang tidak kebagian komitmen kekuasaan di kubu petahana, segera hengkang dan mencari garis kesetimbangan politik yang lebih menguntungkan. Setidaknya, yang lebih aman.
Terus berjibaku di kubu Jokowi, padahal tanda kekalahan petahana semakin tampak jelas bagi siapapun yang mengamati politik, adalah pilihan tak bijak dan bisa disebut konyol. Tak ada garansi aman bersama kubu Jokowi, Novanto dan Idrus Marham juga menjadi tumbal setelah peran mereka tak diperhitungkan.
Lebih baik mendapat predikat kejam secara politik, ketimbang naif menjadi korban politik. Mengambil opsi hengkang pada saat kubu petahana terluka, tentu bisa dianggap kejam secara politik. Tetapi, berdalih mengikuti aspirasi rakyat akan lebih elegan ketimbang tetap berjibaku di kubu petahana, padahal disana tidak mendapat konsesi apa apa.
Lebih jauh, mengamankan suara partai tentu jauh lebih urgen ketimbang mengamankan suara Jokowi. Biarlah, PDIP yang tetap konsisten menjadi penjaga Jokowi. Partai lain ? Saya kira, melihat situasi politik kekinian, semua musti berfikir berbeda. [].
Sumber: konfrontasi
Oleh : Nasrudin Joha
Belum kering perih dan luka, akibat OTT Rommy oleh KPK, Erwin Aksa datang, menabur garam dan air cuka diatas luka dan derita petahana. Betapa tidak, jatuhnya Rommy di tangan KPK, menjadi pukulan telak bagi kubu petahana.
TKN Jokowi masih terus membentengi banjir bandang akibat OTT KPK terhadap Rommy, elektabilitas petahana ikut terseret arus besar banjir bandang. Bidak talut yang dibangun bocor sana sini, unggahan 'OTT Rommy masalah pribadi' tak mampu melawan asosiasi publik atas apa yg terjadi pada Rommy yang berimbas pada kubu Jokowi.
Ya, persoalan luka yang menganga akibat ulah Rommy, belum sepenuhnya terjahit sempurna. Malahan, luka itu semakin menganga dan bernanah. Sulit bagi kubu Jokowi untuk selamat, jika tidak melakukan 'operasi amputasi'. Agar luka itu tidak menjalar ke tubuh petahana. Hanya saja, mengambil opsi amputasi pada masa injury time, juga tidak memberi tangguh kesembuhan, hingga hari pencoblosan.
Luka itu masih sakit, terasa perih, pedih tak terkira. Tiba-tiba Erwin Aksa, deklarasi terbuka mendukung kubu 02. Onde mande, ini ibarat air cuka dan garam yang disiramkan ketubuh petahana yang terluka dan menganga.
Padahal, Erwin bisa mengambil opsi mendukung 02 secara implisit, tidak perlu terbuka. Erwin bisa memainkan karakter senasabnya, JK. JK tak terprediksi, meskipun memberikan dukungan implisit tapi pada beberapa kasus JK Tetap eksplisit bersama di kubu 01. JK, adalah karakter pedagang tulen yang bisa mengatur bobot kesetimbangan politik pada neraca bisnisnya.
Ini juga bukan hanya soal Erwin, tapi barisan lain dibelakang Erwin. Diketahui, geng Golkar tidak sepenuhnya mendukung petahana. Secara formal Golkar berkoalisi, secara substansial Golkar berdiri di dua kaki.
Tidak mustahil, selain membawa gerbong yang cukup besar, tindakan Erwin ini menginspirasi banyak tokoh lainnya, baik dari Golkar maupun diluar Golkar, untuk terbuka berbeda poros dengan petahana. Apalagi, saat ini berjibaku mendukung Jokowi itu tidak menguntungkan secara politik.
Tindakan Erwin ini, bisa menjadi dalih banyak faksi yang tidak kebagian komitmen kekuasaan di kubu petahana, segera hengkang dan mencari garis kesetimbangan politik yang lebih menguntungkan. Setidaknya, yang lebih aman.
Terus berjibaku di kubu Jokowi, padahal tanda kekalahan petahana semakin tampak jelas bagi siapapun yang mengamati politik, adalah pilihan tak bijak dan bisa disebut konyol. Tak ada garansi aman bersama kubu Jokowi, Novanto dan Idrus Marham juga menjadi tumbal setelah peran mereka tak diperhitungkan.
Lebih baik mendapat predikat kejam secara politik, ketimbang naif menjadi korban politik. Mengambil opsi hengkang pada saat kubu petahana terluka, tentu bisa dianggap kejam secara politik. Tetapi, berdalih mengikuti aspirasi rakyat akan lebih elegan ketimbang tetap berjibaku di kubu petahana, padahal disana tidak mendapat konsesi apa apa.
Lebih jauh, mengamankan suara partai tentu jauh lebih urgen ketimbang mengamankan suara Jokowi. Biarlah, PDIP yang tetap konsisten menjadi penjaga Jokowi. Partai lain ? Saya kira, melihat situasi politik kekinian, semua musti berfikir berbeda. [].
Sumber: konfrontasi