KPU Hancur Hancuran
10Berita - KPU menjadi sorotan sejak mengumumkan hasil penghitungan lembaga survey mengenai quick count lalu terjadi pengulangan salah input data Situng, kemudian publikasi yang dikritisi ada dugaan permainan yang bersifat penggiringan opini dan penyesatan. Bawaslu baik pusat maupun daerah menerima banyak pengaduan kecurangan. Akhirnya Bawaslu pusat menyidangkan pengaduan BPN Prabowo Sandi. Putusan menyatakan sah dan meyakinkan KPU melanggar tatacara dan prosedur pendaftaran dan pelaporan lembaga survey quick count. Juga kesalahan administrasi KPU mengenai tatacara penginputan Situng. Artinya KPU bersalah dan dihukum.
Soal efek dari quick count dan kesalahan input Situng jelas sangat nyata. Masyarakat terkecohkan oleh proses yang dilakukan KPU dan tentu salah satu pasangan calon Presiden/Wapres telah sangat diuntungkan oleh kesalahan ini. Karenanya meskipun hal ini adalah kesalahan administrasi tapi fatal dan berdampak sistemik. Apalagi kesalahan admnistrasi KPU menurut peraturan perundang-undangan bisa berakibat pada diskualifikasi pasangan calon. Berarti kesalahan administrasi adalah kesalahan mendasar dalam hukum Pemilu.
KPU yang harus mengumumkan hasil Pemilu baik Pilpres maupun Pileg dalam waktu dekat menghadapi masalah berat. Pertama masyarakat yang melihat KPU sebagai wasit yang tak netral. Tidak menjalankan pemilu dengan asas jujur dan adil. Kedua kini Bawaslu telah menghukum KPU melakukan kesalahan tata cara dan prosedur. Ada amar putusan yang menjadi “hukuman” pada KPU. Secara moral politik dan hukum KPU mengalami posisi “hancur-hancuran”. Kepercayaan yang rendah. Dalam permainan sepak bola KPU sudah kena “kartu kuning” bahkan wasit yang tegas akan berani akan langsung mengeluarkan “kartu merah”.
Dalam peradilan dengan sistem jury dimana elemen masyarakat turut menilai, maka KPU sebenarnya sudah dalam status vonis “guilty” tinggal tunggu jenis hukumannya saja. Wasit yang berat sebelah. Kejahatan demokrasi.
Pilihan langkah KPU menentukan bentuk reaksi publik yang sudah mulai gerah bahkan marah. Kembali ke jalan yang benar untuk mengambil langkah yang jujur dan adil dengan menghargai suara rakyat. Atau tetap nekad pada skim lama yang berbau rekayasa. Jika pilihan kedua yang diambil maka kedaulatan rakyat akan bergerak dinamis dalam polanya sendiri. KPU tidak cukup selesai dengan “kartu merah” yang mengeluarkan dari lapangan permainan, akan tetapi berlanjut ke meja hukum pidana sebagai pelaku atau turut serta dalam melakukan kejahatan demokrasi. Palu hakim sudah diangkat. Tinggal diketukkan.
As you like it.
Bandung, 16 Mei 2019
*Penulis: M Rizal Fadillah (Pemerhati sosial politik)
sumber: swamedium