OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Sabtu, 22 Juni 2019

Dari Piagam Jakarta ke Pancasila: Mencari Makna Ketuhanan (Bag. 3)

Dari Piagam Jakarta ke Pancasila: Mencari Makna Ketuhanan (Bag. 3)

Oleh: Beggy Rizkiansyah, pegiat Jejak Islam untuk Bangsa
[Tulisan ini adalah bagian terakhir dari tiga tulisan] Baca tulisan sebelumnya

10Berita– Perjalanan Piagam Jakarta memang penuh lika-liku. Namun memandang Piagam Jakarta satu momok menakutkan bertentangan dengan kenyataan sejarah. Faktanya, Piagam Jakarta justru menjadi titik awal Pancasila yang diterima saat ini (minus tujuh kata) ketimbang konsepsi awal Pancasila 1 Juni yang diajukan Soekarno.
Kedua, Piagam Jakarta bukanlah semacam aib, ia justru menjiwai Undang-Undang Dasar 1945. Dan sesuai penjelasan pemerintah kala itu, makna menjiwai bukanlah etalase politik, hiburan bagi umat Islam, atau pemanis bibir semata, tetapi mengandung konsekuensi hukum.
Hal ini dapat dicermati dari jawaban Pemerintah (diwakili Perdana Menteri Djuanda) saat ditanya oleh K.H. Achmad Sjaichu dari Nadhlatul Ulama. Dalam sesi resmi dihadapan Dewan Perwakilan Rakyat tersebut, K.H. Achmad Sjaichu menanyakan apakah pengakuan Piagam Jakarta berarti pengakuan sebagai ‘dokumen historis’ saja ataukah mempunyai akibat hukum, sehingga atas dasar itu bisa diciptakan undang-undang yang sesuai dengan syariat Islam bagi pemeluknya.
Pemerintah kemudan menjawab bahwa “perkataan ‘Ketuhanan’ dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dapat diberikan arti ‘Ketuhanan, dengan kewadjiban bagi ummat Islam untuk mendjalankan sjari’atnya’ sehingga atas dasar itu dapat ditjiptakan perundang-undangan bagi para pemeluk agama Islam, jang dapat disesuaikan dengan sjari’at Islam.”(Kementerian Penerangan R.I. : 1964)
Ketiga, dan paling penting, Piagam Jakarta adalah hasil kompromi yang mengakomodir aspirasi umat islam yang diwakili para tokohnya kala itu. Oleh sebab itu, memahami Sila Ketuhanan yang Maha Esa (meski tanpa 7 kata dalam piagam Jakarta), tak bisa dilepaskan dari pemaknaan yang dikehendaki saat itu, terutama para perumusnya dalam Panitia Sembilan dan para tokoh bangsa yang terlibat dan berperan besar dalam Sidang BPUPKI.
Mencari (Makna) KetuhananPada dasarnya, Pancasila menurut Moh. Hatta yang terlibat dalam Panitia Sembilan mengandung dua pengaruh, yaitu Agama (Islam) dan Sosialisme Barat. Sila Ketuhanan yang Maha Esa tentu saja tidak bisa dilepaskan dari kompromi politik pada saat itu.
Menurut Penjelasan resmi UUD 1945 yang diterbitkan oleh pemerintah; “Memang untuk mnyelidiki hukum dasar (droit constitutonel) suatu Negara, tidak cukup hanya menyelidiki pasal-pasal Undang-undang Dasarnya (loi consitutionelle) saja, akan tetapi harus menyelidiki juga bagaimana prakteknya dan bagaimana suasana kebatinannnya (geistilichen Hintergrund) dari Undang-undang Dasar itu. (Endang Saifuddin Anshari: 1981)
Undang-undang Dasar Negara mana pun tidak dapat dimengerti kalau hanya dibaca tekstnya saja. Untuk mengerti sungguh-sungguh maksudnya Undang-undang Dasar dari suatu negara kita harus mempelajari juga bagaimana terjadinya tekst itu, harus diketahui keterangan-keteranganya dan juga harus diketahui dalam suasana apa teks itu dibikin.”
Suasana kejiwaan dan latar belakang terciptanya Undang-undang tersebutlah, baik Piagam Jakarta atau Dekrit Presiden tak dapat dilepaskan sebagai satu wadah yang  menampung aspirasi umat Islam kala itu. Mustahil jika UUD 1945 yang diajukan pemerintah lewat Dekrit diterima oleh wakil umat Islam kala itu jika tak menyerap aspirasi mereka yang terkait dengan syari’at Islam.
Salah satu yang terpenting tentu saja sila pertama, Sila Ketuhanan yang Maha Esa berpengaruh besar dalam Pancasila. Seperti yang disebutkan Bung Hatta di atas, Sila Ketuhanan Yang Maha Esa dengan didudukkan tidak lagi sekedar hormat-menghormati antara pemeluk beragama, tetapi sebagai dasar yang memimpin sila lainnya. Sebab menurut Bung Hatta adalah sila yang mempengaruhi sila-sila lainnya. “Dasar Ketuhanan Yang Maha Esa jadi dasar yang memimpin cita-cita kenegaraan kita untuk menyelenggarakan segala yang baik bagi rakyat dan masyarakat.”(Moh. Hatta, Ahmad Soebadrjo Djojoadisurjo, et al: 1984)
Sila-sila tersebut bukanlah berdiri sendiri-sendiri dan tidak mempengaruhi. Sila Pertama yang disebut memimpin cita-cita kenegaraan dan juga mengikat sila lainnya. Menurut Bung Hatta dalam Uraian Pancasila (1984), “…bahwa kelima sila itu ikat-mengikat. Yang harus disempurnakan dalam Pancasila ialah kedudukan manusia sebagai hamba Allah, yang satu sam lain harus merasa bersaudara. Oleh karena itu pula sila kemanusiaan yang adil dan beradab langsung terletak di bawah sila pertama.”(Moh. Hatta, Ahmad Soebadrjo Djojoadisurjo, et al: 1984)
Soekarno sendiri menafsirkan Sila Ketuhanan yang Maha Esa sebagai satu elemen penting dalam masyarakat Indonesia. Bagi Soekarno, masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang bertuhan.
“Bagaimana seluruh rakyat Indonesia pada garis besarnya? Kalau pada garis besarnya, telah saya gogo, saya selami, sudah saya lihat secara historis, sudah saya lihat dari sejarah keagamaan, pada garis besarnya rakyat Indonesia ini percaya kepada Tuhan. Bahkan Tuhan yang sebagai yang kita kenal di dalam agama, agama kita. Dan formulering Tuhan Yang Maha Esa bisa diterima oleh semua golongan agama di Indonesia ini. Kalau kita menge­cualikan elemen agama ini, kita membuang salah satu elemen yang bisa mempersatukan batin bangsa Indonesia dengan cara yang semesra-mesranya. Kalau kita tidak memasukkan sila ini, kita kehilangan salah satu Leitstar yang utama, sebab kepercayaan kita kepada Tuhan ini bahkan itulah yang menjadi Leitstar kita yang utama, untuk menjadi satu bangsa yang mengejar kebajikan, satu bangsa yang mengejar kebaikan. “
Soekarno juga tidak menolak Sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai aspirasi dari umat Islam. Dalam Negara Nasional dan Cita-cita Islam (1954),  Soekarno menyatakan umat Islam memperoleh ruangnya untuk menggapai cita-cita mereka.
“Dan saudara2, tatkala aku berdiri di Amuntai menghadapi pertanjaan Bung Karno, minta pendjelasan: Negara Nasionalkah atau Negara Islamkah? Pada waktu itu aku berdiri di sana sebagai Presiden Republik Indonesia, tidak sekedjap mata pun aku mempunjai lubuk pikiran di belakang kepalaku ini melarang kepada pihak, Islam untuk mengandjurkan atau mempropagandakan tjita2 Islam. Sama sekali tidak. Kita mempunjai undang2 dasar jang dengan tegas berdiri di atas dasar Pantjasila, jang salah satu dari padanja ialah dasar demokrasi.” (Soekarno: 1954)
Pendapat Soekarno bukanlah gimmick politik, sebab Soekarno memang sejak awal dalam sidang BPUPKI menekankan bahwa umat Islam berhak memperjuangkan aspirasinya melalui wakil-wakilnya diparlemen. Menurutnya, “Apa-apa yang belum memuaskan, kita bicarakan di dalam permusyawaratan. Badan perwakilan, inilah tempat kita untuk mengemukakan tuntutan-tuntutan Islam. Disinilah kita usulkan kepada pemimpin-pemimpin rakyat, apa-apa yang kita rasa perlu bagi perbaikan.
Jikalau memang kita rakyat Islam, marilah kita bekerja sehebat-hebatnya, agar-supaya sebagian yang terbesar dari pada kursi-kursi badan perwakilan Rakyat yang kita adakan, diduduki oleh utusan Islam. Jikalau memang rakyat Indonesia rakyat yang bagian besarnya rakyat Islam, dan jikalau memang Islam disini agama yang hidup berkobar-kobar didalam kalangan rakyat, marilah kita pemimpin-pemimpin menggerakkan segenap rakyat itu, agar supaya mengerahkan sebanyak mungkin utusan-utusan Islam ke dalam badan perwakilan ini.
Ibaratnya badan perwakilan Rakyat 100 orang anggautanya, marilah kita bekerja, bekerja sekeras-kerasnya, agar supaya 60, 70, 80, 90 utusan yang duduk dalam perwakilan rakyat ini orang Islam, pemuka-pemuka Islam. dengan sendirinya hukum-hukum yang keluar dari badan perwakilan rakyat itu, hukum Islam pula.”(Sekretariat Negara Republik Indonesia: 1995)


Soekarno dan Haji Agus Salim
Penafsiran akan Pancasila menjadi penting, sebab menurut Haji Agus Salim yang juga terlibat dalam perumusan di Panitia Sembilan, mengingatkan terjadinya saling klaim penafsiran Pancasila yang saling bertentangan, dan masing-masing pihak mengklaim sebagai pihak yang paling benar. Menurut beliau, “lama-kelamaan tiap-tiap aliran akan membanggakan bahwa hanya ia yang berpegang  kepada “Pancasila yang sejati.” Dan masing-masing mendasarkan kesejatian itu atas sifat pahamnya yang dihiasi dengan tambahan keterangan. Misalnya, ‘kerakyatan,’ atau ‘demokrasi’, atau ‘progressip.’ Dan tiap-tiap aliran mendakwa aliran yang lain-lain dengan ‘khianat’ kepada Pancasila dan memutar balikkan kenyataan.” (H. Agus Salim: 1977)
Menurut Haji Agus Salim, seharunya masing-masing aliran yang merasa berlandaskan Pancasila dan memperjuangkan tujuan mereka tidak boleh menyalahi pokok dasar sila yang pertama, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Lebih lanjut, mantan tokoh Sarekat Islam  ini menyatakan bahwa, “Tegasnya tidak akan boleh menyimpang dari pada hukum agama yang berdasar kepada wahyu daripada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan firman Allah..” (H. Agus Salim: 1977)
Bagi Haji Agus Salim yang terlibat langsung dalam panita sembilan, ia amat ingat pemaknaan sila pertama tersebut. “..saya ingat betul-betul bahwa di masa itu tidak ada di antara kita seorangpun yang ragu-ragu, bahwa dengan pokok dasar Ketuhanan Yang Maha Esa itu kita maksudkan ‘aqidah, kepercayaan agama dengan kekuatan keyakinan bahwa kemerdekaan bangsa dan tanah air-air itu suatu hak yang diperoleh daripada rahmat dan karunia Tuhan Yang Maha Esa dengan ketentuanNya yang dilaksanakanNya dengan semata-mata kekuasaanNya pada ketika masanya menurut KehendakNya,” jelas Haji Agus Salim. (H. Agus Salim: 1977)
Hal yang sama juga dimaknai oleh Ki Bagus Hadikusumo. Ketika Prawoto Mangkusasmito bertanya pada Ki Bagus Hadikusumo tentang makna sila pertama, beliau hanya menjawab singkat: Tauhid. Penafsiran ini tidaklah janggal, jika kita mengaitkan sila pertama sebagai tak lepas dari konteks kompromi dalam sidang panitia sembilan dan sebagai wadah aspirasi umat Islam sebagaimana yang disebutkan oleh K.H. Wahid Hasyim.
Menurut K.H. Wahid Hasyim,”….dasar Demokrasi (Kedaulatan Rakjat) jang djuga diterima sebagai salah satu dasar Pantjasila, memberikan pegangan pada bangsa kita untuk memelihara kebebasan dan kemerdekaan, baik setjara umum, maupun setjara chusus bagi satu golongan terhadap golongan jang lainnja.Pertemuannja dua prinsip tadi, keTuhanan dan demokrasi, mengakibatkan kompromi sebagai jang kita dapati sekarang. Keinginan kaum Muslimin sebagai golongan terbesar dari pada bangsa kita akan menghidupkan sjari’at agamanja diberi djalan dan saluran jang baik, tetapi dari lain fihak dipertahankan tentang adanja kompromi dengan demokrasi, tidaklah itu berarti, bahwa djikalau tidak ada kompromi tadi tentu akan timbul hal-hal jang mendesak dan merugikan golongan bersemangat agama jang ketjil djumlahnja. Sebab dasar semua agama terutama Islam adalah tasaamuh atau toleransi.” (K.H. Wahid Hasyim: 1953)
Adanya perbedaan penafsiran tak dapat dipungkiri dalam memahami makna Pancasila. Soekarno sendiri bukanlah penafsir tunggal Pancasila. Ia sendiri mengakui bahwa ia ‘hanyalah’ penggali Pancasila. Meski terdapat perbedaan penafsiran (dan bisa jadi karena latar belakang ideologi yang berbeda), namun Pancasila, sejak lahirnya mengalami perubahan dan perkembangan dari situasi politik.
Dari Pancasila versi 1 Juni kemudian berubah cukup signifikan menjadi satu kompromi yang menampung aspirasi umat Islam terutama melalui lahirnya Piagam Jakarta. Piagam Jakarta menjadi pembentuk Pancasila yang kita kenal saat ini. Tanpa aspirasi umat Islam dalam Piagam Jakarta, Pancasila saat ini tidak akan menemukan bentuknya seperti sekarang ini. Kedudukan penting Ketuhanan yang Maha Esa dalam Pancasila hadir karena Piagam Jakarta.
Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi satu landasan dalam Pancasila. Menyinari sila-sila lainnya. Ketuhanan Yang Maha Esa juga dimaknai oleh para tokoh-tokoh Islam sebagai Tauhid, sebab sila pertama tak bisa dilepaskan sebagai satu bentuk kompromi untuk menampung aspirasi umat Islam.
Terlepas ada perbedaan antara Soekarno dengan para tokoh Islam dalam memaknai Sila Ketuhanan yang Maha Esa, namun, satu hal yang pasti, Sila Ketuhanan Yang Maha Esa adalah satu landasan bagi umat Islam untuk memperjuangkan aspirasinya dalam perundang-undangan di Indonesia yang telah ditekankan, baik oleh para tokoh Islam, Soekarno, maupun pemerintah orde lama yang mengeluarkan Dekrit Presiden tahun 1959. Selesai.

Sumber: Kiblat.net