Wacana Pemindahan Ibu Kota, Ferry Mursyidan Baldan: Jangan-jangan karena Anies Jadi Gubernur
Ferry Mursyidan Baldan
10Berita, MANTAN Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Bappenas Ferry Mursyidan Baldan menjelaskan, wacana pemindahan Ibu Kota Negara harus jelas tujuannya.
Jangan sampai, pemindahan ibu kota hanya karena ketidaksukaan pemerintah pusat kepada Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.
"Saya kok membacanya, ah jangan-jangan karena Anies jadi gubernur, lalu mengajak orang berpikir ayo pindah ibu kota. Ini kan enggak bener," ujarnya di Jakarta, Senin (29/4/2019)
Pemindahan ibu kota, lanjutnya, harus memikirkan banyak hal, termasuk tata ruang, pertahanan atas kemungkinan serangan dari pihak luar, sumber daya ekonomi, dan sumber daya sosial. Juga dikaji mengenai pasca-pemindahan.
Seperti Bandara Kertajati, urainya, yang terkesan buru-buru diresmikan tetapi tidak dapat difungsikan sebagaimana seharusnya.
Oleh karena itu, dia juga mengingatkan agar pembahasan mengenai pemindahan ibu kota, tidak dalam waktu yang sebentar.
"Ini pekerjaan paling tidak minimal 15-20 tahun baru terwujud. Bukan hanya infrastruktur fisik saja," ucap Ferry Mursyidan Baldan.
Sebelumnya, Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro memberikan tiga alternatif terkait lokasi pemindahan ibu kota dari luar Jakarta.
Menurut Bambang, ibu kota negara di Jakarta sudah tidak mendukung lagi, mengingat banyaknya problem kemacetan, banjir, penurunan tanah, hingga ketersediaan air.
"Kita semua juga harus mengakui saat ini problem kemacetan itu sangat parah. Kerugian ekonomi akibat kemacetan saja sekarang sudah mendekati Rp 100 triliun per tahun," kata Bambang seusai rapat terbatas dengan Presiden Joko Widodo di kantor Presiden, Jakarta, Senin (29/4/2019).
Selain itu daya dukung lingkungan Jakarta sudah tidak baik," kata Bambang Brodjonegoroseusai rapat terbatas dengan Presiden Joko Widodo di kantor Presiden, Jakarta, Senin (29/4/2019).
Oleh sebab itu, Bambang Brodjonegoromengajukan tiga pilihan kepada Presiden dan Wakil Presiden untuk lokasi ibu kota. Jika dipaksakan tetap di Jakarta, maka dibuatkan wilayah khusus untuk pemerintahan.
"Alternatif pertama tetap di Jakarta, tetapi daerah seputaran Istana dan Monas ini dibuat khusus untuk kantor-kantor pemerintahan, kementerian, lembaga," paparnya.
"Sehingga, seluruh kawasan pemerintahan berada di satu tempat, dan itu menciptakan efisiensi di dalam tugas koordinasi pemerintah," sambungnya.
Alternatif kedua, kata Bambang Brodjonegoro, pusat pemerintahan pindah ke luar Jakarta dengan radius kira-kira 50 kilometer sampai 70 kilometer.
Opsi ini cukup menarik, tetapi arahan Presiden, katanya, jangan hanya bicara mengenai Jakarta, tetapi secara menyeluruh Pulau Jawa.
"Jadi intinya, kalau kita hanya memindahkan masih di Pulau Jawa, apalagi hanya di seputaran Jakarta, ini juga tidak mengurangi beban Pulau Jawa, dan tidak membuat pembangunan kita lebih Indonesia sentris, tapi lebih memperkuat Pulau Jawanya," beber Bambang Brodjonegoro.
Sedangkan pilihan ketiga, memindahkan Ibu Kota ke luar Pulau Jawa, khususnya mengarah ke kawasan Timur Indonesia, dan Presiden menyetujuinya.
"Dalam rapat tadi diputuskan, presiden memilih alternatif ketiga. Ini barangkali salah satu putusan penting yang dilahirkan hari ini," tuturnya
"Dan tentunya akan dilanjutkan dengan ratas berikutnya yang akan bicara lebih teknis, bicara desain, dan bicara mengenai masterplan dari kota itu sendiri," tambah Bambang Brodjonegoro.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebelumnya kembali menggelar rapat terbatas tindak lanjut rencana pemindahan ibu kota, di Kantor Presiden, Jakarta, Senin (29/4/2019).
Menurut Jokowi, gagasan pemindahan ibu kota dari DKI Jakarta ke provinsi lain sudah muncul sejak era Presiden Soekarno, dan berlanjut hingga saat ini.
"Setiap era presiden masih muncul gagasan itu, tapi wacana ini timbul tenggelam karena tidak pernah diputuskan dan dijalankan secara terencana dan matang," ucap Jokowi.
Jokowi berpesan kepada jajaran menterinya, ketika membicarakan pemindahan ibu kota, maka tidak boleh berpikir yang sifatnya jangka pendek maupun dalam lingkup yang sempit.
"Kita harus berbicara tentang kepentingan yang lebih besar untuk bangsa, negara dan kepentingan visioner dalam jangka yang panjang, sebagai negara besar dalam menyongsong kompetisi global," paparnya.
Bappenas telah merampungkan kajian tahap pertama rencana pemindahan ibu kota ke luar Jakarta.
Kajian tersebut terfokus pada tiga wilayah yang menjadi kandidat utama pengganti Jakarta. Di antaranya, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Timur.
Butuh Lahan 40 Ribu Hektare
Sementara, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono menilai pemerintah membutuhkan lahan hingga 40 ribu hektare, untuk membangun ibu kota baru.
Menurut Basuki Hadimuljono, rapat terbatas tindak lanjut rencana pemindahan ibu kota dari Jakarta, belum sampai membahas soal pembangunan infrastruktur.
Tetapi, jika Aparatur Sipil Negara (ASN) dipindahkan semuanya atau sekitar 1,5 juta penduduk, maka butuh lahan sampai 40 ribu hektare.
"Kalau ASN pindah sebagian atau sekitar 879 ribu penduduk, maka butuh lahannya sampai 30 ribu hektare," ucap Basuki Hadimuljono di komplek Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (29/4/2019).
Basuki Hadimuljono belum dapat mengungkapkan lokasi tepat pembangunan ibu kota baru tersebut.
Namun, wilayah tersebut memiliki kriteria di luar daerah cincin api, terdapat sumber air, ada pelabuhan, dan lainnya.
"Lokasinya harus aman. Sulawesi dibilang Pak Jusuf Kalla (wapres), kalau mau dipusatkan Mamuju, Pare-Pare tapi itu ring of fire. Paling aman Kalimantan," ungkap Basuki Hadimuljono.
Sedangkan terkait biaya yang dibutuhkan dalam pembangunan ibu kota baru, kata Basuki Hadimuljono, diperkirakan mencapai Rp 466 triliun untuk lahan mencapai 40 ribu hektare. Dan jika hanya dibutuhkan 30 ribu hektare, maka biayanya sekitar Rp 322 triliun.
"Proyeksinya dengan bangun ulang, permukiman, area pemerintahan, dan sebagainya. Kalau dulu saya ngobrol dengan Presiden, 4 tahun sampai 5 tahun sampai pembangunan selesai," bebernya. (Amriyono Prakoso/Seno Tri Sulistiyono)
Sumber: