10Berita, Para pemilik bisnis mengatakan bahwa undang-undang ketenagakerjaan telah mengekang investasi dan output ekonomi. Presiden Indonesia Joko “Jokowi” Widodo bersumpah untuk mengubah undang-undang tenaga kerja pada tahun 2019. Undang-undang ketenagakerjaan Indonesia telah lama menjadi masalah yang diperdebatkan, seringkali dikutip oleh Dana Moneter Internasional (IMF) dan investor sebagai penghambat investasi dan alasan mengapa pemeringkatan bisnis nasional Indonesia lebih rendah dibandingkan negara-negara tetangga menurut Bank Dunia.
Oleh: Karlis Salna dan Viriya Singgih (Bloomberg)
Ketika Harijanto membutuhkan lebih banyak pekerja untuk membuat sepatu Nike dan Adidas di salah satu pabriknya di luar ibu kota Indonesia, Jakarta, ia tidak dapat memenuhi angka tersebut sesuai yang dibutuhkan.
Ketika dihadapkan dengan ketetapan pesangon yang konon paling dermawan di dunia untuk pekerja yang dipecat dan harus menavigasi sistem upah minimum yang kompleks, Harijanto mengaku tidak bisa mempekerjakan lebih banyak orang untuk mengembangkan bisnisnya.
Bagi produsen seperti PT Adis Dimension Footwear, yang mengirimkan dua pertiga dari produk yang dihasilkannya ke Amerika Serikat dan Eropa, undang-undang ketenagakerjaan yang kaku tidak hanya membatasi produksi tetapi juga mempersulit persaingan dengan negara tetangga seperti Vietnam dalam memikat penanaman modal asing yang sangat dibutuhkan.
Advertisement
“Produksi telah mengalami kebuntuan dalam tiga tahun terakhir,” tutur Harijanto melalui telepon. “Pembeli enggan mendongkrak kapasitas di sini karena risikonya tinggi.”
Harijanto dan banyak pengelola pabrik lain di negara dengan perekonomian terbesar di Asia Tenggara ini tampaknya akan segera merasa lega. Presiden Indonesia Joko “Jokowi” Widodo, yang baru saja memenangkan Pilpres 2019, bersumpah akan melakukan perombakan besar-besaran terhadap undang-undang ketenagakerjaan dalam upaya untuk menghidupkan kembali output pabrik dan meningkatkan lapangan kerja.
Pemilihan waktunya sangatlah tepat karena berbagai bisnis tengah berupaya mendiversifikasi rantai pasokan mereka untuk menyiasati peningkatan tarif Amerika Serikat di China, dengan banyak dari mereka mengalihkan pandangan ke Asia Tenggara. Langkah ini juga akan membantu menggerakkan ekonomi Indonesia yang masih tertinggal dari pertumbuhan 7 persen yang dijanjikan Jokowi untuk dicapai dalam masa jabatan pertamanya.
Undang-undang ketenagakerjaan Indonesia telah lama menjadi masalah yang diperdebatkan, seringkali dikutip oleh Dana Moneter Internasional (IMF) dan investor sebagai penghambat investasi dan alasan mengapa pemeringkatan bisnis nasional Indonesia lebih rendah dibandingkan negara-negara tetangga menurut Bank Dunia.
Sebagai contoh, seorang pekerja yang dipekerjakan di kota-kota terbesar di Indonesia, Jakarta dan Surabaya, selama 10 tahun dapat memenuhi syarat untuk sekitar 95 minggu uang pesangon, yang paling dermawan di dunia setelah Sri Lanka, Mauritius, dan Sierra Leone, menurut Bank Dunia. Angka ini juga lebih dari dua kali lipat dari yang didapat seorang pekerja dengan masa kerja yang sama di Vietnam.
Harijanto mengatakan bahwa undang-undang ketenagakerjaan telah membuat “mustahil” bagi bisnis asing untuk berinvestasi di negara ini. Menurutnya, “semakin lama mereka beroperasi di Indonesia, semakin mereka tidak mampu membayar pesangon.”
Jokowi mengatakan dalam sebuah wawancara baru-baru ini bahwa ia telah berkonsultasi dengan kelompok bisnis dan serikat pekerja serta menginginkan perubahan pada undang-undang ketenagakerjaan, termasuk pesangon dan upah minimum. Jokowi berharap tuntutan ini akan selesai pada akhir tahun 2019. Untuk menghidupkan kembali manufaktur dan meningkatkan ekspor, Jokowi berjanji untuk menurunkan pajak perusahaan dan membuka lebih banyak industri bagi investor asing.
“Pada akhirnya kita harus melihat masa depan pekerjaan, dan ini benar-benar kunci untuk Indonesia,” kata Shinta Kamdani, wakil ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), dilansir dari Bloomberg, Minggu (21/7). Aturan pembayaran pesangon saat ini “tidak kompetitif sehingga hal ini konyol,” kata Shinta.

Hukum yang fleksibel

Berbagai bisnis juga menginginkan lebih banyak kepastian tentang upah minimum dan sistem yang tidak terlalu rumit. Pada saat ini, pemerintah daerah dan bahkan pemerintah kota dapat menetapkan upah minimum, yang juga dapat bervariasi antar sektor, yang mengakibatkan pasar tenaga kerja yang terfragmentasi.
Upah minimum di Jakarta hingga tahun 2018 adalah 3,6 juta rupiah, 50 persen lebih tinggi daripada di Vietnam, menurut Bank Dunia.
Sofjan Wanandi, kepala penasihat Wakil Presiden Indonesia Jusuf Kalla, mengatakan bahwa pemerintah menyadari perlunya membuat undang-undang seputar perekrutan dan pemecatan yang lebih fleksibel. Tetapi ini akan membutuhkan waktu untuk disetujui melalui DPR, dengan Jokowi perlu mendapatkan dukungan dari mitra koalisinya.
“Kita membutuhkan lebih banyak industri padat karya masuk ke Indonesia karena kita memiliki begitu banyak orang yang tidak memiliki keterampilan,” kata Sofjan. “Jokowi harus bekerja dengan koalisi karena koalisi yang mengendalikan parlemen. Banyak kebijakannya tidak bisa maju jika parlemen tidak menyetujuinya, termasuk anggaran.”
Dengan jumlah tenaga kerja yang besar, tinggi tingkat kemiskinan, dan jutaan pekerjaan paruh waktu, Indonesia perlu melindungi hak-hak pekerja. Bahkan dengan tingkat pengangguran pada level terendah yakni 5 persen selama 22 tahun, Indonesia memiliki sekitar 39 juta orang atau 30 persen dari angkatan kerja yang dikategorikan sebagai setengah menganggur, yakni bekerja 1-34 jam seminggu. Sementara itu, 74 juta orang lainnya dipekerjakan di sektor informal.
Reformasi ketenagakerjaan telah seringkali dijanjikan di masa lalu dan masih belum terlaksana, tetapi kali ini Sofjan hampir yakin bahwa hal itu akan terwujud.
“Dengan kondisi eksternal, perlambatan ekonomi global, dan perang dagang, kita ingin mengambil peluang relokasi investasi,” kata Sofjan. “Kita perlu mewujudkan hal ini dan mengambil kesempatan ketika kita bersaing dengan seluruh dunia.”
Keterangan foto utama: Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong (kanan) berbicara dengan Presiden Indonesia Joko Widodo (kiri) dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (tengah) sebelum sesi 3 tentang partisipasi tenaga kerja perempuan, masa depan pekerjaan, dan masyarakat lanjut usia pada KTT G20 di Osaka 29 Juni 2019. (Foto: Kazuhiro Nogi/Pool via Reuters)
Sumber: