Hari Asyura
ما رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم صام يوما يتحرى فضله على الأيام إلا هذا اليوم (يعني يوم عاشوراء) وهذا الشهر (يعني رمضان)
Artinya: “Saya tidak pernah melihat Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam berpuasa dengan cara sangat mengejar keutamaannya selain puasa pada hari ini (yakni Asyura), dan pada bulan ini (yakni Ramadan).”[1]
Hari Asyura sejak dahulu sebelum islam telah memiliki keutamaan, dan syariat amalan puasa di dalamnya lantaran kemuliaannya telah ada sejak era para nabi dahulu. Terkait puasa ini, Nabi shallallahu’alaihi wasallam melakukannya dalam 4 fase:
Fase Pertama:
Beliau berpuasa Asyura di Mekah, namun tidak memerintahkan sahabatnya untuk berpuasa Asyura. Aisyah radhiyallahu’anha mengisahkan, “Dahulu hari Asyura adalah hari yang dijadikan kaum Quraisy sebagai hari berpuasa di masa Jahiliah. Nabi shallallahu’alaihi wasallam saat itu berpuasa juga. Ketika beliau hijrah ke Madinah beliau tetap berpuasa dan memerintahkan para sahabatnya untuk berpuasa di hari itu. Tatkala kewajiban puasa Ramadan telah diturunkan, maka beliau pun berpuasa Ramadan saja dan meninggalkan puasa Asyura. Sebab itu, siapa yang mau hendaknya ia berpuasa (Asyura), atau hendaknya ia tidak berpuasa (Asyura).”[2]
Dalam HR Bukhari, Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda,
من شاء فليصمه ومن شاء أفطر
Artinya: “Siapa yang mau hendaknya ia berpuasa (Asyura), atau hendaknya ia tidak berpuasa (Asyura).”
Fase Kedua:
Ketika Nabi shallallahu’alaihi wasallam tinggal di Madinah dan melihat Ahli Kitab berpuasa dan mengagungkan hari Asyura, maka beliau pun berpuasa Asyura dan memerintahkan para sahabatnya untuk berpuasa. Beliau menegaskan perintah ini sehingga dahulu para sahabat sampai-sampai menyuruh anak-anak mereka untuk berpuasa Asyura.
Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma mengisahkan,
قدم رسول الله صلى الله عليه وسلم المدينة فوجد اليهود صياما يوم عاشوراء فقال لهم رسول الله صلى الله عليه وسلم: ما هذا اليوم الذي تصومونه؟ قالوا: هذا يوم عظيم أنجى الله فيه موسى وقومه وأغرق فرعون وقومه فصامه موسى شكرا فنحن نصومه فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “فنحن أحق وأولى بموسى منكم” فصامه رسول الله صلى الله عليه وسلم وأمر بصيامه.
Artinya: “Ketika Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam tiba di Madinah, beliau mendapati kaum Yahudi berpuasa Asyura, lantas beliau bertanya pada mereka, ‘Hari apa ini yang kalian jadikan sebagai hari puasa?’, Mereka menjawab, ‘Hari ini adalah hari yang sangat mulia, di dalamnya Allah menyelamatkan Musa dan kaumnya, dan menenggelamkan Firaun dan kaumnya. Maka Musa pun berpuasa di dalamnya sebagai bentuk rasa syukur (kepada Allah), dan kami pun berpuasa di dalamnya.’ Lalu Rasulullah bersabda, ‘Kalau begitu, kami lebih pantas dan lebih berhak mengikuti Musa dibanding kalian.’ Maka Rasulullah pun berpuasa Asyura dan memerintahkan para sahabatnya untuk berpuasa.”[3]
Fase Ketiga:
Tatkala puasa bulan Ramadan diwajibkan, Nabi shallallahu’alaihi wasallam tidak lagi memerintahkan para sahabatnya untuk berpuasa Asyura, sebagaimana dalam hadis Aisyah sebelumnya. Dari Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma, ia berkata,
صام النبي صلى الله عليه وسلم عاشوراء وأمر بصيامه فلما فرض رمضان ترك ذلك
Artinya: “Nabi shallallahu’alaihi wasallam berpuasa hari Asyura, dan memerintahkan (para sahabat) untuk berpuasa di dalamnya. Ketika puasa Ramadan diwajibkan, beliau pun tak lagi memerintahkannya.”[4]
Fase Keempat:
Di akhir kehidupannya, Nabi shallallahu’alaihi wasallam bertekad untuk tidak berpuasa Asyura sekadar satu hari, namun beliau menambahkan baginya satu hari (sehingga menjadi dua hari) sebagai sikap untuk menyelisihi Ahli Kitab yang hanya berpuasa Asyura satu hari. Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma berkata, “Ketika Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam berpuasa Asyura dan memerintahkan (para sahabatnya) berpuasa, mereka berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya hari ini adalah hari yang dimuliakan kaum Yahudi dan Nasrani!’. Beliau pun menjawab, ‘Kalau begitu, tahun depan kita harus berpuasa pada hari ke sembilan, insya Allah.’ Namun, belum tiba hari Asyura di tahun depan, Rasulullah sudah wafat.”[5]
Lantaran kemuliaannya, sebagian salaf dahulu tetap berpuasa Asyura meskipun dalam kondisi safar, seperti; Ibnu Abbas, Abu Ishaq As-Sabi’iy, dan Az-Zuhriy radhiyallahu’anhum. Az-Zuhriy berkata, “Kalau puasa Ramadan memiliki kesempatan (untuk diqadha) di hari lain, sedangkan puasa Asyura tidak demikian.”
Seluruh riwayat tentang keutamaan bercelak, bertani dan mandi pada hari Asyura; maka semua hadisnya maudhu’ (palsu), tidak ada yang sahih. Adapun memberikan kelapangan nafkah pada keluarga, maka juga tidak ada yang sahih. Harb berkata, “Saya bertanya pada Imam Ahmad tentang hadis keutamaan orang yang memberikan kelapangan nafkah pada keluarganya di hari Asyura. Beliau memandangnya sebagai hadis yang tidak sahih.”
Sedangkan menjadikannya sebagai hari berkabung sebagaimana yang dilakukan oleh Sekte Syiah Rafidhah demi mengenang terbunuhnya Husain bin Ali radhiyallahu’anhuma; maka ia adalah amalannya orang-orang yang tersesat, namun mereka malah menganggapnya sebagai amalan baik. Allah dan Rasul-Nya sama sekali tidak memerintahkan untuk menjadikan hari kematian para nabi sebagai hari berkabung, apatah lagi dengan orang-orang yang lebih rendah dari mereka (termasuk Husain)?!
***
Di antara keutamaan hari Asyura yang lain adalah bahwa ia adalah hari di mana Allah Ta’ala menerima tobat suatu kaum di dalamnya. Sebagaimana dalam hadis Ali radhiyallahu’anhu, bahwa Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda kepada seseorang,
إن كنت صائما شهرا بعد رمضان فصم المحرم فإنه شهر الله وفيه يوم تاب الله فيه على قوم ويتوب على آخرين
Artinya: “Bila engkau ingin berpuasa di bulan lain setelah bulan Ramadan, maka berpuasalah pada Muharam, sebab ia merupakan bulan Allah. Di dalamnya ada hari di mana Allah menerima tobat suatu kaum (terdahulu) dan menerima tobat kaum yang lain.”[6]
Sabda beliau “Di dalamnya ada hari di mana Allah menerima tobat suatu kaum (terdahulu) dan menerima tobat kaum yang lain” terdapat motivasi agar memperbaharui tobat nasuha pada hari Asyura, serta berharap Allah menerima tobat orang-orang yang bertobat kepada-Nya, sebagaimana di dalamnya Allah telah menerima tobat kaum terdahulu.
[ Disadur dari buku “Intisari Buku Lathaif Al-Ma’arif” oleh Maulana La Eda ]
[1] . HR Bukhari (2006) dan Muslim (1133)
[2] . HR Bukhari (2002) dan Muslim (1125)
[3] . HR Bukhari (2004) dan Muslim (1130)
[4] . HR Bukhari (1892) dan Muslim (1126)
[5] . HR Muslim (1134)
[6] . HR Tirmizi (1387), ia berkata, “Hadisnya hasan garib.”