OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Rabu, 09 Oktober 2019

17 Oktober 2019: Selamat Datang Kewajiban Bersertifikat Halal

17 Oktober 2019: Selamat Datang Kewajiban Bersertifikat Halal



[Sesuai dengan ketentuan UU No 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH). Mulai 17 Oktober 2019, bagi produk yang beredar dan diperdagangkan di Indonesia wajib bersertifikat halal.

"Produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal" bunyi pasal 4 berbunyi UU JPH.

Pemberlakuan efektif 17 Oktober 2019, mengacu pada pasal 67 yang berbunyi "Kewajiban bersertifikat halal bagi Produk yang beredar dan diperdagangkan di wilayah Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 mulai berlaku 5 (lima) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan". UU JPH diundangkan mulai 17 Oktober 2014.

Lalu bagaimana kesiapan Pemerintah dalam hal ini Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH)? Berikut tulisan Mastuki HS Kepala Pusat Registrasi dan Sertifikasi Halal, BPJPH]

***

17 Oktober 2019: Selamat Datang Kewajiban Bersertifikat Halal

Oleh: Mastuki HS
(Kepala Pusat Registrasi dan Sertifikasi Halal, BPJPH)

Jelang pemberlakuan kewajiban bersertifikat halal yang akan dimulai 17 Oktober 2019, pihak yang paling merasa kuatir dan bertanggung jawab adalah Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Betapa tidak. 17 Oktober 2019 tinggal hitungan jari, tapi tanda-tanda ke arah persiapan launching kewajiban sertifikasi halal belum kelihatan dilakukan lembaga ini. Ada pihak yang pesimis mandat BPJPH mengemban tugas menyelenggarakan jaminan produk halal (JPH) sulit direalisasikan. Bahkan pihak ini terang-terangan meminta BPJPH tidak memaksakan pelaksanaan sertifikasi halal per 17 Oktober karena tidak siap baik infrastruktur, SDM, maupun suprastrukturnya. Tuntutan yang mengemuka, kalau memang BPJPH belum siap, serahkan saja penyelenggaraan JPH kepada lembaga yang selama ini berkecimpung mengurusi sertifikasi halal.

Benarkah BPJPH belum siap melaksanakan mandat Undang-Undang nomor 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal? Jika 17 Oktober 2019 kewajiban bersertifikat halal belum bisa dilaksanakan, apa solusinya?

Jawaban klise bisa disampaikan: bagaimana mungkin BPJPH bisa melaksanakan tugas berat ini wong perangkat regulasinya belum lengkap. Coba hitung mundur, meski UU JPH diundangkan 2014 tetapi aturan turunannya berupa Peraturan Pemerintah (PP) baru ditandatangani Presiden Jokowi 29 April 2019, dan diundangkan 3 Mei 2019. Sementara banyak pasal dalam UU JPH maupun PP memberi amanat untuk “diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Agama (PMA)”. Meski pejabat dan staf BPJPH menyiapkan draf PMA secara paralel saat ‘menunggu’ keluarnya PP, klausul dan norma yang dirancang dalam Rancangan PMA (RPMA) amat banyak.

Ada 15 pasal dalam PP dan 12 pasal di UU JPH yang langsung mengamanatkan ke PMA untuk pengaturan teknis. Akibatnya, berkali-kali PMA terpaksa bongkar pasang. Entah berapa kali rapat, kordinasi, FGD, dan pertemuan digelar untuk membahas draf atau rancangan PMA. Baik dengan kementerian/lembaga/instansi terkait maupun dengan pakar dan unit internal Kementerian Agama.

Penyiapan aturan teknis berupa PMA (Peraturan Menteri Agama) memang menjadi keniscayaan. Karena norma dan klausul dalam UU maupun PP banyak bersifat general berupa diktum umum, meski ada yang detil pengaturannya, tapi juga banyak yang perlu penjabaran agar bisa operasional.

Kerjasama internasional, misalnya, di PP sudah detil pengaturannya. Namun saat menyangkut keterlibatan MUI (Majelis Ulama Indonesia) dalam penilaian kesesuaian (khususnya syariah) maupun mutual recognition and agreement atau dalam bahasa normanya: saling pengakuan dan keberterimaan, rumusan yang terdapat di PP tak mencukupi. Karenanya perlu elaborasi dan kejelasan. Rapat pembahasan dengan MUI menyepakati agar norma di PMA perlu secara clear menegaskan positioning MUI dalam skema penetapan kriteria kehalalan dan akreditasi lembaga halal luar negeri (LHLN).

BPJPH menerima banyak proposal kerjasama atau pendirian lembaga halal dari berbagai negara atau halal certification body. Ada yang ingin memperpanjang kerjasama penerimaan sertifikat halal luar negeri (SHLN) yang sudah berjalan selama ini dengan MUI. Ada inisiatif untuk melakukan MoU baru dengan BPJPH. Banyak perwakilan negara yang datang ke BPJPH menanyakan bagaimana mekanisme dan prosedur penerimaan sertifikat halal dari negara mereka ke Indonesia.

Mengacu pada norma di PP maupun UU tak cukup jelas bagaimana mekanisme kerjasama dimaksud dilakukan. Karena jaminan produk halal akan beralih ke BPJPH sebagai representasi negara, pastilah ada pelibatan otoritas kementerian yang bertanggung jawab dalam urusan luar negeri, yakni Kemlu. Maka kordinasi dengan Kemlu mutlak dilakukan.

Pengaturan di PMA tak cukup hanya itu. Ketika melibatkan halal certification body, realitasnya ada negara yang tak memiliki lembaga halal di negara asalnya (disingkat: LANA). Kalaupun ada LANA, tak otomatis lembaga halal di suatu negara memiliki kesamaan kriteria penetapan halal seperti berlaku di Indonesia (MUI sebagai lembaga otoritas fatwa penetapan kehalalan produk dan LPH yang bertugas pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan produk). Kini tambah ada unsur pemerintah yang pelaksanaannya berada di BPJPH. Kian kompleks kondisinya. Padahal dalam klausul “pengakuan dan keberterimaan” sertifikat halal luar negeri maupun penilaian hasil kesesuaian (akreditasi), ada lembaga penilaian kesesuaian di Indonesia yang diberi mandat tugas itu, dalam hal ini KAN (Komite Akreditasi Nasional). Jadi, sebelum melakukan MoU, dua negara yang akan melakukan kerjasama di bidang halal perlu memiliki ketentuan yang sama; kriteria penetapan kehalalan produk yang disepakati; status dan kesiapan lembaga halalnya; dan tak kalah penting: dimulai dari G to G cooperation yang dalam hal ini otoritas Kemlu.

Itu gambaran konkrit betapa merumuskan kerjasama di bidang halal dengan LHLN tak semudah yang dibayangkan. Krusial. Banyak pihak yang terlibat dengan otoritas masing-masing. Maka dari itu, perumusan ke dalam norma PMA membutuhkan waktu dan diskusi berkali-kali sampai pada norma yang disetujui antar-pihak. Dan di sini uniknya PMA halal ini. Mengatur satu materi hukum dengan atau harus melibatkan banyak kementerian/instansi terkait. Pemandangan seperti itu sudah dimulai saat meng-goal-kan UU maupun PP JPH beberapa tahun lalu. Saat pembahasan RPMA, hal yang sama tak kalah rumitnya.

Salah satu yang berubah dari mekanisme penyelenggaraan jaminan produk halal dibanding sebelumnya adalah proses sertifikasi halal. Jika sebelumnya prosesnya berada di MUI, karenanya relatif mudah kordinasinya dalam satu payung lembaga. Dengan lahirnya BPJPH, proses sertifikasi ditangani beberapa lembaga: BPJPH, LPH, dan MUI plus kementerian terkait. Pendaftaran produk dari pelaku usaha harus melalui BPJPH. Setelah pemeriksaan dokumen kelengkapan, berkas diserahkan ke LPH (Lembaga Pemeriksa Halal) untuk diperiksa atau uji laboratorium. Hasil pemeriksaan/pengujian yang sudah diverifikasi BPJPH selanjutnya diajukan ke MUI untuk mendapatkan penetapan kehalalan produk melalui sidang fatwa. Barulah jika dinyatakan halal oleh MUI, BPJPH mengeluarkan serfifikat halal. Mbulet gak tuh? Terkesan berbelit-belit, tapi itulah prosedur dan mekanisme baru yang harus ditempuh pelaku usaha. Dalam perumusan di PMA, tatacara sertifikasi halal ini menguras energi tersendiri.

Belum lagi mekanisme pembayarannya. Sebagai Satker PK-BLU (Pengelola Keuangan Badan Layanan Umum), BPJPH tak dapat menetapkan biaya layanan sendiri. Melainkan dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) tentang Tarif yang akan dijadikan patokan dalam pengenaan biaya layanan yang banyak: sertifikasi halal, akreditasi LPH, registrasi SHLN, registrasi auditor halal, uji kompetensi, pendidikan dan pelatihan penyelia halal, dan lain-lain.

Kordinasi penetapan tarif layanan dengan Kemenkeu tak kalah peliknya. Menyangkut besarannya maupun komponen dan rinciannya. Menggunakan standar fix cost-kah atau variabel cost (rentang biaya). Satu harga untuk semua atau menggunakan range? Sementara jenis produk dan variannya begitu banyak.

Ada produk yang bahannya sederhana, terdiri tiga atau lima bahan. Di sisi lain ada bahan yang titik kritisnya sampai bertingkat A-B-C-D. No risk, low risk sampai high risk. Dalam menentukan definisi produk, jenis produk, kelompok produk, dan varian seperti itu, debatnya gak ketulungan. Apalagi kategori pelaku usaha atau perusahaan juga berlevel-level: besar, menengah, kecil, mikro, bahkan super mikro. Apakah perusahaan besar akan dikenakan tarif yang sama atau berbeda dengan pedagang kaki lima. Sebagai produk, keduanya sama-sama dikenakan kewajiban bersertifikat halal. Kalau dibedakan, apa ukuran dan kriterianya? Debat ini terjadi beberapa kali sampai Sekretariat Wapres yang konsen tentang jaminan produk halal “turun tangan” dengan mengundang stakeholders halal (pelaku usaha, asosiasi, perusahaan) maupun kementerian dan instansi terkait seperti Kemenkeu, Kemenko PMK, BPJPH, MUI, dan LPPOM-MUI untuk bisa mencapai kata sepakat mengenai besaran biaya atau tarif.

Penetapan tarif memang krusial karena menyangkut kepentingan pelaku usaha yang berbeda-beda. Bagi perusahaan besar dan menengah barangkali tarif tidak menjadi masalah. Namun tidak demikian bagi usaha kecil dan mikro. Dari 20-an juta usaha mikro dan kecil diestimasikan separuh lebih terkena kewajiban bersertifikat halal. Meski PP dan PMA ini menoleransi adanya “penahapan” dalam pelaksanaan kewajiban bersertifikat halal, misalnya produk makanan dan minuman diberi waktu antara 17 Oktober 2019 sampai 2024 (5 tahun). Grass period atau tenggat waktu ini tak serta merta bisa dimanfaatkan dengan baik dan tepat waktu oleh pelaku usaha kecil dan mikro. Salah satunya ya soal biaya. “Wong untuk membiayai produksi saja sudah ngos-ngosan, kok masih harus mensertifikasi produk”, begitu kira-kira argumennya.

Keluar dari kerumitan ini, PP sebenarnya memberi way out : “Dalam hal pelaku usaha merupakan usaha mikro dan kecil, biaya sertifikasi halal dapat difasilitasi oleh pihak lain: pemerintah pusat melalui APBN, pemda melalui APBD, perusahaan, lembaga sosial, lembaga keagamaan, asosiasi, atau komunitas” (PP Pasal 62). Ketika merumuskan secara operasional nomenklatur “fasilitasi” ini, tim RPMA bergelut dengan argumen bagaimana mekanisme fasilitasi itu diberlakukan untuk pengurusan sertifikasi halal. Apakah gratis atau membayar, berapa besarnya. Meliputi apa saja. Bagaimana mekanismenya. Kalau hendak melibatkan Kementerian Koperasi dan UKM atau Pemerintah Daerah, bagaimana peran mereka masing-masing.

Beberapa asosiasi usaha makanan dan minuman (mamin) mengusulkan agar pemerintah mensubsidi alias menggratiskan pengurusan sertifikat halal untuk usaha mikro dan kecil. Implikasi dari usulan ini serius. Pertama, kalau usulan ini diterima, bagaimana perolehan pemasukan BPJPH sebagai PK-BLU yang harus mengurusi administrasi dan kebutuhan operasional lainnya? Kedua, kalau sertifikasi halal bagi pelaku usaha mikro digratiskan, siapa yang menanggung biaya operasional LPH dalam memeriksa atau menguji produk, dan MUI yang melaksanakan sidang fatwa. Ketiga, makna fasilitasi yang diberikan pihak-pihak di atas perlu pengaturan. Siapa yang menetapkan. Keempat, kalau subsidi diberlakukan, siapa yang berhak menerima. Berapa banyak pelaku usaha. Bagaimana pelaksanaannya. Dan seterusnya. Artinya, penormaan dalam PMA mengatur pekerjaan yang dilakukan oleh lembaga lain. Dan itu perlu kordinasi dan konsolidasi, MoU atau nota kesepahaman agar pelaksanaannya tak salah sasaran.

Elemen penting sertifikasi halal adalah LPH. Sebulan sebelum pemberlakuan kewajiban sertifikat halal, tak satupun LPH yang berhasil didirikan oleh BPJPH. Padahal banyak ormas keagamaan, yayasan atau perkumpulan, perguruan tinggi negeri, unit di kementerian/lembaga, dan juga pesantren yang sudah mengajukan proposal ke BPJPH. Numpuk di meja. Tak bisa dieksekusi. Kenapa? Karena perangkat regulasinya tak mencukupi. Dan itu ada di rumusan PMA yang secara operasional mengatur tata cara pendirian LPH. Jadi, meskipun kebutuhan adanya LPH amat mendesak, BPJPH belum bisa mengeluarkan surat keterangan akreditasi LPH. Lagi-lagi, dalam pemeriksaan keabsahan dokumen dan visitasi lapangan atas pengajuan LPH, BPJPH melibatkan MUI untuk memastikan kelaikan dan kelayakan proposal, terutama dari aspek kesesuaian syariah/halal terpenuhi. Poin ini tidak diatur eksplisit di PP, namun penting dinormakan secara implisit di PMA.

Salah satu persyaratan pendirian LPH harus memiliki minimal 3 (tiga) orang auditor halal. Masalahnya, auditor halal ini harus terlebih dahulu mengikuti diklat (pendidikan dan pelatihan) dan uji kompetensi yang diselenggarakan MUI (PP, Pasal 22). Sebagai ilustrasi, kalau di tiap propinsi akan berdiri 3 (tiga) LPH, kebutuhan auditor halal yang harus terpenuhi minimal 300 orang. Untuk melatih dan menguji kompetensi auditor sesuai persyaratan regulasi, perlu waktu dan biaya, juga kecepatan menyiapkan diklat dan uji kompetensi. Meski sudah ada SKKNI (Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia) yang disepakati BPJPH dan MUI, pelaksanaan uji kompetensi tak serta merta dapat direalisasikan dalam waktu cepat. Apa implikasinya? Persyaratan pendirian LPH akan terkendala. Padahal LPH adalah homebase para auditor halal. Rancangan PMA mengatur detil tatacara pengangkatan, pemberhentian, pengajuan, registrasi, diklat, dan uji kompetensi auditor halal.

Sekarang kembali ke laptop. Apapun kondisinya, 17 Oktober sudah di depan mata. Tak boleh ada kata mundur, apalagi mengelak. BPJPH yang diamanahi UU untuk melaksanakan jaminan produk halal, siap tak siap harus siap. Karenanya, berbagai persiapan musti dilakukan. Semua tenaga harus dikerahkan. Semua jaringan mesti dimanfaatkan. Segala sumberdaya (resources) tak boleh tidak harus diberdayakan. Beruntung BPJPH punya stakeholders halal yang banyak. Setidaknya dua belas kementerian dan lembaga yang terkait langsung dengan persoalan halal. Ini menjadi modal institusional (institutional capital) penting jika disinergikan dengan maksimal. Artinya, soal halal menjadi konsen banyak pihak.

Rapat kordinasi antar kementerian dan lembaga yang diinisiasi BPJPH tanggal 2 Oktober lalu memercikkan optimisme dan kesiapan pemerintah menjelang pemberlakuan kewajiban sertifikasi halal 17 Oktober 2019. Kementerian perindustrian, perdagangan, koperasi dan UKM, pertanian, luar negeri, dalam negeri, BPOM, KAN, bahkan Polri hadir dan menyatakan komitmen. BPJPH juga menyodorkan naskah nota kesepahaman untuk mengikat para pihak dalam membantu layanan, sosialisasi, edukasi, fasilitasi sertifikasi halal sampai penyediaan penyelia halal yang akan bertugas sebagai ‘pendamping’ proses produksi, khususnya bagi pelaku usaha mikro dan kecil. Langkah ini menjawab aspirasi banyak pihak menginginkan adanya semacam discriminative action dari pemerintah untuk pelaku usaha mikro dan kecil dalam sertifikasi halal.

Sertifikasi halal adalah ranah pelayanan publik yang menjadi konsen Ombudsman RI. Beberapa waktu lalu Ombudsman melansir hasil pengawasan terhadap kesiapan layanan BPJPH dalam melaksanakan mandat UU 33 tahun 2014. Menurut Ombudsman, salah satu titik kritis BPJPH adalah ketidaksiapan pelaksana sertifikasi halal di daerah. Temuan ini tak sepenuhnya benar karena status BPJPH sebagai PK-BLU tak memiliki struktur organisasi di daerah. Namun demikian, komitmen mendekatkan layanan ke masyarakat, BPJPH dalam waktu dekat akan membentuk “perwakilan” di daerah melalui Kanwil Kemenag. Selain karena resource yang dimiliki Kanwil cukup memadai, ada ASN/PNS dan pelayanan terpadu satu pintu (PTSP), langkah ini guna merespon lesson learned MUI yang telah melaksanakan layanan desentralisasi dalam sertifikasi halal sampai provinsi. LPPOM-MUI mendelegasikan layanan sertifikasi halal ke daerah untuk jenis produk lokal. Sidang fatwa penetapan kehalalan produk pun dilaksanakan MUI Provinsi. Dengan membuka layanan di Kanwil Kemenag, BPJPH berharap akan terjadi akselerasi layanan sertifikasi halal seperti diinginkan para pelaku usaha.

MUI sebagai partner strategis BPJPH dalam 3 skema utama kerjasama: akreditasi LPH, sertifikasi auditor halal, dan penetapan kehalalan produk. LPPOM-MUI saat ini adalah satu-satunya lembaga yang melaksanakan fungsi LPH, yakni pemeriksaan dan/atau pengujian produk. Mengacu pada UU JPH, LPH existing tetap diakui. Yang dimaksud klausul ini adalah LPPOM-MUI. Karena itu, dalam RPMA posisi LPPOM sebagai LPH dipertegas lagi. Sebagai lembaga pemeriksa/pengujian produk, LPH adalah bagian tak terpisahkan dalam proses sertifikasi halal. Karena itu, LPPOM-MUI diberi waktu dua tahun untuk menyesuaikan dengan ketentuan PMA setelah diundangkan. Pada saat yang sama, BPJPH akan mendorong pendirian LPH baru di berbagai daerah. Tujuannya untuk memberikan pelayanan maksimal kepada pelaku usaha di seluruh Indonesia untuk sertifikasi halal.

BPJPH masih seumuran jagung. Lahir tanggal 11 Oktober 2017, BPJPH langsung dipaksa berlari untuk mengemban tugas berat menyelenggarakan jaminan produk halal di Indonesia. Sebagai anak kandung Kemenag RI, BPJPH sejatinya melanjutkan estafet perjuangan halal yang kurang lebih 30 tahun dilaksanakan oleh MUI bersama LPPOM-MUI (Lembaga Pengkajian Pangan Obatan-Obatan dan Kosmetika). Karenanya, kurang bijak jika menilai dan berharap lebih terkait dengan JPH otomatis berjalan seperti sediakala.

Perpindahan pengelolaan dari MUI ke BPJPH perlu masa transisi yang cukup dan diatur secara smooth dan wise. Infrastuktur halal dan sumberdaya yang dimiliki MUI sebagai modal, tapi tak bisa dialihkan begitu saja dan tiba-tiba. Ketegangan psikologis tak bisa dipungkiri muncul jua. Struktur organisasi dan manejemen pastilah berubah senafas dengan bisnis proses yang berbeda. Lingkungan strategis dan tantangan yang dihadapi BPJPH tentu berbeda dengan MUI saat memulai pelayanan halal 30 tahun lalu. Kompleksitas masalahnya juga unik, tak bisa disamakan. Lebih-lebih ketika jabang bayi bernama BPJPH lahir di saat perkembangan teknologi, perubahan sosial, dan kesadaran publik terhadap halal makin membaik. “Solusi yang tepat di waktu yang tepat” tampaknya diperlukan.

Anyway, ekspektasi masyarakat sudah kadung besar. Kehadiran BPJPH diangankan sebagai era baru penyelenggaraan halal di Indonesia. Dengan hastag #HalalIndonesia, BPJPH mengambil peran historis dengan mentransformasi pemberlakuan penyelenggaraan halal di Indonesia dari semula bersifat sukarela (voluntary) menjadi kewajiban (mandatory); dari semula dilaksanakan oleh ormas keagamaan Islam beralih menjadi tanggung jawab negara. Dalam peran krusial ini, BPJPH menjadi jembatan penghubung relasi agama dan negara yang secara eksperiensial telah berhasil dilaksanakan oleh umat Islam Indonesia. Kementerian Agama yang mengusung moderasi beragama menjadi representasi kemampuan Islam Indonesia mengakomodasi sekaligus menemukan jalan keluar terbaik bagaimana relasi agama dan negara dirajut dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Bagi umat Islam, persoalan halal bukan semata soal produk, tapi berkaitan dengan sipiritualitas karena merupakan perintah agama. Al-Quran menyebut perintah mengkonsumsi makanan yang halal dan baik (halalan thayyiban). Sekian hadits bicara soal pentingnya konsumsi halal yang berimplikasi pada pembentukan karakter muslim. Halal dalam perspektif ushuliyah merupakan kebutuhan dasar manusia (ad-dharuriyat al-khamsah) untuk menjaga kelangsungan hidup: hifd al-nafs, hifd al-nasl.

Pada saat yang sama, penyelenggaraan halal menemukan pijakan kuat pada konstitusi Indonesia, yakni UUD RI 1945, terutama pasal 29 ayat 2 yang mengamanatkan “negara menjamin kemerdekaan tiap penduduk untuk memeluk agama dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu”. Untuk menjamin itu, negara berkewajiban memberikan perlindungan dan jaminan tentang kehalalan produk yang dikonsumsi dan digunakan masyarakat. Atas amar inilah, lahir UU nomor 33 tahun 2014 yang menyebutkan tujuan penyelenggaraan JPH adalah  1) memberikan kenyamanan, keamanan, keselamatan, dan kepastian ketersediaan produk halal bagi masyarakat dalam mengonsumsi dan menggunakan produk; dan 2) meningkatkan nilai tambah bagi pelaku usaha untuk memproduksi dan menjual produk halal.

Kini, produk halal telah menjadi kesadaran global bahkan gaya hidup (halal life style). Karenanya mengelola halal meliputi mata rantai yang panjang, dari hulu ke hilir. Halal-value chain. Halal juga berkaitan dengan multi-stakeholders. Penetapan kehalalan produk perlu peran institusi lain: otoritas keagamaan (MUI), lembaga pemeriksa dan pengujian produk (LPH), pengawas produk (BPOM), peredaran barang/produk dari dalam dan luar negeri (Kementerian perindustrian, perdagangan, bea cukai), hubungan luar negeri, kerjasama internasional dengan lembaga halal negeri (Kemenlu), hingga lembaga akreditasi (KAN, BSN). Belum lagi pelaku usaha yang terdiri atas perusahaan besar, menengah, kecil dan mikro di bawah kordinasi dan pembinaan kementerian/lembaga lain (Kemenkes, Kemenkop UKM, Pemda, dan Kemendag).

Banyak pihak yang konsen dengan halal. Presiden, Wapres, MUI, para menteri, perguruan tinggi, pemda, ormas keagamaan, para pelaku usaha, dan dunia bisnis. Untuk memastikan layanan sertifikasi halal dipersiapkan dengan optimal, konsolidasi internal dan kordinasi serta komunikasi lintas instansi mesti harus tempuh. Kepalang tanggung. Amanat UU mesti dijalankan. Rawe-rawe rantas malang-malang putung. Sekali layar terkembang, pantang surut ke belakang.[]

Sumber: Kemenag