OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Selasa, 12 November 2019

Islam Dan Radikalisme

Ini Alasan MUI Jatim Imbau Pejabat Tak Lagi Ucapkan Salam Lintas Agama


10Berita,Surabaya - Sudah menjadi kebiasaan bagi para pemimpin di Indonesia saat memberikan salam di acara formal, tak hanya menyampaikan dalam agama Islam. Namun, mereka juga menggunakan salam dari agama lainnya seperti "Om Swastiastu", "Namo Budaya", dan "Salam Kebijakan".

Hal tersebut sudah menjadi pemandangan umum. Namun, pada pekan lalu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur mengeluarkan imbauan, agar salam lintas agama itu tak lagi diucapkan. Mereka mendorong hanya menggunakan salam dalam agama Islam.

Lalu, mengapa MUI mengeluarkan imbauan mengenai salam tersebut?

1. Alasan MUI keluarkan imbauan soal salam


Dalam surat yang diterima oleh IDN Times, terlihat imbauan itu diterbitkan Dewan Pimpinan MUI Jatim pada (8/11) lalu. Di dalam surat itu tertulis, pembacaan salam lintas agama yang didasari semangat kerukunan antarumat beragama, sebaiknya tak perlu lagi diucapkan.


"Dewan Pimpinan MUI Jatim menyerukan kepada umat Islam khususnya dan kepada pemangku kebijakan agar dalam persoalan salam pembuka dilakukan sesuai dengan ajaran agama masing-masing," demikian isi surat tersebut yang ditandangani oleh Ketua Umum DP MUI Jatim Abdusshomad Buchori.

Ketika dikonfirmasi, Somad membenarkan adanya surat tersebut. Penjelasan terkait larangan penggunaan salam lintas agama dijabarkan ke dalam delapan poin.

"Kami menandatangani atau membuat seruan itu karena doa itu adalah ibadah. Misalnya saya terangkan salam, Assalamualaikum, itu doa. Salam itu termasuk doa, dan doa itu ibadah," ujarnya ketika dihubungi pada Minggu (10/11).

2. Pejabat kerap mengucapkan salam lintas agama


Somad melanjutkan, salam lintas agama merupakan pembahasan hangat dalam DP MUI Jatim merujuk pada hasil Rakornas MUI 11-13 Oktober 2019 lalu. Saat ini, banyak pejabat telah terbiasa untuk menyampaikan salam dari berbagai agama yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Budha.

Padahal menurutnya, penyampaian salam dalam berbagai agama tak bisa dibenarkan dengan alasan untuk menjaga kerukunan lintas agama. Pasalnya, salam merupakan suatu doa yang bersifat sakral.

"Kalau saya menyebut Assalamualaikum itu doa, semoga Allah SWT memberi keselamatan kepada kamu sekalian dan itu salam umat Islam. Jadi ketika umat Muslim bertemu itu diawali dengan itu, semoga mendapat keselamatan yang diberikan oleh Allah," lanjutnya.

3. Salam dalam agama dianggap ibadah yang tak boleh dicampur aduk


Somad menjelaskan, pembacaan salam di dalam agama Islam merupakan doa dan ibadah. Oleh karena itu, ibadah berkaitan langsung dengan agama dan Tuhan masing-masing. Ia menganggap pencampuran agama dalam salam tidak dibenarkan.

Selain itu, di dalam salam agama lain pun memiliki arti yang tak jauh berbeda. Somad merasa bahwa pengulangan arti dengan berbagai bahasa dari agama lain tidak diperlukan.

"Misalnya pejabat, seorang gubernur, seorang presiden, wakil presiden, para menteri, kalau dia Muslim ya Assalamualaikum. Tapi mungkin kalau Gubernur Bali ya dia pakai salam Hindu. Karena salam itu adalah doa dan doa itu ibadah, ini menyangkut Tuhan dan agamanya masung-masing," kata Somad lagi.

4. Salam lintas agama disebut bid'ah atau minimal syubhat


Dalam salah satu poin yang ada di surat tersebut, turut dicantumkan bahwa pembacaan salam lintas agama merupakan perbuatan baru yang merupakan bid'ah. Selain itu, pengucapan salam semua agama minimal mengandung syubhat atau masih samar batas kehalalan maupun keharamannya. Sehingga, MUI menyarankan untuk menghindarinya.

"Kalau menggunakan salam campuran, itu mencampuradukkan agama, jadi pluralisme agama itu tidak boleh. Saya terangkan di dalam tausyiah agama itu tidak boleh. Karena agama itu eksklusif, karena keyakinan itu adalah sistem, agama itu sistem keyakinan dan agama punya sistem ibadah sendiri-sendiri," tutur dia lagi.

5. Sikap toleransi bisa ditunjukan dengan cara lain

Sementara, terkait semangat toleransi yang diusung dari pembacaan salam lintas agama, Somad mengatakan hal itu dapat disampaikan melalui tindakan lain tanpa perlu mencampurkan agama. Sehingga, menyampaikan salam satu agama bukan berarti tidak toleran.

"Kerukunan itu misalnya, kalau ada kebanjiran atau gempa, kita harus tolong-menolong, gak usah tanya agama. Kalau ada kecelakaan kita tolong, ndak usah tanya agama," ujar Somad.

Sumber: IDN times