Wafatnya Sang Srikandi di tanah pengasingan
Cut Nyak Dhien duduk di antara empat pria. Wajahnya menunduk seolah menahan sakit, dengan kedua tangan diletakkan di atas paha. Foto: https://bit.ly/2PTJDqa/elshinta.com.
10Berita - Awal November 1905, markas Cut Nyak Dhien, Srikandi Aceh diserbu pasukan Belanda. Korban berjatuhan dalam bentrokan yang berlangsung di bulan Ramadan tersebut.
Cut Nyak Dhien memang tak seperti dulu. Tubuhnya yang lemah membuatnya tidak lagi memungkinkan untuk melakukan perlawanan. Ia pun menyadari jika inilah akhir dari perjuangannya.
Cut Nyak Dhien terpaksa menyerah di bawah mengawalan serdadu Belanda. Namun, Belanda tetap khawatir jika Cut Nyak Dhien kembali melakukan perlawanan. Maka Belanda pun mengasingkan Cut Nyak Dhien ke Sumedang, Jawa Barat bersama seorang panglima perangnya dan seorang anak laki-laki berumur 15 tahun bernama Teuku Nana.
Gubernur Jenderal Belanda J.B.V. Heuts, adalah yang menerima Cut Nyak Dhien di Sumedang dan Bupati Sumedang yang pada saat itu adalah Pangeran Aria Suriaatmaja (Pangeran Mekah).
Hari-hari terakhir Cut Nyak Dhien dihabiskan di tanah Sunda. Cut Nyak Dien dirawat oleh KH. Sanusi, seorang ulama Masjid Agung Sumedang dan setelah KH.Sanusi wafat dirawat oleh H. Husna, anak dari KH. Sanusi.
Meskipun kondisi Cut Nyak Dien sudah tidak bisa melihat, beliau masih bisa memberikan pelajaran mengaji bagi ibu-ibu warga kaum dan masyarakat Sumedang, sehngga diberi julukan Ibu Perbu atau Ratu.
Di usia ke 60, tanggal 6 November 1908, Srikandi Aceh Cut Nyak Dhien meninggal dunia dan dimakamkan di Gunung Puyuh, Desa Sukajaya Kecamatan Sumedang Selatan, tidak jauh dari Alun-Alun Sumedang.
Makam Cut Nyak Dhien sendiri baru ditemukan pada tahun 1959. Upaya pencarian makamnya di pedalaman Sumedang diinisiasi oleh Gubernur Aceh saat itu, Ali Hasan dengan didasari atas data-data dari negeri Belanda. Sementara dari sebelum tahun 1950, masyarakat tidak ada yang mengetahui bahwa itu makam Cut Nyak Dien, tapi makam ibu Perbu.
Sumber: Elshinta.com
Cut Nyak Dhien duduk di antara empat pria. Wajahnya menunduk seolah menahan sakit, dengan kedua tangan diletakkan di atas paha. Foto: https://bit.ly/2PTJDqa/elshinta.com.
10Berita - Awal November 1905, markas Cut Nyak Dhien, Srikandi Aceh diserbu pasukan Belanda. Korban berjatuhan dalam bentrokan yang berlangsung di bulan Ramadan tersebut.
Cut Nyak Dhien memang tak seperti dulu. Tubuhnya yang lemah membuatnya tidak lagi memungkinkan untuk melakukan perlawanan. Ia pun menyadari jika inilah akhir dari perjuangannya.
Cut Nyak Dhien terpaksa menyerah di bawah mengawalan serdadu Belanda. Namun, Belanda tetap khawatir jika Cut Nyak Dhien kembali melakukan perlawanan. Maka Belanda pun mengasingkan Cut Nyak Dhien ke Sumedang, Jawa Barat bersama seorang panglima perangnya dan seorang anak laki-laki berumur 15 tahun bernama Teuku Nana.
Gubernur Jenderal Belanda J.B.V. Heuts, adalah yang menerima Cut Nyak Dhien di Sumedang dan Bupati Sumedang yang pada saat itu adalah Pangeran Aria Suriaatmaja (Pangeran Mekah).
Hari-hari terakhir Cut Nyak Dhien dihabiskan di tanah Sunda. Cut Nyak Dien dirawat oleh KH. Sanusi, seorang ulama Masjid Agung Sumedang dan setelah KH.Sanusi wafat dirawat oleh H. Husna, anak dari KH. Sanusi.
Meskipun kondisi Cut Nyak Dien sudah tidak bisa melihat, beliau masih bisa memberikan pelajaran mengaji bagi ibu-ibu warga kaum dan masyarakat Sumedang, sehngga diberi julukan Ibu Perbu atau Ratu.
Di usia ke 60, tanggal 6 November 1908, Srikandi Aceh Cut Nyak Dhien meninggal dunia dan dimakamkan di Gunung Puyuh, Desa Sukajaya Kecamatan Sumedang Selatan, tidak jauh dari Alun-Alun Sumedang.
Makam Cut Nyak Dhien sendiri baru ditemukan pada tahun 1959. Upaya pencarian makamnya di pedalaman Sumedang diinisiasi oleh Gubernur Aceh saat itu, Ali Hasan dengan didasari atas data-data dari negeri Belanda. Sementara dari sebelum tahun 1950, masyarakat tidak ada yang mengetahui bahwa itu makam Cut Nyak Dien, tapi makam ibu Perbu.
Sumber: Elshinta.com