OPUNG & VIVERE PERICOLOSO
OPUNG & VIVERE PERICOLOSO
Orang Indonesia paling berani, sekaligus paling berkuasa, hari ini adalah Opung. Bayangkan, dia menakhodai sendiri bahtera Indonesia secara amatiran, menempatkan seluruh penumpang dalam keadaan bahaya. Manuver Opung yang lancang ini disebut orang sebagai vivere pericoloso: nyerempet-nyerempet bahaya.
Penumpang cemas karena Opung bukan nakhoda yang resmi. Dia tak punya sertifikat ilmu pelayaran. Nakhoda yang resmi, Jae namanya, disuruh tidur. Jae pun senang disuruh tidur karena, meskipun memiliki sertifikat, ia tak tahu apa-apa tentang kapal, badai, dan samudera. Sertifikatnya juga abal-abal, diperolehnya secara tipu-tipu atas sokongan Opung dan bajak laut. Hanya sesekali Jae kaget, mengigau, lalu tenggelam kembali dalam mimpi-mimpi indah.
Sudah sejak awal, ketika kapal berlayar lebih dari lima tahun lalu, Opung mengambil alih kemudi. Bahkan, amat sering ia mengerjakan tugas-tugas awak kapal juga. Pokoknya, semua urusan kapal ditanganinya sendirian sehingga seluruh awak dan nakhoda terlihat menganggur. Tapi realitas inilah yang membuat penumpang khawatir akan nasib kapal dan nasib mereka sendiri.
Masalahnya, makin hari kapal makin oleng. Badai dan gelombang makin menjadi-jadi. Sementara pulau tujuan belum juga nampak. Melihat keadaan samudera dan kondisi kapal, sebagian penumpang tak yakin kapal akan sampai di tujuan dengan selamat. Ada juga satu-dua penumpang yang akal sehatnya masih tersisa, yang sejak awal mendukung Jae sebagai nakhoda resmi, mulai ragu. Mungkin juga siuman. Sisanya berlagak seperti bangau, yang ketika melihat bahaya, memasukkan kepalanya ke dalam pasir, lupa bahwa badannya masih nongol di permukaan.
Sekarang terjadi kebingungan hebat di atas kapal sejak covid-19 menyerang. Satu demi satu penumpang yang terpapar virus jatuh sakit atau malah mati dan jenazahnya dibuang begitu saja ke laut. Ajaibnya, Opung -- yang sama sekali tidak pernah sekolah kedokteran -- malah maju memimpin penanggulangan wabah. Ia mengatur semaunya dengan mengabaikan nasihat ilmuan. Kapal mulai heboh. Yang sakit dan mati meningkat secara eksponensial. Sementara kebutuhan penumpang di kapal mulai berkurang. Mulai terbayang di benak mereka kisah tenggelamnya kapal Titanic. Kapal yang naas itu tenggelam secara tragis di Samudera Atlantik, membunuh semua awaknya yang merupakan orang kebanyakan, kecuali orang-orang kaya dan bangsawan. Bahtera Indonesia saat ini menyerupai Titanic.
Segelintir awak kapal yang kompeten ingin membantu menyelamatkan kapal, namun kebijakan mereka dianulir Opung. Mengapa dalam situasi genting ini -- di saat semua awak perlu bersinergi untuk menyelamatkan seluruh penumpang tanpa kecuali -- Opung masih ngotot bereksperimen dengan ide-idenya yang sulit difahami orang. Bukan karena ide-ide itu begitu canggihnya sehingga tak mampu dicerna penumpang, tapi karena bertentangan dengan akal sehat dan sains.
Sains mengatakan harus ada lockdown untuk memutus rantai penularan wabah sebagaimana dilakukan banyak negara dengan berhasil atau memperlihatkan gejala akan berhasil, seperti dialami Selandia Baru dan beberapa negara lainnya. Amerika, yang penanganannya menyerupai Indonesia, kini tampil sebagai negara dengan korban covid-19 tertinggi di dunia, dan belum ada tanda-tanda akan segera mereda.
Karena tak yakin dengan cara Opung menangani wabah berbahaya ini, penumpang berspekulasi, jangan-jangan Opung memilih kebijakan herd immunity (kekebalan kelompok), ketimbang mengorbankan ekonomi. Dengan kata lain, biarkan 2-4% penumpang mati demi stabilitas ekonomi agar kapal tidak karam. Ini ide gila, kata para cerdik pandai di kapal. Menyelamatkan seluruh penumpang dengan menjaga kebutuhan dasar mereka merupakan hukum tertinggi di kapal. Bahkan, kalau perlu, nakhoda harus ikut mati bersama penumpang sesuai etika pelayaran sebagaimana matinya kapten titanic. Yang membuat para cerdik pandai di kapal marah karena ide-ide Opung itu tidak sesuai dengan kapasitas kapal untuk mendukungnya. Juga tidak sesuai dengan keadaan samudera yang siap mengaramkan kapal reot ini. Tapi, Opung tidak peduli. Ia bahkan mengancam menghukum penumpang cerewet yang memprotes ide-idenya.
Dengan kekuasaan besar di atas kapal, yang dilimpahkan Jae yang tak punya ide dan lebih memilih tidur, Opung menyetir kapal tanpa kompas dengan prinsip vivere pericoloso. Kekuasaannya begitu besar yang tak ada presedennya dalam sejarah modern negara Indonesia. Tak ada menteri yang menguasai mutlak presiden, kecuali pada rezim Jae. Bahkan kekuasaan Opung melebihi Perdana Menteri Gajah Mada. Ia tak perlu berkonsultasi dengan Jae dalam mengambil keputusan. Bahkan kebijakan awak yang brilian, seperti Wan Abood, sesuai wewenang dan keahliannya berkali-kali dianulir Opung. Bukan karena kebijakannya tak sesuai Pembatasan Sosial Berskala Besar, tapi Wan Abood terlalu hebat. Ide-ide cemerlangnya membuat Opung dan Jae sebagai nakhoda resmi terlihat kerdil terkait dengan penanggulangan wabah. Langkah Wan Abood selalu lebih cepat, terukur, dan akurat, serta menabrak kebijakan Opung yang sesat.
Contohnya, Opung membatalkan kebijakan Wan Abood membatasi operasi transportasi sebagai konsekuensi dari kebijakan social distancing dari pemerintah. Contoh lain, Opung menganulir kebijakan Wan Abood melarang ojol mengangkut penumpang sejalan dengan PSBB. Opung membolehkan ojol mengangkut penumpang. Padahal itu menyalahi kebijakan physical distancing. Orang pun melihat kelakuan Opung ini bertujuan mengerdilkan awak yang terlalu pandai dan mewujudkan ide gilanya menyelamatkan ekonomi.
Melihat kelakuan Opung yang overconfident dalam menguasai kapal, penumpang pun bertanya: apakah kita akan sampai di tujuan dengan selamat sentosa tanpa kekurangan suatu apa pun? Suara terpecah. Ada yang yakin, ragu, dan sama sekali tak yakin.
Penumpang pun teringat pada Soekarno, orang cerdas yang populis, yang memperkenalkan prinsip vivere pericoloso. Pada era itu, Soekarno menakhodai Indonesia mengarungi samudera luas yang penuh bahaya. Dan dia gagal. Badai politik yang menerpa kapal tak sanggup ia kendalikan. Para penumpang yang dikendalikan seorang awak akhirnya mengambil alih kemudi kapal. Soekarno terhempas, dikarantinakan, kemudian hilang. Jasa besarnya redup dan baru dikenang kembali secara sayup-sayup di kemudian hari. Soekarno memang berhasil memerdekakan Indonesia. Namun, ia gagal memajukan dan menyejahterakan Indonesia.
Lalu, bagaimana dengan nasib bahtera Indonesia di bawah Opung? Juga, bagaimana Opung sendiri? Entahlah. Tapi jelas kapal sedang tersesat di tengah badai di samudera luas tak bertepi. Di sana-sini mulai terjadi kebocoran. Ide-ide Opung dalam mengendalikan kapal banyak diprotes penumpang yang cerdas karena tidak berbasis ilmu dan tak sejalan dengan harapan penumpang. Maka kita melihat terjadi kekacauan di kapal, perbenturan antara Opung dengan awak, Opung dengan penumpang, dan antara awak dengan awak. Jae sempat terbangun oleh riuh-rendah di kapal, tapi kemudian tertidur lagi karena toh dia tak tahu apa yang mesti dilakukan.
Apakah kemudian awak dan penumpang akan mengambil alih kapal sebagaimana yang terjadi pada rezim Soekarno, Soeharto, dan Gus Dur? Itu bisa saja, mengingat Opung nampak bakal tak sanggup mengendalikan kapal, sementara penumpang makin kritis dalam menanggapi manuver Opung. Kalau pada akhirnya penumpang melihat kapal akan segera karam, tak ada pilihan lain bagi mereka kecuali menyingkirkan Opung, juga Jae.
Sebenarnya Jae tak salah karena tidak melakukan apa-apa selama ini, kecuali tidur. Bukankah kita tak adil meminta pertanggungjawaban pada orang yang tidak melakukan apa-apa? Yang melakukan semuanya kan Opung! Jadi, mintalah pertanggungjawban pada Opung, bukan aku. Tapi di situlah kesalahanJae karena tidak berbuat apa-apa di saat dia harus melakukannya sesuai konstitusi dan sesuai sertifikat yang dimilikinya sebagai kapten kapal.
Kekacauan di atas kapal ini tidak direspons secara memadai oleh Opung atas nama Jae. Sebagian penumpang melihat Opung telah kelelahan dan tak bertenaga lagi, karena itu kemudi kapal harus segera diambil dari tangan Opung sebelum kapal benar-benar karam. Tapi sebagian lain berharap ada mukjizat dari Opung untuk menyelamatkan kapal. Apapun, banyak penumpang mulai menangis menghadapi situasi yang menyeramkan ini dan tak tahu harus berbuat apa. Nasib bahtera Indonesia kini terletak pada kaum cerdik pandai dengan dukungan mayoritas penumpang kapal. Dan sayup-sayup terdengar suara Tuhan: Aku tak akan mengubah nasib suatu kaum sampai kaum itu mengubah nasib mereka sendiri!
Penulis: Smith Alhadar
Direktur Eksekutif Institute for Democracy Education (IDE)
*Sumber: https://www.telusur.co.id/detail/opung-dan-vivere-pericoloso