OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Selasa, 26 Mei 2020

Kisah Ibnu Mas'ud, Pendeta Masuk Islam di Mojokerto, Gerejanya Pernah Dibom

Kisah Ibnu Mas'ud, Pendeta Masuk Islam di Mojokerto, Gerejanya Pernah Dibom

Ibnu Mas'ud mualaf eks pendeta (kaus putih) bersama pimpinan Ponpes Al Hasani Kebumen Jateng Asyhari Muhammad Al Hasani. (Ist)

10Berita- Makam keluarga pondok pesantren Al Hasani, Desa Jatimulyo, Alian Kebumen Jawa Tengah jadi tempat Ibnu Mas'ud (55) menyibukkan diri. Ia rajin membersihkan sampah yang berserak di makam. Ini adalah bagian dari pengabdiannya kepada agama barunya, Islam.

Untuk mencukupi kebutuhan harian, Ibnu Mas'ud tak segan bekerja menjadi tukang kebun sekolah. Ia juga memungut sampah atau barang rongsokan untuk dijual kembali.

Kehidupan Ibnu Mas'ud yang merupakan seorang mualaf ini sangat bertolak belakang dengan kehidupannya dulu. Padahal dahulu ia golongan priayi.

Tepatnya, saat ia masih menjadi pendeta di sebuah gereja di Mojokerto, Jawa Timur. Ia dan keluarganya sempat tinggal di kota bergelimang harta.

"Aktivitas saya sekarang azan di masjid, membersihkan makam, jadi tukang kebun dan memungut rongsok di tempat sampah," kata Ibnu Mas'ud saat berbincang dengan SuaraJawaTengah.id lewat telepon, (14/5/2020)

Kehidupan Ibnu Mas'ud berubah total setelah memutuskan masuk Islam. Ia meninggalkan segala urusan dunia yang pernah memanjakannya.

Ibnu Mas'ud pun meninggalkan anak istri karena menolak ajakannya masuk Islam.

Agus Setiyono, nama awal Ibnu Mas'ud sebelum mualaf, memperoleh hidayah usai melihat bintang berbentuk lafadz Allah dengan aksara Arab di suatu tengah malam.

Ibnu Mas'ud merasa itu petunjuk kebenaran. Hingga hatinya mantap untuk masuk Islam. Setiyono lalu disarankan budenya ke Ponpes Lirboyo Kediri untuk memantapkan keyakinannya dan mempelajari Islam.

Hingga ia bersahadat di sana, di bawah bimbingan KH Idris Marzuki saat masih hidup. Namanya kemudian diganti menjadi Ibnu Mas'ud.

"Setelah sahadat, saya diajari wudu, membaca alif baa ta, salat yang benar. Dari situ saya menjalankan tata krama Islam dengan baik,"katanya

Keputusan pendeta itu masuk Islam sempat ditentang kalangannya. Ia bahkan mengaku sempat mendapat ancaman. Namun siapapun tak bisa menggugat keputusannya. Mas'ud memutuskan meninggalkan kota dan orang-orang yang sempat berhubungan dengannya, termasuk keluarga.

Ibnu Mas'ud tak lagi memegang handphone untuk memutus kontak dengan kenalannya. Dari Jawa Timur, ia hijrah ke sebuah desa di Kecamatan Alian Kebumen Jawa Tengah. Di sana ia memperdalam pengetahuan Islam di Pondok Pesantren Al Hasani pimpinan Kyai Asyhari Muhammad Al Hasani yang juga Ketua Pagar Nusa Kebumen. Ia bertemu Kyai Asyhari sewaktu di Lirboyo hingga memutuskan ikut ulama itu pulang ke Kebumen atas restu KH Idris Marzuki.

Tiga tahun menimba ilmu di pesantren membuat pengatahuan agama Mas'ud terus bertambah. Ia yang telah
matang belajar teologi Kristen hingga menjadi pendeta, kini harus mulai nol lagi untuk mempelajari Islam.

"Alhamdulillah pengetahuan bertambah. Kegiatan istigasah, mujahadah saya ikuti. Kitab kuning saya pelajari," kata Ibnu Mas'ud.

Semakin dalam pengetahuannya tentang Islam, hatinya semakin mantab. Agama Islam ternyata tak seperti bayangannya dulu sebelum menjadi mualaf, yakni keras dan menakutkan.

Agama Islam mengajarkan kedamaian serta akhlak karimah. Bukan radikalisme sebagaimana dicitrakan selama ini. Ia kini tahu aksi teror hanyalah ulah oknum yang membawa nama agama untuk menghalalkan tindakannya.

Ibnu Mas'ud ternyata punya pengalaman tentang kejahatan terorisme yang sempat mengancam nyawanya. Gerejanya pernah dibom saat ia dan umat Kristiani lain menjalankan peribadatan Natal.

Seketika ledakan itu membuat jemaat lari kocar kacir. Mas'ud yang kala itu masih bernama Agus Setiyono ikut lari tunggang langgang untuk menyelamatkan diri. Insiden itu bahkan menewaskan seorang anggota Banser NU yang sedang berjaga mengamankan gereja.

Ibnu Mas'ud berhasil selamat dari insiden itu, meski ada jemaat yang luka karena terkena puing ledakan. Meski selamat, insiden itu melahirkan trauma mendalam bagi Mas'ud. Ia benar-benar ketakutan jika peristiwa serupa terulang dan menimpanya.

"Saya tidak membenci (Islam), saya hanya takut saat itu," kata Ibnu Mas'ud.

Sumber: Suara.com