OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Senin, 08 Februari 2021

Berderai Air Mata, Wanita Uyghur Ungkap Kekerasan Seksual Brutal di Kamp Rezim Komunis China

Berderai Air Mata, Wanita Uyghur Ungkap Kekerasan Seksual Brutal di Kamp Rezim Komunis China



10Berita,Ziawudun menangis ketika mengidentifikasi rekaman dan gambar kamp. Foto: Hannah Long-Higgins

PARA laki-laki selalu memakai masker, kata Tursunay Ziawudun, meski saat itu tidak ada wabah.

Mereka mengenakan setelan tertentu, bukan seragam polisi.

Beberapa saat setelah tengah malam, mereka datang ke sel untuk memilih wanita yang mereka inginkan lalu membawa mereka ke koridor menuju “ruang hitam”, di mana tidak ada kamera pengintai.

Beberapa malam, kata Ziawudun, mereka membawanya.

“Mungkin ini bekas luka yang paling tak terlupakan bagiku selamanya. Aku bahkan tak ingin kata-kata ini keluar dari mulutku”.

===========

Tursunay Ziawudun disekap selama sembilan bulan di dalam sistem kamp konsentrasi rezim komunis China yang luas dan rahasia di wilayah Xinjiang.

Menurut perkiraan independen, lebih dari satu juta pria dan wanita telah ditawan di jaringan kamp yang luas, yang menurut rezim China didirikan untuk “pendidikan ulang” orang-orang Uyghur dan minoritas lainnya.

Kelompok HAM mengatakan bahwa rezim komunis China secara bertahap telah mencabut kebebasan beragama dan kebebasan lainnya dari orang-orang Uyghur, yang berpuncak pada sistem yang menindas; berupa pengawasan massal, penahanan, indoktrinasi, bahkan sterilisasi paksa.

Kebijakan tersebut bermuara dari titah gembong komunis China, Xi Jinping, yang mengunjungi Xinjiang pada tahun 2014, setelah “serangan teror oleh separatis Uyghur”.

Tak lama kemudian, menurut dokumen yang bocor ke New York Times, Xi Jinping memerintahkan pejabat lokal untuk menindak “tanpa belas kasihan sama sekali”.

Pemerintah Amerika Serikat (AS) bulan lalu mengatakan bahwa tindakan China sejak saat itu merupakan genosida. Akan tetapi, rezim China selalu ngeles mengatakan laporan penahanan massal dan sterilisasi paksa adalah “kebohongan dan tuduhan yang tidak masuk akal”.

Kesaksian langsung dari dalam kamp konsentrasi jarang mencuat. Akan tetapi, beberapa mantan tawanan dan seorang penjaga mengatakan kepada BBC bahwa mereka mengalami atau melihat bukti dari sistem pemerkosaan massal, pelecehan seksual, dan penyiksaan yang terorganisir.

Tursunay Ziawudun, yang melarikan diri dari Xinjiang setelah dibebaskan dan sekarang berada di AS, mengatakan wanita dikeluarkan dari sel “setiap malam” lalu diperkosa oleh satu atau lebih pria China yang bermasker.

Dia mengatakan bahwa dia telah disiksa kemudian diperkosa beramai-ramai sebanyak tiga kali; setiap kali oleh dua atau tiga pria.

Ziawudun telah berbicara dengan media sebelumnya, tetapi hanya dari Kazakhstan, di mana dia hidup dalam ketakutan terus-menerus dan merasa terancam bakal dikirim kembali ke China.

Ziawudun khawatir jika dirinya mengungkapkan tingkat pelecehan seksual yang dilihat dan dialami, bakal dikembalikan ke Xinjiang, lalu akan dihukum lebih keras dari sebelumnya. Dia merasa malu.

Tidak mungkin untuk memverifikasi kesaksian Ziawudun sepenuhnya karena pembatasan ketat yang diberlakukan China kepada wartawan di negara itu, tetapi dokumen perjalanan dan catatan imigrasi yang dia berikan kepada BBC menguatkan garis waktu ceritanya.

Penjelasannya tentang kamp di daerah Xinyuan – dikenal di Uyghur sebagai daerah Kunes –cocok dengan citra satelit yang dianalisis oleh BBC. Uraiannya tentang kehidupan sehari-hari di dalam kamp, serta sifat dan metode pelecehan, juga sesuai dengan laporan lain dari mantan tawanan.

Dokumen internal dari sistem peradilan daerah Kunes dari tahun 2017 dan 2018, diberikan kepada BBC oleh Adrian Zenz, seorang ahli terkemuka tentang kebijakan China di Xinjiang.

Dalam satu dokumen Kunes, proses “pendidikan” digambarkan sebagai “membasuh otak, membersihkan hati, memperkuat kebenaran, dan melenyapkan kejahatan”.

Tidak Berdaya Melawan

BBC juga mewawancarai seorang wanita Kazakh dari Xinjiang yang ditawan selama 18 bulan. Ia mengatakan bahwa dirinya dipaksa menelanjangi wanita Uyghur dan memborgol mereka, sebelum meninggalkan mereka sendirian bersama pria China. Setelah itu, dia membersihkan kamar.

“Pekerjaan saya adalah melepas pakaian mereka di atas pinggang dan memborgol mereka sehingga mereka tidak bisa bergerak,” kata Gulzira Auelkhan, seraya menyilangkan pergelangan tangannya di belakang kepala untuk memperagakan.

“Kemudian saya akan meninggalkan wanita di kamar dan seorang pria akan masuk – beberapa pria China dari luar atau polisi. Saya duduk diam di samping pintu, dan ketika pria itu meninggalkan kamar, saya membawa wanita itu untuk mandi.”

“Orang-orang China (dari luar, red) membayar dengan sejumlah uang untuk memilih tawanan muda tercantik”, katanya.

Beberapa mantan tawanan kamp menggambarkan bahwa mereka dipaksa untuk membantu penjaga atau bakal menghadapi hukuman. Auelkhan mengatakan dia tidak berdaya untuk melawan atau campur tangan.

Ditanya apakah ada sistem pemerkosaan terorganisir, dia menegaskan: “Ya, pemerkosaan.”

“Mereka memaksa saya masuk ke kamar itu,” katanya. “Mereka memaksa saya melepas pakaian wanita itu dan memborgol tangan mereka, lalu meninggalkan ruangan.”

Beberapa wanita yang dibawa keluar dari sel pada malam hari tidak pernah dikembalikan, kata Ziawudun. Mereka yang dibawa kembali diancam agar tidak memberi tahu orang lain di sel tentang apa yang terjadi pada mereka.

“Anda tidak bisa memberi tahu siapa pun apa yang terjadi, Anda hanya bisa bungkam,” katanya. “Itu dirancang untuk menghancurkan semangat hidup setiap orang.”

Adrian Zenz mengatakan kepada BBC bahwa kesaksian yang dikumpulkan untuk menguak fakta ini adalah beberapa bukti paling buruk yang pernah dia dengar sejak kekejaman dimulai.

“Ini menegaskan yang terburuk dari apa yang kami dengar sebelumnya. Ini memberikan bukti resmi dan terperinci tentang pelecehan dan penyiksaan seksual pada tingkat yang jelas lebih besar dari apa yang kami asumsikan.”

Kerabat Ditahan untuk Membungkam

Orang Uyghur adalah kelompok minoritas Turki yang sebagian besar beragama Islam yang berjumlah sekitar 11 juta di Xinjiang di barat laut China. Wilayah itu berbatasan dengan Kazakhstan dan juga rumah bagi etnis Kazakh.

Ziawudun, 42 tahun, adalah orang Uyghur. Suaminya adalah seorang Kazakh. Pasangan itu kembali ke Xinjiang pada akhir 2016 setelah tinggal selama lima tahun di Kazakhstan. Mereka diinterogasi pada saat kedatangan dan paspor mereka disita.

Beberapa bulan kemudian, dia diberitahu oleh polisi untuk menghadiri pertemuan bersama warga Uyghur dan Kazakh lainnya. Kemudian kelompok itu ditangkap dan ditawan.

Masa penahanan pertamanya relatif mudah, katanya, dengan makanan yang layak dan akses ke teleponnya. Setelah satu bulan, dia menderita sakit maag dan “dibebaskan”. Paspor suaminya dikembalikan, lalu pria itu kembali ke Kazakhstan untuk bekerja.

Akan tetapi, rezim menahan paspor Ziawudun, menjebaknya tetap berada di Xinjiang. Laporan menunjukkan, China dengan sengaja menahan kerabat untuk mencegah mereka yang telah “bebas” buka suara.

Pada 9 Maret 2018, saat suaminya masih di Kazakhstan, Ziawudun diperintahkan untuk melapor ke kantor polisi setempat. Dia diberitahu bahwa dia membutuhkan “pendidikan lebih lanjut”.

Ziawudun lantas diangkut kembali ke fasilitas yang sama seperti penahanan sebelumnya, di daerah Kunes. Akan tetapi, lokasi tersebut telah berubah secara signifikan. Bus-bus berbaris di luar sambil menurunkan tawanan baru “tanpa henti”.

Perhiasan para wanita disita. Anting-anting Ziawudun dicabut, yang menyebabkan telinganya berdarah. Dia digiring ke sebuah ruangan dengan sekelompok wanita. Di antara mereka ada seorang wanita tua; yang pada perkembangannya berteman dengan Ziawudun.

Penjaga kamp melepas jilbab wanita itu, kata Ziawudun, dan meneriakinya karena mengenakan gaun panjang – salah satu daftar ekspresi beragama yang terlarang bagi orang Uyghur.

“Mereka menanggalkan semuanya dari wanita tua itu, meninggalkannya hanya dengan celana dalamnya. Dia sangat malu sehingga dia mencoba menutupi dirinya dengan lengannya,” kata Ziawudun.

“Aku menangis melihat cara mereka memperlakukannya. Air matanya jatuh seperti hujan.”

Para wanita disuruh menyerahkan sepatu dan pakaian-pakaian mereka yang elastis atau berkancing, kemudian dibawa ke blok sel.

Tidak banyak yang terjadi selama satu atau dua bulan pertama. Mereka dipaksa untuk menonton program propaganda di sel mereka dan rambut mereka dipotong pendek secara paksa.

Kemudian polisi mulai menginterogasi Ziawudun tentang suaminya, menghempaskannya ke lantai ketika dia melawan, dan menendang perutnya.

“Sepatu bot polisi sangat keras dan berat, jadi awalnya saya pikir dia memukuli saya dengan sesuatu. Kemudian saya menyadari bahwa dia menginjak-injak perut saya. Saya hampir pingsan – saya merasakan area wajah saya memanas,” katanya.

Penyiksaan yang Menyayat Hati

Seorang dokter kamp memberitahu bahwa dia mungkin mengalami pembekuan darah. Ketika teman-teman satu selnya menunjukkan fakta bahwa dia mengalami pendarahan. Dengan enteng para penjaga menjawab; “normal bagi perempuan untuk mengalami pendarahan”.

Menurut Ziawudun, setiap sel adalah rumah bagi 14 wanita, dengan tempat tidur susun, jeruji di jendela, baskom, dan toilet berupa lubang di lantai.

Ketika dia pertama kali melihat wanita dikeluarkan dari sel pada malam hari, dia tidak mengerti mengapa, katanya. Dia pikir mereka dipindahkan ke tempat lain.

Lalu suatu saat di bulan Mei 2018 – “Saya tidak ingat tanggal pastinya, karena Anda tidak ingat tanggal” – Ziawudun dan teman satu selnya, seorang wanita berusia dua puluhan, dibawa keluar pada malam hari dan diantar kepada seorang pria China bermasker. Teman satu selnya dibawa ke ruang terpisah.

“Begitu dia masuk ke dalam, dia mulai berteriak,” kata Ziawudun. “Saya tidak tahu bagaimana menjelaskannya kepada Anda, saya pikir mereka menyiksanya. Saya tidak pernah berpikir tentang pemerkosaan mereka.”

Wanita yang membawa mereka dari sel memberi tahu para pria tentang pendarahan yang dialami Ziawudun.

“Setelah wanita itu berbicara tentang kondisiku, pria China itu mengumpat kepadanya. Pria bermasker itu berkata, ‘Bawa dia ke kamar gelap’.

“Wanita itu membawa saya ke kamar di sebelah tempat gadis lain itu dibawa. Mereka membawa tongkat listrik, saya tidak tahu apa itu. Lalu tongkat itu didorong ke dalam saluran kelamin saya, menyiksa saya dengan sengatan listrik.”

Penyiksaan terhadap Ziawudun pada malam pertama di kamar gelap akhirnya berakhir, ketika wanita yang membawanya turun tangan menyebutkan kondisi medisnya. Dia lantas dikembalikan ke sel.

Kira-kira satu jam kemudian, teman satu selnya dibawa kembali.

“Gadis itu menjadi sangat berbeda setelah itu, dia tidak berbicara dengan siapa pun. Dia duduk diam menatap kosong, seolah-olah sedang kesurupan,” kata Ziawudun. “Ada banyak orang di sel itu yang kehilangan akal sehatnya.”

Kesaksian Guru di Kamp Konsentrasi

Di samping sel, fitur utama lain dari kamp adalah ruang kelas. Para guru ditugaskan “mendidik kembali” para tawanan – sebuah proses untuk melucuti budaya, bahasa, dan agama minoritas Uyghur dan lainnya, serta mengindoktrinasi mereka ke dalam budaya arus utama China.

Qelbinur Sedik, seorang wanita Uzbek dari Xinjiang, termasuk di antara guru bahasa Mandarin yang dibawa ke kamp dan dipaksa memberikan pelajaran kepada para tawanan. Sedik telah meninggalkan China dan berbicara di depan umum tentang pengalamannya.

Kamp wanita “dikontrol dengan ketat”, kata Sedik kepada BBC. Akan tetapi, dia mendengar cerita tanda-tanda dan rumor pemerkosaan. Suatu hari, Sedik dengan hati-hati mendekati seorang polisi wanita kamp China yang dia kenal.

“Saya bertanya kepadanya, ‘Saya telah mendengar beberapa cerita mengerikan tentang pemerkosaan, apakah Anda tahu tentang itu?’ Dia berkata kita harus berbicara di halaman saat makan siang.

“Jadi saya pergi ke halaman, di mana tidak ada banyak kamera. Dia berkata, ‘Ya, pemerkosaan telah menjadi budaya. Ini adalah pemerkosaan berkelompok dan polisi China tidak hanya memperkosa, tetapi juga menyetrum mereka. Mereka menjadi sasaran penyiksaan yang mengerikan”.

Malam itu Sedik tidak bisa tidur sama sekali. “Saya memikirkan putri saya yang belajar di luar negeri dan saya menangis sepanjang malam.”

Dalam kesaksian terpisah untuk Uyghur Human Rights Project, Sedik mengatakan dia mendengar tentang tongkat listrik yang dimasukkan ke saluran kemaluan wanita untuk menyiksa mereka – sesuai pengalaman yang dijelaskan Ziawudun.

Ada “empat jenis sengatan listrik”, kata Sedik – “kursi, sarung tangan, helm, dan pemerkosaan dubur dengan tongkat”.

“Jeritan bergema di seluruh gedung,” katanya. “Aku bisa mendengarnya saat makan siang dan terkadang saat aku di kelas.”

Guru lain yang dipaksa bekerja di kamp, Sayragul Sauytbay, mengatakan kepada BBC bahwa pemerkosaan seolah menjadi hal biasa di kamp konsentrasi. Para penjaga memilih wanita muda yang mereka inginkan dan membawa mereka pergi.

Dia menggambarkan menyaksikan pemerkosaan beramai-ramai yang mengerikan terhadap seorang wanita berusia 20 atau 21 tahun, yang dibawa ke hadapan sekitar 100 tahanan lainnya untuk membuat pengakuan paksa.

“Setelah itu, di depan semua orang, polisi bergantian memperkosanya,” kata Sauytbay.

“Saat melakukan tindakan itu, mereka mengamati orang-orang dengan cermat dan memilih siapa saja yang melawan, mengepalkan tangan, menutup mata, atau membuang muka, lalu membawa mereka sebagai hukuman.”

Wanita muda itu berteriak minta tolong, kata Sauytbay.

“Itu benar-benar buruk dan mengerikan,” katanya. “Saya merasa saya telah mati. Saya sudah mati.”

Sterilisasi Paksa Secara Massal

Di kamp di Kunes, hari-hari Ziawudun berubah menjadi berminggu-minggu lalu berbulan-bulan.

Rambut para tawanan dipotong, mereka pergi ke kelas, mereka menjalani tes medis yang tidak dapat dijelaskan, minum pil, dan disuntik paksa setiap 15 hari dengan “vaksin” yang menyebabkan mual dan mati rasa.

Para perempuan dipasangi IUD secara paksa atau disterilkan, kata Ziawudun, termasuk seorang perempuan yang baru berusia sekitar 20 tahun.

Sterilisasi paksa terhadap orang Uyghur telah meluas di Xinjiang, menurut penyelidikan baru-baru ini oleh Associated Press.

Selain intervensi medis, para tawanan di kamp Ziawudun menghabiskan berjam-jam menyanyikan lagu-lagu komunis China dan menonton program TV tentang Presiden China Xi Jinping, katanya.

“Anda lupa memikirkan kehidupan di luar kamp. Saya tidak tahu apakah mereka mencuci otak kami, atau apakah itu efek samping dari suntikan dan pil. Akan tetapi, Anda tidak dapat memikirkan apa pun, selain berharap perut Anda kenyang. Kondisi kekurangan makanan sangat parah.”

Mantan Penjaga Akui Praktik Penyiksaan

Makanan tawanan bisa dirampas gara-gara “pelanggaran”; seperti gagal menghafal bagian-bagian dari buku-buku tentang Xi Jinping secara akurat.

Hal itu disampaikan seorang mantan penjaga kamp yang berbicara kepada BBC melalui tautan video dari sebuah negara di luar China.

“Suatu kali kami membawa orang-orang yang ditangkap ke kamp konsentrasi, dan saya melihat semua orang dipaksa untuk menghafal buku-buku itu. Mereka duduk berjam-jam mencoba menghafal teks, setiap orang memegang buku,” katanya.

Mereka yang gagal dalam “ujian” dipaksa memakai tiga warna pakaian berbeda berdasarkan apakah mereka gagal satu, dua, atau tiga kali. Juga dikenakan berbagai tingkat hukuman yang sesuai, termasuk perampasan makanan dan pemukulan.

“Saya memasuki kamp-kamp itu. Saya membawa para tawanan ke kamp-kamp itu,” katanya. “Saya melihat orang-orang yang sakit dan sengsara itu. Mereka pasti mengalami berbagai jenis penyiksaan. Saya yakin tentang itu.”

Tidak mungkin untuk memverifikasi kesaksian penjaga secara independen, tetapi dia memberikan dokumen yang tampaknya menguatkan masa kerja di kamp yang diketahui. Dia setuju untuk berbicara dengan syarat anonim.

Penjaga mengatakan dia tidak tahu apa-apa tentang pemerkosaan di area sel. Saat ditanya apakah penjaga kamp menggunakan sengatan listrik, dia berkata: “Ya. Mereka melakukannya. Mereka menggunakan instrumen listrik itu. Saya mengakuinya.” Setelah disiksa, para tawanan dipaksa untuk membuat pengakuan atas berbagai pelanggaran, menurut penjaga.

Bermuara kepada Xi Jinping

Xi Jinping mendominasi kamp. Gambar dan slogannya menghiasi dinding; dia adalah fokus dari program “re-edukasi”. Xi adalah arsitek keseluruhan dari kebijakan terhadap Uyghur, kata Charles Parton, mantan diplomat Inggris di China dan sekarang bergerak di Royal United Services Institute.

“Ini sangat terpusat dan menuju ke puncak,” kata Parton. “Sama sekali tidak ada keraguan bahwa ini adalah kebijakan Xi Jinping.”

Tidak mungkin Xi atau pejabat tinggi partai lainnya akan mengarahkan atau mengizinkan pemerkosaan atau penyiksaan, kata Parton, tetapi mereka “pasti menyadarinya”.

“Saya pikir mereka lebih suka di atas hanya untuk menutup mata. Garis komando telah keluar untuk menerapkan kebijakan ini dengan sangat jelas dan tegas, dan itulah yang terjadi. Tidak ada kendala yang nyata”, katanya. “Saya tidak melihat apa yang bisa menghalangi tindakan brutal para pelaku”.

Menurut kesaksian Ziawudun, pelaku tidak menahan diri.

“Mereka tidak hanya memperkosa, tetapi juga menggigit seluruh tubuh Anda, Anda tidak tahu apakah mereka manusia atau hewan,” katanya sambil menempelkan tisu ke matanya untuk menghentikan air matanya dan berhenti lama untuk menenangkan diri.

“Mereka tidak memilah-milah bagian tubuh, mereka menggigit di mana-mana, meninggalkan bekas yang mengerikan. Menjijikkan untuk dilihat”.

“Aku sudah mengalaminya tiga kali. Dan bukan hanya satu orang yang menyiksamu, bukan hanya satu predator. Setiap kali menyiksa, mereka terdiri dari dua atau tiga orang.”

Seorang wanita yang tidur di dekat Ziawudun di dalam sel, yang mengatakan dia ditahan karena melahirkan terlalu banyak anak, menghilang selama tiga hari. Ketika dia kembali tubuhnya dipenuhi dengan tanda yang sama, kata Ziawudun.

“Dia tidak bisa mengatakannya. Dia memelukku dan menangis terus menerus, tetapi dia tidak mengatakan apa-apa.”

Genosida Demografis

Ziawudun dibebaskan pada Desember 2018; bersama dengan orang lain yang memiliki pasangan atau kerabat di Kazakhstan – perubahan kebijakan yang tampaknya dia masih belum sepenuhnya mengerti.

Rezim komunis mengembalikan paspornya dan dia melarikan diri ke Kazakhstan. Kemudian, dengan dukungan dari Uyghur Human Rights Project, dia pergi ke AS.

Dia melamar untuk tinggal. Dia tinggal di pinggiran kota yang tenang tidak jauh dari Washington DC dengan seorang induk semang dari komunitas Uyghur setempat. Kedua wanita itu memasak bersama dan berjalan-jalan di sekitar rumah.

Ziawudun menjaga agar lampu tetap redup ketika dia berada di dalam rumah. Karena memori lampu-lampu yang bersinar terang dan terus-menerus di dalam kamp, masih membayanginya.

Seminggu setelah dia tiba di AS, dia menjalani operasi untuk mengangkat rahimnya – akibat diinjak.

“Saya telah kehilangan kesempatan untuk menjadi seorang ibu,” katanya. Dia ingin suaminya bergabung dengannya di AS. Untuk saat ini, dia berada di Kazakhstan.

Beberapa saat setelah dibebaskan, sebelum dia bisa melarikan diri, Ziawudun menunggu di Xinjiang. Dia melihat orang lain yang telah dihempaskan melalui sistem penyiksaan, kemudian dibebaskan.

Dia melihat pengaruh kebijakan zhalim itu terhadap rakyat Xinjiang. Tingkat kelahiran di Xinjiang telah anjlok dalam beberapa tahun terakhir, menurut penelitian independen – efek yang oleh para analis digambarkan sebagai “genosida demografis”.

Banyak korban telah mencari pelarian ke alkohol, kata Ziawudun. Beberapa kali, dia melihat mantan teman satu selnya pingsan di jalan – wanita muda yang dikeluarkan dari sel bersamanya pada malam pertama, yang dia dengar berteriak di kamar sebelah.

Wanita itu kecanduan, kata Ziawudun. “Dia seperti seseorang yang hanya ada, jika tidak dikatakan mati. Hidupnya benar-benar berakhir akibat pemerkosaan”.

“Mereka bilang orang-orang dibebaskan, tetapi menurut saya semua orang yang meninggalkan kamp sudah selesai.”

Dan itu memang rencananya. Pengawasan, penahanan, indoktrinasi, dehumanisasi, sterilisasi, penyiksaan, pemerkosaan.

“Tujuan mereka adalah menghancurkan semua orang. Dan semua orang tahu itu,” katanya. (BBC)


Ziawudun mengidentifikasi tempat ini – terdaftar sebagai sekolah – sebagai lokasi dia ditawan. Gambar satelit dari tahun 2017 (kiri) dan tahun 2019 (kanan) menunjukkan perkembangan signifikan khas kamp, dengan apa yang tampak seperti asrama dan bangunan pabrik.


Rekaman rahasia yang diperoleh kelompok aktivis Bitter Winter menunjukkan sel-sel dengan jeruji besi dan kamera.

 

Sumber:  Sahabat Al-Aqsha.