10Berita - Merdeka itu ada dua, setidaknya menurut saya. Boleh setuju boleh tidak. Namanya juga opini. Yaitu merdeka hakiki dan merdeka nisbi.
Indonesia, sebagai contoh kasus, menurut saya baru merdeka secara nisbi. Sebab Indonesia dalam memperoleh kemerdekaan tidak sepenuhnya karena kemampuannya mengusir penjajah. Tapi lebih sebagai kombinasi tiga faktor:
1. Berkah momentum geopolitik
2. “Hadiah” pihak lain.
3. Bentuk negara “mengikuti” keinginan penjajah baru sebagai harga.
Setelah Indonesia ratusan tahun dijajah Belanda, akhirnya Belanda pergi. Namun kepergiannya bukan karena kalah perang melawan pejuang pribumi, tapi karena kalah disingkirkan penjajah baru – Jepang. Sejak itu bumi Indonesia menjadi jajahan Jepang.
Sama halnya dengan Belanda, Jepang akhirnya angkat kaki dari bumi pertiwi. Namun lagi-lagi bukan karena kalah perang melawan pejuang pribumi, tapi karena Jepang dikalahkan Amerika dalam perang dunia kedua. Jepang luluh lantak oleh bom atom yang dijatuhkan Amerika di kota Hiroshima dan Nagasaki. Jepang mengibarkan bendera putih, menyerah kepada Amerika. Akibatnya, mau gak mau Jepang pulang kampung dari tanah jajahannya, salah satunya Indonesia – atas jasa Amerika. Dan pewaris berikutnya tentu Amerika.
Dinamika geopolitik ini melahirkan berkah. Momentum tersebut dimanfaatkan Sukarno dan kawan-kawan untuk memproklamasikan kemerdekaan. Pada 17 Agustus 1945. Indonesia kemudian diakui sebagai negara merdeka.
Tapi ada mata rantai yang kita lupakan. Coba ingat kembali bagaimana Belanda digantikan posisinya sebagai penjajah oleh Jepang. Belanda diusir oleh Jepang di wilayah nusantara. Belanda dikalahkan Jepang. Maka penjajahnya ganti, dari Belanda menjadi Jepang.
Lalu bagaimana cara Jepang pergi? Jawabannya, ditaklukkan Amerika. Bukan karena dikalahkan oleh pejuang pribumi. Maka semestinya tanah jajahan yang ditinggalkan Jepang menjadi hak Amerika.
Tapi Amerika tidak tertarik untuk menempatkan tentaranya di Indonesia sebagaimana Belanda dan Jepang, meski bisa melakukannya dan menjadi haknya. Amerika tidak mau penjajahan langsung. Sebab jika itu dilakukan Amerika, justru naif dan bodoh. Membuang kesempatan yang lebih besar.
Amerika lebih memilih fokus memimpin (baca: menjajah) dunia – bukan hanya Indonesia – melalui PBB. Karenanya tak ada urgensi menempatkan tentara di tanah jajahan. Jika itu dilakukan, terlalu banyak negara yang harus dikirimi tentara. Merepotkan. Lebih enak duduk manis di belakang PBB, untuk menjajah secara sistemik-politik bukan menjajah secara fisik. Hak veto merupakan bukti penjajahan itu.
Sebagai ganti penjajahan langsung, Amerika cukup membuat pangkalan militer di titik-titik strategis bumi. Satu pangkalan bisa mengawasi satu kawasan yang meliputi lebih dari satu negara. Cara ini lebih efektif dibanding menempatkan tentara per negara. Maka untuk memastikan Asia Tenggara terjajah, cukup menempatkan pangkalan militer di Filipina.
Dengan demikian, pada hakekatnya kehadiran pangkalan militer Amerika meski bukan di tanah Indonesia, bisa dimaknai penjajahan tidak langsung kepada Indonesia. Dan pangkalan militer itu masih ada sampai sekarang. Maknanya penjajahan itu masih berlangsung hingga kini. Sudah 70 tahun lebih. Dan untuk makin menguatkan kontrol terhadap Asia Tenggara, Amerika juga menempatkan pangkalan militer di Australia.
Cara penjajahan yang berbeda ini menjadi alasan mengapa Amerika membiarkan Indonesia melakukan proklamasi kemerdekaan pada 1945. Padahal kalau mau mencegah, bisa. Bagi Amerika, Indonesia boleh merdeka secara politik, yang penting secara substansi-sistemik masih terjajah. Berarti kemerdekaan Indonesia bisa dianggap sebagai hadiah Amerika. Atau hadiah sekutu pemenang dunia kedua.
Sebetulnya tidak akurat juga untuk disebut hadiah. Sebab pepatah bilang, tidak ada makan siang gratis. Amerika sudah banyak berkorban untuk mengalahkan Jepang. Dengan itu ia berhak mendapat warisan tanah jajahan bernama Indonesia. Terlalu naif jika Amerika menghadiahkan tanah warisan yang diperoleh dengan susah payah, dan tanahnya demikian kaya raya, kepada penduduknya begitu saja tanpa imbalan apa-apa. Pasti Amerika sudah membuat kalkulasi yang menguntungkan dirinya.
Agaknya Amerika tidak mau melanjutkan penjajahan konvensional. Ia mau penjajahan yang lebih maju, efektif dan efisien. Yaitu kombinasi penjajahan melalui PBB dan penempatan pangkalan militer. PBB sebagai instrumen penjajahan politik. Pangkalan militer sebagai instrumen penjajahan militer. Dua pilar yang menjadi sunnatullah kemenangan dan kekuasaan sepanjang sejarah manusia. Dengan dua alat ini, seluruh negara di dunia digenggamnya. Cerdas.
Dengan cara seperti ini, Amerika bisa menjadi penjajah secara sistemik. Bukan hanya terhadap satu negara, tapi hampir seluruh negara di dunia. Maka proklamasi kemerdekaan tidak akan membahayakan singgasana kekuasaan Amerika di tingkat global. Karenanya Amerika dengan santai membiarkan Indonseia merdeka. Juga negara-negara mayoritas muslim lain.
Dan kita rabun untuk memahami ini semua. Karena terlalu berbunga mendapatkan kata sakral – merdeka. Lantaran kita terkecoh, hanya lihat kulit, lupa substansi.
Dengan demikian, kemerdekaan Indonesia disebut hadiah tidak tepat. Hasil perjuangan juga bukan. Tapi yang mendekati, merdeka nisbi – sudah merdeka secara diplomatik, tapi terjajah secara sistemik.
Namun apapun itu, kita patut mensyukurinya. Kemerdekaan nisbi yang “diberikan” Amerika pada tahun 1945 tetap lebih baik dibanding penjajahan langsung yang dilakukan Belanda dan Jepang. Sejarah penderitaan mengerikan masih hangat dalam ingatan masyarakat akibat penjajahan mereka. Kini setelah merdeka, kita bisa merasakan hidup damai, tidak lagi merasakan horor penjajahan.
Dengan metode penjajahan baru ini Amerika senang, karena lebih simpel dan hasilnya maksimal. Sementara Indonesia juga senang, karena penderitaan akibat penjajahan langsung bisa dihapus. Alhamdulillah.
Sisi Kemerdekaan, Sisi Keterjajahan
Kemerdekaan nisbi itu artinya sebagian merdeka sebagian terjajah. Atau setengah merdeka, setengah terjajah. Hanya saja kita akan berbeda pendapat tentang mana sisi kemerdekaan, dan mana sisi keterjajahan. Setiap orang punya sudut pandang.
Sisi kemerdekaan itu misalnya pengelolaan teritorial secara mandiri. Ada tapal batas wilayah Indonesia yang diakui dunia. Indonesia diakui sebagai negara berdaulat, bisa mengeluarkan pasport yang berlaku di negara lain. Kita juga bisa mengenakan bea cukai untuk komoditas yang masuk dari luar. Bisa melakukan eksport import. Bisa menyusun konstitusi sendiri. Bisa mengadakan angkatan perang sendiri. Dan seterusnya.
Sementara sisi keterjajahan, misalnya ideologi politik harus Liberal-Demokrasi, bingkai pemersatunya Nasionalisme, persaudaraan globalnya di bawah payung PBB, ekonominya Kapitalisme, dan militernya harus ikut kebijakan PBB dan seterusnya. Indonesia juga harus menerima Dolar sebagai mata uang acuan dalam transaksi global, sebagaimana negara lain.
Indonesia tak akan dibiarkan menjadi komunis, sebab ia rival Amerika. Atau menjadi Islam yang murni dengan menanggalkan Nasionalisme dan Liberal, lalu persahabatan globalnya berdasarkan panji Islam, sebab akan mengancam payung pemersatu bernama PBB. Amerika juga tak akan membiarkan jihad berkembang, sebab akan membahayakan kekuatan militer Amerika.
Keterjajahan semacam ini dikenal dengan istilah hegemoni. Penjajahan halus dan tidak langsung. Semua orang mengerti bahwa hegemoni Amerika itu nyata, bukan isapan jempol. Mustahil bagi Indonesia untuk benar-benar merdeka melakukan apapun yang ia suka. Pasti tetap harus mempertimbangkan restu Amerika.
Allah Maha Adil. Ketika kemerdekaan Indonesia bukan hasil keringat langsung mujahidin Indonesia, maka bentuk negara juga bukan syariat. Sebab kemerdekaannya lebih sebagai berkah atas konstelasi politik global, kekalahan penjajah – Jepang – dari Amerika. Bahkan, Piagam Jakarta yang hanya mewajibkan pelaksanaan syariat Islam khusus bagi pemeluknya, juga harus tercoret. Pada akhirnya, Indonesia menjadi negara yang bentuknya benar-benar diinginkan Amerika – Liberal, Demokrasi, Nasionalisme, menjunjung HAM, dan ekonominya Kapitalisme, persis seperti bentuk negara induknya, Amerika.
Maka jika Anda pro syariat, jangan menghujat para pendahulu (ulama dan kyai) yang gagal membentuk negeri ini menjadi syariat. Sebab mereka tak bisa lepas dari hegemoni Amerika. Sebagai penjajah, tak mungkin Amerika membiarkan Indonesia menjadi negara syariat. Selain karena teori – ada usaha ada hasil. Kemerdekaan Indonesia tidak sepenuhnya hasil usaha mujahidin, maka wajar jika bentuk negara tidak seperti yang diinginkan mujahidin. Sebuah sunnatullah kehidupan.
Jika Anda merestui bentuk yang ada, jangan mengkultuskan para pendahulu (ulama dan kyai) yang menurut Anda telah berhasil menyusun bentuk negara yang paling ideal buat umat Islam. Ketahuilah, mereka mati-matian ingin mempertahankan Piagam Jakarta, berarti mereka sejatinya ingin syariat tegak untuk para pemeluknya. Mereka terpaksa menerima bentuk yang ada, setelah usaha menggolkan syariat gagal. Jadi bentuk yang ada bukan bentuk ideal yang mereka inginkan, sehingga dijadikan argumen untuk memukul generasi masa kini yang mencoba mengkritisi bentuk yang ada.
Momentum 70 Tahun Amerika Berkuasa
Sudah 70 tahun lebih Amerika berkuasa. Menjajah dunia secara sistemik, tidak langsung. Untuk sebuah imperium, 70 tahun masih terbilang muda. Tapi untuk usia manusia, sudah mulai renta. Agaknya Amerika hari ini lebih sebagai manusia, sudah mulai renta. Semakin banyak kezaliman, semakin pendek umur sebuah imperium.
Jika menilik mata rantai pewarisan jajahan, siapapun yang berhasil mengalahkan Amerika akan mewarisi jajahannya. Sebagaimana Jepang mengalahkan Belanda, maka mewarisi jajahannya. Dan Amerika melumat Jepang, maka ia mewarisi jajahan Jepang. Siapakah yang kini paling potensial mengalahkan Amerika untuk kemudian mewarisi tanah jajahannya?
Setelah 70 tahun dunia dipimpin Amerika, kini keseimbangan global mulai goyah. Tadinya semuanya di bawah kendali Amerika, kini mulai longgar. China yang dulu miskin dan lemah, kini tampil sebagai penantang Amerika paling potensial. Terutama dalam bidang ekonomi dan teknologi. Meski tidak terjadi perang fisik antara keduanya. Atau setidaknya, belum.
Pada sisi lain, ada mujahidin global, dalam hal ini diwakili Al-Qaeda dan Taliban, yang terlibat perang sengit puluhan tahun dengan Amerika. Peperangan ini diberi tajuk perang melawan teror. Energi dan ekonomi Amerika terkuras untuk misi ini. Para pengamat mengakui, melemahnya Amerika adalah akibat terkuras energinya dalam perang melawan teror yang panjang, mahal dan melelahkan.
Sejak tahun 2001, Amerika menjajah Afghanistan. Kini tahun 2019 Amerika mulai mencari cara untuk pulang. Tapi ini tak bisa dimaknai sebagai kekalahan Amerika secara mutlak. Amerika memang kalah di tanah Afghan, tapi tidak secara global. Ia masih mengendalikan dunia dengan pangkalan militer di berbagai lokasi, dan memegang kendali atas PBB. Ia masih menyimpan banyak senjata canggih. Kekuatan udaranya juga masih paling hebat.
Taliban sebagai lawan Amerika di tanah Afghan, punya peluang besar untuk merdeka dari penjajah – insyaallah. Dan merdekanya hakiki bukan nisbi. Sekaligus murni Islam bukan nasionalisme Liberal. Karenanya kemerdekaan ini berbeda dengan kemerdekaan yang didapat Indonesia tahun 1945. Perbedaannya sebagai berikut:
1. Taliban mengusir penjajah secara langsung, melalui para mujahidin pribumi. Amerika mau pergi dari Afghan karena kalah, bukan dikalahkan pihak lain. Maknanya, jika kelak merdeka, tak ada intervensi dari pihak lain yang mengalahkan Amerika. Beda dengan Indonesia, perginya penjajah bukan hasil perjuangan pribumi, tapi dikalahkan pihak lain – Amerika. Maka penjajahnya berganti menjadi Amerika.
2. Politik global yang makin berimbang, dengan munculnya kekuatan China, Eropa dan Rusia. Perginya Amerika dari Afghan tidak ada penggantinya. Sebab kekuatan baru – China, Rusia dan Eropa – masih fokus menguatkan diri untuk menyaingi Amerika, belum tertarik untuk melanjutkan penjajahan kepada Afghan. Sebab kalau itu dilakukan, peluang menyaingi Amerika akan kandas karena energi terkuras di Afghan yang dikenal sebagai kuburan imperium. Sementara Indonesia pada 1945, perginya Jepang diganti dengan kehadiran Amerika, meski tidak langsung. Ada hegemoni tunggal yang tercipta. Penjajah baru lebih kuat dari penjajah lama.
3. Taliban sejak awal mengusung Islam murni. Jihad merupakan ruh perlawanan terhadap Amerika. Mereka bukan nasionalis. Sebab ideologi nasionalisme dianut rivalnya – pemerintah boneka Afghan. Maka jika menang, tak akan berubah menjadi nasionalisme-liberalisme – insyaallah. Berbeda dengan para pejuang Indonesia pra kemerdekaan, Islam bukan warna tunggal sebagai ruh perjuangan. Lebih bersifat nasionalisme.
Pada momentum seperti ini, harapan kemerdekaan Afghanistan yang dipimpin Taliban insyaallah realistis. Bukan isapan jempol. Dan harapan bahwa bentuk negara bisa murni Islam juga bukan khayalan, sebab kekuatan terbesar di muka bumi sudah berhasil dipukul mundur. Tak ada lagi hegemoni dari luar yang mengintervensi Afghanistan.
Kini terpulang kepada Taliban. Apakah ia mampu sabar menunggu Amerika pulang tanpa menjual prinsip apapun sebagai harga. Nampaknya Taliban hingga kini konsisten dengan agendanya sendiri – Islam murni. Ia ikuti berbagai pembicaraan basa basi, menunggu Amerika kelelahan dan pulang tanpa ada deal apapun yang merugikan Islam dan umat Islam.
Jalur yang ditempuh Taliban merupakan jalur menuju kemerdekaan hakiki. Merdeka dari penjajah, dan tidak diganti dengan penjajah baru sebagai pewarisnya. Semoga Taliban sukses menjadi pembuka jalan menuju kemerdekaan hakiki, lalu kelak bisa diikuti negeri-negeri mayoritas muslim yang lain – termasuk Indonesia. Merdeka !
والله أعلم بالصواب
[ghoziyan.com]