Saya baca di "Pikiran Rakyat", Jokowi minta Menhub rumuskan ulang kenaikan tarif ojek online agar tidak ada pihak yang dirugikan.
Permasalahannya di kata "agar" karena sesungguhnya kerugian sudah terjadi. Ojol-ojol itu korban skema bisnis start-up berbasis ventura-kapitalis.
Masalahnya sistemik, tak sekadar besaran kenaikan tarif. Kita ribut kenaikan tarif karena pilihan kebijakan pemerintahlah yang memfavoritkan GOTO dkk.
Di China, perusahaan serupa GOTO, Didi Chuxing, baru saja menyatakan bangkrut---lini kendaraan listriknya. Pemerintah China mempertanyakan secara serius mengenai perlindungan data pribadi, keamanan data (sampai dimintakan real-time trip data), ditekan untuk keluar dari bursa New York, dikejar pajaknya, diburu masalah perlindungan keamanan penumpang, dicacah-cacah sumber-sumber kekayaan pemegang sahamnya.
Di sini masih aman. Karena mantra unicorn dari presidennya. Menterinya pun jadi bagian dari rencana perusahaan: Menteri BUMN Erick Thohir mengajak 30 ribu UMKM gabung di ekosistem GOTO---perusahaan yang kakaknya adalah Komisaris Utama sekaligus pemegang sahamnya.
Tapi okelah, kita bahas soal kenaikan tarif ojol sebagaimana diatur dalam Kepmenhub 564/2022.
1. Kenaikan tarif jelas sekali keinginan perusahaan aplikasi. Itu adalah rencana manajemen mereka untuk monetisasi.
Contoh GOTO, yang per 31 Maret 2022, akumulasi ruginya Rp85,5 triliun. Mereka mesti lakukan dua hal: monetisasi dan penurunan biaya pendapatan (salah satunya efisiensi pemasaran dan promosi). Monetisasi itu diterjemahkan sebagai: "... tarif imbalan yang lebih tinggi di masa mendatang." (LK GOTO Q1 2022).
Itu jelas tercermin baik di dalam Kepmenhub 564/2022 (terbaru) maupun Kepmenhub 348/2019 jo. Kepmenhub 348/2022. Semuanya mempertahankan besaran biaya sewa penggunaan aplikasi/potongan aplikasi maksimal 20% (tentu saja akan diambil patokan maksimal, mana ada orang bisnis mau rugi terapkan di bawah itu).
Bedanya, di aturan lama besaran potongan aplikasi itu dievaluasi paling lama tiap tiga bulan sementara di aturan baru paling lama tiap satu tahun. Tapi, di aturan baru, ada kalimat bersayap: "... atau jika terjadi perubahan yang sangat berpengaruh terhadap kelangsungan usaha yang mengakibatkan perubahan biaya pokok lebih dari 20%." Maka jangan heran kalau nanti sebelum satu tahun pun potongan aplikasi bisa dibuat 30% atau lebih, sepanjang ada perubahan yang sangat berpengaruh, yang mana pejabat dan perusahaan aplikasi itu sendiri yang akan menilai!
Berapapun tarifnya, 20% pasti masuk ke perusahaan aplikasi.
2. Imbalan jasa/biaya aplikasi adalah jantung perusahaan/pendapatan terbesar.
GOTO, misalnya, dapat Rp3,9 triliun dari situ (per 31 Maret 2022). Tapi mereka keteteran di biaya promosi pelanggan yakni Rp3,74 triliun. Belum lagi beban gaji dan imbalan karyawan yang gila-gilaan: Rp3,59 triliun/tahun.
Tapi, ingat, duit triliunan di atas adalah urusan kantong perusahaan aplikasi, tidak ada hubungan dengan kesejahteraan ojol. Ojol adalah mitra (bersama pedagang, pengguna, dan penyedia jasa logistik disebut PELANGGAN), GOTO adalah agen---begitu konsepnya.
Yang perlu dilihat itu adalah lampiran Kepmenhub 564/2022 tentang Komponen Biaya (terlampir).
Ada dua jenis: 1) Biaya Tidak Langsung yaitu biaya sewa penggunaan aplikasi; 2) Biaya Langsung, seperti penyusutan kendaraan, bunga modal kendaraan, biaya pengemudi, asuransi, pajak kendaraan, BBM, ban, pemeliharaan dan perbaikan kendaraan, biaya penyusutan handphone, dan biaya pulsa/kuota internet.
Makanya jangan enteng bilang jadi ojol cuma modal bisa naik motor. Semua biaya itu ditanggung mitra! Tak ada yang ditanggung perusahaan aplikasi. Parkir di kantor aplikasi saja mungkin ojol-ojol itu masih bayar. BPJS juga dibayar pribadi masing-masing.
Jadi ojol itu beli kendaraan di dealer (yang mana jadi pemegang saham perusahaan aplikasi juga), pakai leasing (pemegang saham juga), pakai asuransi (pemegang saham juga), beli suku cadang (pemegang saham juga). Ditambah keringat di jalanan dan risiko yang harus dihadapi. Ketika dapat uang, seketika dipotong 20% buat aplikasi---mekanisme ini mau tidak mau harus diikuti meskipun dalam konsep bisnis on-demand services mereka ada 'tricky' juga dengan menyebutkan pengemudi memiliki diskresi untuk menerima atau tidak menerima harga yang telah diatur oleh aplikasi.
3. Perusahaan aplikasi bukan perusahaan angkutan/transportasi.
Mereka tidak akan peduli dengan bagaimana sistem transportasi nasional dikembangkan. Mereka hanya butuh mitra untuk menggerakkan operasional lini bisnis mereka (on-demand, jasa kurir dst) dan biaya yang semakin kecil untuk mengakuisisi pelanggan.
Selama pemerintah mengikuti bak kerbau dicucuk hidungnya, tak akan ada perbaikan dari sistem transportasi nasional. Mestinya pemerintah membangun transportasi massal yang mudah, murah, dan aman; membuka lapangan kerja yang nyata sesuai aturan (ojol bukan karyawan); meningkatkan SDM melalui pemagangan, pelatihan, beasiswa pendidikan supaya terbuka masa depan yang lebih baik.
Tujuan perusahaan start-up/aplikasi ojol itu adalah keuntungan dari kenaikan harga saham (capital gain). Itulah saat di mana ketika pemilik saham lama ambil untung, entah melalui IPO atau ada investor baru yang masuk. Di sinilah saya protes ketika Telkomsel menyuntik Rp6,4 triliun untuk GOTO, di mana ada potensi konflik kepentingan antara Menteri BUMN dan kakaknya.
4. Kita mau dikecohkan dengan jargon membangun ekosistem digital.
Ekosistem maksudnya adalah dari hulu ke hilir, cuan dikuasai satu aliran. Di atas sudah saya kasih contoh bagaimana produsen kendaraan, perusahaan leasing, perusahaan suku cadang, perusahaan asuransi adalah pemegang saham perusahaan aplikasi juga.
Contoh lain adalah Boy Thohir, yang seperti ditulis Bisnis Indonesia beberapa hari lalu, disebut kuasai hulu-hilir e-commerce via GOTO dkk.
GOTO dia yang punya. GoPayLater Cicil bersama Bank Jago (ARTO) dia juga yang punya. Anteraja via PT Adi Sarana Armada Tbk (ASSA) dia punya. Bisnis pergudangannya juga diincar dia yang punya---PT Mega Manunggal Property Tbk (MMLP) diberitakan akan masuk GOTO.
Jika sudah demikian dominannya dalam bisnis, selalu masuk daftar orang terkaya, tak salah juga kalau beberapa politisi yang saya dengar kasak-kusuk untuk mengail dana politik buat pemilu dari kakak Menteri BUMN itu. (Ini tepat, memang banyak duitnya, kok).
5. Kebijakan pemerintah acapkali mengganggu orang-orang kecil saja. Konkret, sekali-kali, bikin para taipan terganggu juga.
Batasi potongan aplikasi maksimal 3-4% saja, perintahkan aplikasi mengubah akta menjadi perusahaan transportasi/angkutan sesuai per lini bisnis operasinya, paksakan mekanisme UU Ketenagakerjaan untuk para ojol, minta mereka berinvestasi juga dengan penyediaan alat dan kendaraan kerja, batasi kepemilikan saham asingnya, wajibkan pembentukan serikat pekerja dan koperasi yang memiliki porsi kepemilikan saham dan jabatan di pengurus perseroan, jadikan objek audit BPK sepanjang ada keuangan negara yang masuk seperti suntikan duit Telkomsel Rp6,4 triliun, bebankan pajak-pajak yang sesuai dengan aturan yang sebenarnya, audit kepemilikan dan pengelolaan data pribadi di setiap perusahaan aplikasi dst.
Salam.
(Agustinus Edy Kristianto)