OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.
Tampilkan postingan dengan label artikel. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label artikel. Tampilkan semua postingan

Minggu, 22 April 2018

20 Tahun PK/PKS: Mendaki Jalan Terjal

20 Tahun PK/PKS: Mendaki Jalan Terjal

 

Oleh: Sapto Waluyo
Direktur Center for Indonesian Reform

10Berita, BAGAIMANA partai politik merayakan hari kelahirannya? Biasanya, partai melakukan apel akbar yang diisi parade orasi atau pagelaran budaya, diselingi bakti sosial dan donor darah. Itu seremoni lazim, tapi tidak cukup bagi Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

Dalam rangka memperingati mIlad ke-20, kader PKS melakukan konvoi sepeda balap (road bike) dari Semarang ke Jakarta menempuh jarak 508 kilometer. Tak tanggung-tanggung, Ketua Komisi I DPR RI, Abdul Kharis Almasyhari memimpin rombongan Tour de Jakarta itu. Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid dan Calon Gubernur Provinsi Jawa Tengah Sudirman Said melepas 45 penggowes sepeda beragam usia. Sebelumnya, kader PKS di wilayah Sumatera telah menaklukkan 8 gunung tertinggi di beberapa provinsi.

PKS ingin mendidik kader dan simpatisannya, bahwa perjuangan politik adalah perjalanan panjang yang membutuhkan stamina dan kerjasama tim untuk menyusurinya sampai ke tujuan. Politik bukan jalan pintas untuk meraih popularitas atau kursi kuasa, lalu mengakumulasi kekayaan dengan jalan haram. Seperti para pendaki gunung, kaum politisi sejati terlatih melewati jalan terjal penuh onak dan duri, demi mencapai puncak.

Puncak perjuangan bagi seorang politisi adalah ketika telah mampu menaklukkan egonya, lalu menyadari betapa kecil dirinya di batas cakrawala. Seluruh otoritas dan fasilitas yang dinikmatinya suatu hari akan fana, karena kekuasaan memang dipergilirkan menurut konstitusi manusia dan sunnah Tuhan.

PKS telah berkiprah selama dua dasawarsa, jika dihitung dari tanggal berdiri Partai Keadilan (PK) pada 20 Juli 1998. Karena PKS adalah kelanjutan dari PK yang tidak lolos electoral threshold pada pemilu tahun 1999. Sebenarnya tanggal berdiri PKS tercatat 20 April 2002. Dua entitas itu memberi warna unik dalam jagad politik Indonesia.

Terlalu mewah untuk menyebut kontribusi PKS dalam pembangunan bangsa (nation building), karena usia PKS masih tergolong muda dan belum tampil sebagai partai berkuasa seperti PDI Perjuangan, Golongan Karya atau Partai Demokrat. PKS juga tak memiliki tokoh flamboyan yang berpeluang besar untuk menjadi Presiden RI semisal Prabowo Subianto dari Gerindra. Tetapi, sangat tak adil untuk mengabaikan sumbangsih PKS dalam pembentukan karakter politik Indonesia kontemporer. Dirk Tomsa (2011) menyatakan proses demokrasi telah membuat kekuatan radikal Islam menjadi lebih moderat dan itu membentuk kualitas demokrasi Indonesia lebih matang.

Pandangan itu terkesan mencurigai kekuatan politik Islam adalah ancaman bagi eksistensi Indonesia sebagai bangsa multietnik. Padahal, kenyataannya sejak masa kemerdekaan Indonesia, tokoh Islam melalui organisasi massa dan partai politik Islam menjadi aktor terdepan dalam mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). PKS selalu menisbatkan diri sebagai penyambung rantai sejarah nasional sebagaimana diungkapkan Ketua Majelis Syura PKS, Salim Segaf al-Jufri.

Pada tahun 2009, mantan PM Singapura Lee Kuan Yew berkunjung ke Indonesia dan berdialog dengan Hidayat Nur Wahid yang saat itu menjabat Ketua MPR RI. Lee bertanya tentang perkara tak terduga, “Bagaimana masa depan Indonesia dan Asia Tenggara jika PKS kelak memenangi pemilu di Indonesia?”. Hidayat tak langsung menjawab karena mafhum arah pertanyaan tokoh senior seangkatan dengan mantan Presiden Soeharto.

Hidayat memberikan contoh kongkrit kemenangan PKS di Provinsi DKI Jakarta pada pemilu tahun 2004 ternyata tidak melahirkan gerakan talibanisme seperti dipropagandakan sebagian orang. Contoh lain di wilayah timur Indonesia, kader PKS yang menjadi Bupati Halmahera Selatan (Muhammad Kasuba) tak mengubah kabupaten di Provinsi Maluku Utara itu menjadi zona intoleran dan penuh kebijakan diskriminasi. Semua wilayah yang dipimpin kader PKS relatif stabil dan lebih maju, seperti Provinsi Jawa Barat (Gubernur Ahmad Heryawan) dan Sumatera Barat (Gubernur Irwan Prayitno).

Setahun sebelumnya Hidayat diundang ke Singapura untuk berdiskusi bersama akademisi dan mahasiswa berbagai bangsa di kampusNational University of Singapore (NUS). Hidayat berbicara tentang masa depan politik Islam di Indonesia dan kontribusinya bagi stabilitas kawasan Asia Tenggara. Sebagai pengantar tampil tokoh pemikir Kishore Mahbubani yang memuji perkembangan demokrasi di Indonesia, bahkan dinilainya lebih maju dari Amerika Serikat.

Perbincangan intelektual semoga menepis segala kecurigaan tidak hanya terhadap PKS, melainkan juga kepada semua kekuatan politik Islam. Hidayat juga pernah menjadi pembicara dalam konperensi di Madrid, Spanyol (2008) tentang dialog antaragama dan menjadi penasehat untuk King Abdullah bin Abdulaziz International Centre for Interreligious and Intercultural Dialogue (KAICIID) yang berkantor di Wina, Austria.

Tokoh lain seperti KH Hasyim Muzadi dan Prof. Din Syamsuddin menduduki pimpinan International Conference of Islamic Sholars (ICIS) dan Centre for Dialogue and Cooperation among Civilisations(CDCC). Kebetulan Kiai Hasyim, Profesor Din dan Doktor Hidayat adalah alumni Pondok Pesantren Darussalam Gontor. Fakta itu semestinya menempatkan PKS dalam satu barisan dengan gerakan Islam arus utama di Indonesia, sebagaimana Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah dan ormas atau parpol berbasis Islam lainnya.

Namun, persepsi publik bisa jungkir-balik, apalagi di zaman informasi internet; tatkala fakta, opini atau provokasi bercampur-baur. Masih ada segelintir orang yang berinsinuasi bahwa PKS adalah agen asing membawa ideologi Wahabisme. Pekan lalu (14/4) Hidayat berbicara di depan forum internasional di Istanbul, Turki tentang pengalaman Indonesia mengelola masa transisi demokrasi. Di antara tokoh yang hadir: Rashid Gannouchi (Tunisia), Tawakkul Kharman (penerima hadiah Nobel dari Yaman), Mahathir Mohammad (Malaysia), Sami Uryan (Palestina), M. Hasan Walad Dedew (Mauritania) dan lainya. Hidayat menjelaskan peran ormas dan partai Islam –termasuk PKS– dalam mengawal proses demokratisasi sejak reformasi 1998 hingga pemerintahan Joko Widodo.

Bila kini PKS dipersepsikan sebagai kekuatan oposisi kritis yang lantang menyuarakan #2019GantiPresiden, maka perlu dipahami sebagai bagian dari dinamika politik nasional. PKS adalah partai yang lahir dari rahim reformasi, dalam dirinya tertanam DNA perubahan yang fundamental. PKS melihat gejala stagnansi dalam kepemimpinan nasional di tengah populisme yang semakin menguat. Untuk itu, rakyat harus disodorkan alternatif agar pemilihan umum sebagai sarana demokrasi benar-benar berkualitasmenjadi alat uji pembuktian janji dan komitmen para elite politik. Jangan sampai kaum politisi berubah menjadi pemberi harapan palsu.

Platform Kebijakan Pembangunan PKS (2017) secara komprehensif membahas problem nasional dan menawarkan solusi. Regenerasi kepemimpinan nasional merupakan salah satu topik serius yang ditekuni PKS dengan membangun sistem pembinaan sumber daya manusia yang tangguh, bukan semata sistem kaderisasi yang tertutup dan terbatas. Mantan Menristek RI, Suharna Surapranata, adalah sosok paling bertanggung-jawab dalam perumusan platform PKS dan menawarkan gagasan terbuka tentang agenda transformasi bangsa.

Khusus dalam pasal pemberdayaan SDM, platform PKS menggambarkan kurva pembelajaran terdiri dari empat tahap penting, yakni: pematangan diri, pematangan kemampuan, pematangan peran dan kearifan filosofis. Pada tahap awal pembinaan SDM diarahkan untuk mengenal jatidiri dan mengembangkan integritas serta kompetensi teknis. Tahap selanjutnya menerapkan ilmu dan kompetensi serta membangun lobi untuk mempengaruhi kebijakan. Tahap ketiga memantapkan peran di level nasional dan internasional serta merakit jaringan kolaborasi. Dan tahap terakhir, menjadi rujukan dalam pemecahan masalah di tingkat nasional maupun internasional. PKS tidak hanya berdiskusi tentang bonus demografi, tetapi memulai langkah kongkrit untuk menghadapinya.

Satu contoh kecil tentang perhatian PKS dalam pembinaan SDM ialah seorang kadernya, Faris Jihady, yang menempuh ujian tesis magister bidang Tafsir al-Qur’an di King Saud University, dua hari menjelang milad PKS (18/2). Judul tesisnya: “Al-Istidlal bil Ayat al-Qur’aniyah fi Kutub as-Siyasah as-Syar’iyah, Dirasah Tahliliyah” (Studi Analitis Penggunaan Dalil Ayat al-Qur’an dalam Literatur Politik Islam). Penelitian itu tentang dalalah ushul fiqh dan qawaid tafsir dari tiga buku utama politik Islam: al-Ahkam al-Sulthaniyah (al Mawardi), Tahrir al-Ahkam fi Tadbiri Ahli al-Islam (Ibn Jamaah), danSiyasah Syar’iyah fi Islah al-Ra’i wa al-Ri’ayah (Ibn Taimiyah). Kajian kitab klasik dikomparasikan dengan 20 kitab tafsir dari era salaf hingga kontemporer. Hasilnya: cum laude. Dengan penguji: Dr. Shalih bin Nashir an-Nashir, Prof. Dr. Nashir bin Muhammad al-Mani’, dan Dr. Muhsin bin Hamid al-Muthiri.

Faris adalah putra kedua dari Mutammimul Ula (mantan anggota DPR RI dari Fraksi PKS) dan Wirianingsih (Ketua DPP PKS Bidang Pemberdayaan Perempuan dan Ketahanan Keluarga). Ia mewakili generasi baru PKS, disamping PKS Muda yang vokal dan kritis. Mas Tamim dan Mbak Wiwik adalah tipikal keluarga PKS yang beranak banyak (10 orang) dan semuanya penghafal al-Qur’an. Faris tidak hanya menekuni karir akademis, tetapi juga aktif dalam organisasi kemahasiswaan dan peduli dengan permasalahan nasional/global.

Bayangkan, ada ribuan (bahkan jutaan) anak muda yang menempuh jalan sunyi akademisi dan profesi, menggagas karya seni-budaya dan inovasi teknologi, atau menggerakkan swadaya masyarakat dan wirausaha. Mereka tidak disorot publik dan tidak pula terlalu eksis di media sosial. Tetapi, inisiatif dan karya mereka akan menentukan masa depan Indonesia. Mereka itulah yang menuntut perubahan dan memastikan regenerasi kepemimpinan nasional.

Menyambut milad ke-20, PKS membuka diri kepada seluruh lapisan masyarakat yang ingin berpartisipasi memperbaiki kondisi negeri ini. Tidak guna saling menghujat, menghabiskan energi untuk mempertahankan posisi dan klaim justifikasi. Sesuai Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga, PKS terbuka bagi seluruh Warga Negara Indonesia. Tapi, orang yang ingin bergabung ke PKS untuk menikmati jabatan empuk, dia keliru. Karena PKS, mengajak kader dan simpatisannya untuk mendaki jalan terjal (al-aqabah) demi terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. []

Sumber :Islampos.

Jumat, 20 April 2018

Kartini, Tak Sekadar Kebaya dan Konde

Kartini, Tak Sekadar Kebaya dan Konde

 



Oleh:

Rizki Amelia Kurnia Dewi, S.I.Kom

Ibu Rumah Tangga, Owner RBB “Cerdas Media”

BULAN April selalu identik dengan Hari Kartini. Tepatnya tiap tanggal 21 April, masyarakat Indonesia memperingati hari kelahiran pahlawan yang dikenal sebagai pejuang emansipasi wanita, yaitu RA Kartini. Seluruh elemen masyarakat, mulai dari anak TK sampai orang dewasa bersuka cita menyambut Hari Kartini ini dengan mengadakan berbagai lomba serta kegiatan sosial. Dari seluruh perayaan yang diselenggarakan, ada satu kesamaan yang menjadi ciri khas dari momen Kartini ini, yakni kebaya dan konde.

Ibarat sebuah tradisi, budaya ber-kebaya dan ber-konde selalu dilekatkan pada wanita Indonesia, termasuk sosok ibu kita Kartini. Tak sedikit masyarakat Indonesia, terutama kaum wanita, yang sangat bangga ketika mengenakan kebaya dan konde. Seolah mereka telah menjelma menjadi sosok yang anggun, bermartabat, serta menjunjung tinggi nasionalisme. Hingga salah satu tokoh di negeri ini pun menciptakan sebuah puisi yang begitu mengagungkan konde sebagai warisan budaya bangsa yang harus dilestarikan.

Pertanyaannya, mengapa Hari Kartini selalu diidentikkan dengan kebaya dan konde? Apakah perjuangan Kartini hanya sebatas perjuangan kebaya dan konde? Nyatanya tidak, kan? Perjuangan Kartini tentu lebih besar dari pada sekedar berbusana nasional. Perjuangan Kartini tentu lebih mulia dari pada sekedar melestarikan budaya nasional. Perjuangan Kartini adalah perjuangan menyelamatkan kaum wanita dari ketertinggalan dan ketertindasan. Mengangkat harkat dan martabat wanita dari direndahkan menjadi dimuliakan.

Kebaya dan konde hanyalah tampilan luar yang tak dapat menjamin keluhuran budi serta tingginya martabat seorang wanita. Nyatanya, banyak kita saksikan, wanita dengan dandanan kebaya dan konde tapi justru terjerat narkoba, korupsi, ataupun pergaulan bebas.Oleh karena itu, memperingati Hari Kartini hanya dengan lomba-lomba atau pun ajang peragaan busana sama saja mengerdilkan perjuangan besar RA Kartini.

Lalu, bagaimana seharusnya wujud teladan kita pada perjuangan Kartini? Tidak lain adalah dengan menjadikan diri kita sebagai wanita yang bermartabat serta bermanfaat bagi masyarakat. Wanita yang senantiasa menjaga kesopanan dalam berbusana, berucap, serta bertingkah laku. Cerdas dan mampu menempatkan diri sesuai peran dan tugas utamanya sebagai pendidik generasi.

Tidak sekadar berkebaya dan berkonde, tetapi lebih dari itu, ia mampu menutupi seluruh tubuhnya dengan pakaian yang diperintahkan oleh Sang Pencipta. Sebagaimana Kartini yang bertekad menjadi muslimah yang baik dengan memenuhi seruan Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 257, “minadz-dzulumaati ilan nuur” (dari kegelapan menuju cahaya). Ayat inilah yang mendorong Kartini untuk merubah diri dari pemikiran yang salah kepada ajaran Allah.

Sumber : voa-islam.com

Geisz Chalifah: Dari Jakarta, Kita Rebut Indonesia 2019 Secara Konstitusional

Geisz Chalifah: Dari Jakarta, Kita Rebut Indonesia 2019 Secara Konstitusional


10Berita – Kemarin, 19 April setahun lalu, hari masih terbilang pagi, Deni JA mengirim pesan whatsap pada saya memberi kabar hasil exit poll LSI juga berisi ucapan, “Selamat Datang Gubernur Baru”

Hari masih pagi, perhitungan suara belum dimulai. Saya baru saja kembali ke rumah dari beberapa TPS, mengontrol jalannya pemilihan di wilayah saya.

Membaca pesan dari Denny JA, mata saya basah. Istri saya bertanya: Ada apa ? Saya mengabarkan Anies menurut perhitungan LSI Denny JA menang telak. Spontan dia berucap, “Alhamdulillah” terlihat matanya berkaca-kaca.

Beberapa saat sebelumnya istri saya sangat khawatir, ketika kami sekeluarga mendatangi TPS untuk memilih. Beberapa orang yang entah dari mana yang tak dikenal dan bukan warga sekitar, memvideokan saya dan anak-anak, seorang perempuan dan beberapa laki-laki berbadan tegap.

Anak laki-laki saya mau bereaksi mempertanyakan siapa mereka, segera saya tahan. Saya katakan: Tenang saja! Biarkan saja mereka mau melakukan apa saja, selama tak mengganggu.

Ketidakadilan yang kami rasakan dari pihak berwenang selama Pilkada membuat saya berhati-hati dalam bertindak. Pembiaran pada mereka pembuat onar namun cepat dan tanggap pada setiap laporan terhadap kami para pendukung Anies-Sandi membuat emosi warga mudah tersulut.

Tak lama kemudian beberapa teman dari FBR datang mencari orang yang tak jelas tadi namun mereka sudah pergi. Saya menenangkan agar tak terjadi keributan.

Saya membaca berulang ulang pesan Denny JA, kemudian dengan hati bergetar, segera mengambil wudhu lalu melakukan sholat sunah kemudian sujud syukur atas rahmat yang Allah berikan. Sepanjang sholat airmata tak henti-hentinya menetes. Hari itu rasa-rasanya bila nyawa diambil pun saya ikhlas setelah perjuangan panjang yang mendebarkan itu tuntas ditunaikan.

Masih sangat terbayang perlakuan tak adil dari penguasa selama Pilkada berlangsung. Pembiaran dari yang berwenang atas pelanggaran demi pelanggaran kepada mereka pihak lawan. Namun sebaliknya penekanan demi penekanan yang diperlakukan terhadap kami para relawan Anies Sandi.

Seluruh rangkaian perjuangan seluruh ikhtiar dan doa yang tak pernah henti, hari itu terkabulkan. Dari sejak semalam sehari sebelum pemilihan, masyarakat yang gerah terhadap ketidakadilan, pada keangkuhan kekuasaan. Berzikir tak pernah henti. Ibu-ibu mengaji dan berdoa. Ribuan bahkan mungkin jutaan manusia di berbagai pelosok Indonesia melakukan sholat malam. Ribuan ibu-ibu itu mengaji dengan linangan air mata, berharap mendapat pemimpin Jakarta yang baru.

Doa dari seluruh Indonesia dipanjatkan untuk sebuah kemenangan dalam pilkada DKI melawan arogansi kekuasaan. Dan di pihak sebelah sana sibuk mengirimkan sembako ke berbagai wilayah Jakarta agar memilih calon yang mereka dukung.

Segenap doa, segenap harapan, segala ikhtiar pada akhirnya dipasrahkan hanya kepada Ilahi Robbi penggenggam jiwa, pemilik alam semesta. Tak lama kemudian ratusan ucapan selamat via WA mengalir.
Padahal perhitungan suara baru saja dimulai, namun aura kemenangan sudah sangat terasa. Exit poll dari beberapa lembaga rupanya sudah bocor, para relawan saling memberi selamat dan euforia sudah merambah ke hati setiap relawan tak ternilai.

Merenungkan kembali masa-masa Pilkada DKI, dan kelangsungan demokrasi di Republik ini, sepertinya kita harus berjuang terus agar demokrasi tegak pada aturan dan perjalanan bangsa ini bisa mencapai tujuan dengan tanpa melukai siapa pun. Untuk itu, mari secara bersama kita perjuangkan: Dari Jakarta, Kita Rebut Indonesia Di 2019 Secara Konstitusional!. (jabartoday)

*Penulis: Geisz Chalifah, adalah salah satu Relawan Anies-Sandi

Sumber : Eramuslim

Rabu, 18 April 2018

Menimbang Cawapres 2019

Menimbang Cawapres 2019


10Berita, Dari sekian nama yang muncul ke publik, ada empat nama yang potensial jadi calon presiden 2019; Jokowi, Prabowo, Anies Baswedan dan Gatot Nurmantyo. Hanya Prabowo yang sudah deklarasi. Itu pun belum final. Lah kok?

Pertama, belum cukup dukungan. Gerindra hanya punya 73 kursi di DPR. Kurang 39 kursi. PKS? Belum menyatakan dukungan. Kecuali jika syarat cawapres diterima. Prabowo dan Gerindra belum mengiyakan. Masih hitang-hitung. Katanya, terlalu prematur. Cari alasan! Apakah ini berarti koalisi akan pecah? Jangan buru-buru menyimpulkan. Dalam politik, komunikasi antar partai sangat dinamis. Tidak hitam putih. Tidak juga mutlak-mutlakkan. Bisa cair di kedai kopi sambil makan pisang goreng.

Kedua, tetap akan dievaluasi elektabilitasnya. Bisa naik dan cukup suara untuk melawan Jokowi, Prabowo akan terus maju. Itu yang diharapkan dan sedang diikhtiarkan oleh Gerindra. Gak cukup suara, partai akan bersikap rasional. Mundur dan mengganti calon. Semuanya masih terbuka. Prabowo juga tak ingin bersikap konyol. Tidakkah jika Prabowo tetap maju akan mengangkat suara Gerindra? Seratus persen betul. Tapi, apakah itu satu-satunya cara? Apalagi jika Prabowo harus dijadikan martir di usia senjanya. Pengorbanan terlalu besar. Masih ada alternatif lain. Misal, cari calon potensial dan jadikan calon itu sebagai kader Gerindra. Anies Baswedan misalnya. Toh yang maju tetap kader Gerindra. Dan Prabowo tetap terjaga marwahmya sebagai King Maker, sebagaimana banyak pakar politik menyarankan.

Tidak hanya Prabowo, Jokowi juga belum final. Tidakkah sudah ada deklarasi PDIP, Golkar, Nasdem, Hanura dan PPP untuk mengusung Jokowi? Betul sekali. Apakah tidak mungkin ada perubahan? Sangat mungkin. Terutama jika PDIP dan Golkar tak ketemu kesepakatan negosiasinya dengan Jokowi. Kabarnya, PDIP minta cawapres. Setidaknya PDIP diberi hak menentukan cawapres Jokowi. Jika tak dipenuhi, boleh jadi PDIP akan usung calon lain. PDIP bisa memasangkan Gatot dengan Budi Gunawan, misalnya. TNI-Polri. Sangat ideal. Tidakkah dua tokoh ini berseberangan? Kepentingan politik bisa mempersatukan dua tokoh yang berseberangan. Tapi, SBY dan Megawati adalah dua politisi yang susah bersua? Tunggu momentum politik untuk menyatukan.

Jika PDIP cabut dukungan terhadap Jokowi, maka Golkar berpeluang sangat leluasa menekan dan menyandera Jokowi. Emang berani? Sekarang tidak. Karena, masih banyak yang harus diamankan. Situasi akan berbeda saat menjelang pilpres. Hukum “suplai dan kebutuhan” berlaku. Siapa yang kuat, dia yang bisa menekan. Golkar dikenal lincah, licin dan berpengalaman soal ini.

Lalu, siapa tokoh yang potensial jadi cawapres? Otak langsung tertuju pada Muhaimin Iskandar. Ketua PKB yang sejak awal “branding” dirinya secara masif sebagai cawapres. Siapapun capresnya, asal kalkulasi, nego dan harganya cocok, Muhaimin bisa jadi cawapresnya. 47 kursi di DPR dan basis kaum Nahdliyin bisa jadi modal cukup untuk jadi cawapres. Kabarnya, sudah main ancam. Kalau gak diambil Jokowi, akan keluar dari koalisi. Ternyata, mulai punya nyali. Atau, hanya sebagai strategi mengintai kekuatan politik di luar Jokowi.

PKS juga menyiapkan sembilan calon. Diantaranya ada Ahmad Heryawan. Gubernur dua periode di Jawa Barat. Wilayah dengan jumlah pemilih terbesar di Indonesia. Dapat 265 penghargaan. Ada juga Anis Matta, tokoh muda yang brilian, lincah dan luas jaringannya. Mantan presiden PKS ini masih punya pengaruh kuat di kalangan kader-kader muda PKS. Selain dua nama itu, ada Mardani Ali Sera. Seorang doktor muda jebolan UI ini tegas dan berani menyuarakan prinsip-prinsip politiknya.

Mereka siap diwakafkan PKS untuk menjadi cawapres. Cawapresnya Jokowi? Sepertinya Jokowi gagal merayu PKS. Hastag #2019 Ganti Presiden yang digaungkan oleh Mardani Ali Sera adalah bukti PKS tidak mau bergabung dengan Jokowi. Setidaknya hingga hari ini.

Selain tokoh PKB dan PKS, ada Zulkifli Hasan dari PAN. 49 kursi bisa jadi modal untuk mendorong lahirnya koalisi baru. Meski tetap terbuka tangan untuk bergabung dengan Jokowi. Ada juga AHY, putra mahkota SBY yang sedang dibranding untuk menjadi tokoh masa depan. 61 kursi di DPR memberi peluang SBY untuk menginisiasi lahirnya poros ketiga bersama PAN dan PKB yang sedang sibuk mencari pasangan koalisi.

Jika formasi Jawa-Luar Jawa diberlakukan, sebagaimana pilpres sebelumnya, ada nama Jusuf Kalla. Politisi spesialis wapres ini direkomendasikan CSIS untuk mendampingi Jokowi. Asal Sulawesi, pengusaha, dan tokoh yang merepresentasikan Islam kelas menengah. Kabarnya, JK, panggilan akrab Jusuf Kalla, menolak. Ingin pensiun dari dunia politik.

Selain JK, ada Tuan Guru Bajang (TGB). Namanya sempat mencuat. Dua kali menjadi gubernur NTB. Penghafal al-Qur’an ini berhasil menarik perhatian publik. Hanya saja, TGB kader Demokrat. Ada bayang-bayang AHY, putra mahkota yang sedang naik daun. Apakah TGB akan nyeberang ke Jokowi? Tak ada yang mustahil dalam politik.

Di luar JK dan TGB ada Adhyaksa Dault. Mantan ketua KNPI dan menteri olahraga ini punya basis massa yang layak diperhitungkan. Putra Sulawesi ini sekarang menjabat sebagai ketua Kwarnas. Jumlah anggota Pramuka saat ini lebih dari 21 juta. Umumnya anak usia muda. Generasi milenial. Adhyaksa bisa jadi salah satu alternatif untuk cawapres jika formasinya Jawa-Non Jawa.

Semua bakal calon presiden 2019 sedang melakukan; pertama, penjajagan dan komunikasi dengan para tokoh yang potensial menjadi cawapres. Kedua, mengkalkulasi suara berbasis survei. Siapa tokoh yang jika dipasangkan akan mampu menaikkan suara, maka akan jadi prioritas. Tentu, tidak akan mengabaikan deal-deal pragmatis partai koalisi dan pertimbangan logistik.

Siapapun tokoh yang paling potensial dan berpeluang mendampingi para capres, hampir pasti diputuskan injury time. Kenapa? Untuk memastikan tiket partai dan potensi kemenangan. Masih cukup waktu bagi para tokoh tersebut melayakkan elektabilitasnya, agar layak dipinang jadi cawapres.

Penulis: Tony Rosyid

Sumber :Portal Islam 

Sabtu, 14 April 2018

Di Rezim Jokowi Mengapa Ulama Jadi Korban?

Di Rezim Jokowi
Mengapa Ulama Jadi Korban?


Oleh: A. Indira (Ibu Rumah Tangga)

10Berita, Berawal dari kasus penyerangan yang menimpa Pimpinan Pesantren Al-Hilyah, Cicalengka, Kabupaten Bandung, KH Umar Basri. Beliau menjadi korban penganiayaan usai sholat subuh di masjid pada Sabtu (27/1). Dan pihak berwajib telah menangkap pelakunya yang dinyatakan lemah ingatan.

Tak menunggu waktu lama muncul lagi kasus serupa yang menimpa Komando Brigade PP Persis, Ustadz Parwoto dan beliau wafat setelah sempat menjalani perawatan di rumah sakit akibat dianiaya oleh seorang pria pada Kamis (2/1) pagi (Republik, 2/2/2018).

Kemudian di JawaTimur, dua pengasuh Pesantren Al-Falah, Ploso, Kediri, KH Zainuddin Jazuli dan KH Nurul Huda Jazuli yang didatangi oleh orang tak dikenal dwngan membawa pisau sambil berteriak-teriak. Pelaku kemudian diamankan di Polres Kediri untuk diinterogasi (JawaPos, 20/2/2018).

Pada hari Minggu, 18 Februari 2018 terjadi penyerangan juga terhadap KH Hakam Mubarok,  Pengasuh Pesantren Karangasem,  Pancuran, Lamongan. Menurut Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Kepolisian Daerah Jawa Timur Komisaris Besar Frans Barung Mangera, pelaku yang bernama Nandang Triyana bin Satubi (23 tahun) warga Kabupaten Cirebon, Jawa Barat yang diduga gila (Tempo, 19/2/2018).

Dan masih banyak lagi kasus-kasus yang serupa yang menyerang ulama, ustadz atau merusak masjid yang mana ketika pelakunya tertangkap mereka dinyatakan mengalami gangguan jiwa atau gila.

Sudah barang tentu kejadian-kejadian yang diberitakan tersebut menjadi perhatian masyarakat umumnya dan para pemuka agama islam khususnya, sehingga diantaranya 300 ulama perwakilan dari Pondok Pesantren se-Pariangan Timur  yang mengatas namakan Forum Masyarakat Peduli Situasi (FMPS) yang menghadiri rapat di Pondok pesantren An-Nur Jarnauziyyah, Rabu (14/2) dan mereka mencurigai adanya rekayasa kasus serangan orang yang berstatus gila terhadap ulama (Republika, 14/2/2018)

Pada acara diskusi ILC tvOne (13/2/2018) yang lalu KH Teungku Zakaria, Seorang Ulama asal Sumatera yang dikenal blak-blakan dan tegas ini menyatakan penyerangan terhadap Tokoh Agama yang dilakukan “orang gila” ini skenario sistemik. Tidak mungkin kejadian by accident (tiba-tiba), tapi ini kejadian by design.

Masih banyak lagi pendapat yang disampaikan masyarakat baik secara formal maupun di media cetak dan media berita Online.

Pengurus Wilayah Nahdiatul Ulama Jawa Timur pun berpendapat, "Apakah ini kriminal murni atau ada gerakan by design atas semua peristiwa yang terjadi belakangan ini?" kata Ketua PWNU Jawa Timur KH.M Hasan Mutawawakkil Alallah  (Tempo, 19/2/2018).

Pernyataan Kepolisian yang dinilai terburu-buru, menyebutkan bahwa pelaku penyerangan itu mengalami gangguan jiwa menuai kritikan keras. Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia Dana di Sostrosumihardjo merasa, penyebutan pelaku penyerangan sebagai penyandang gangguan jiwa atau orang gila terlalu cepat dilakukan. Untuk mengatakan itu perlu pembuktian melalui diagnosis dokter. "Itu rasanya perlu dikoreksi menurut saya," kata dia (Republika,  14/2/2018).

Saat ini masyarakat menunggu keseriusan Pemerintah dalam menyelesaikan berbagai kasus penyerangan ini. Karena ini adalah salah satu dari kewajiban Negara untuk melindungi dan memberikan jaminan rasa aman kepada rakyatnya. Siapapun mereka, terutama para ulama yang harus dijaga keamanannya.

Ulama adalah sosok yang sangat penting dan dibutuhkan bangsa ini, karena ulama adalah pengemban predikat pewaris para nabi. Ulama harus bisa menunjukkan bahwa mereka adalah pewaris para nabi dari segi keilmuan, ketakwaan,  keberanian,  keikhlasan,ketawakalan,  kesabaran dan kemuliaan akhlak lainnya. Dan Ulama pun harus mampu menunjukkan diri sebagai penjaga juga pengayom umat. Merekalah pondasi keimanan dan kekuatan umat.

Mereka laksana bintang-bintang di langit yang memberi terang dalam kegelapan dunia. Rasulullah saw,  bersabda " Sungguh perumpamaan para Ulama di bumi seperti bintang-bintang di langit yang dengan cahayanya menerangi kegelapan di darat dan di laut." (HR . Ahmad)

Merekalah pewaris para nabi sebagaimana sabda Rasullulah saw, "Sungguh ulama itu adalah pewaris para nabi." (HR. Abu Dawud dan Baihaqi).

Semua keutamaan itu diperuntukkan bagi para ulama yang berjalan di atas kebenaran,  mencintai kebaikan dan melaksanakan amar makruf nahi munkar.

Karena itu masyarakat dan pemerintah wajib menjaga ulama mereka. Jangan sampai masyarakat dan pemerintah berdiam diri ketika begitu banyaknya teror yang ditujukan kepada para ulama.

Kita semua harus menjaga ulama secara langsung karena keberadaan mereka yang sangat penting dan berharga ditengah - tengah umat. Bila ulama hilang maka hilanglah mutiara dan penerang kebaikan di tengah umat. [syahid/]

Sumber : voa-islam.com

Kamis, 12 April 2018

#2019GantiPresiden, Gerakan yang Merangsek Seantero Negeri

#2019GantiPresiden, Gerakan yang Merangsek Seantero Negeri

10Berita-Gerakan #2019GantiPresiden yang digagas pertama kali oleh Mardai Ali Sera, menjadi gerakan masif. Gerakan #2019GantiPresiden menjadi gerakan yang merangsek seantero negeri.

Perkembangan dari #2019GantiPresiden juga ramai menjadi pembahasan dari berbagai macam pihak. Seperti halnya, Pemred dari Indopos ini, menuliskan #2019GantiPresiden yang menjadi menjadi gerakan yang Merangsek Seantero Negeri.

Berikut adalah tulisan Eko Satiya Hushada yang merupakan Pemred Indopos tentang tagar #2019GantiPresiden yang telah merangsek seantero negeri.

PERKEMBANGAN kampanye sosial dengan tagar 2019 Ganti Presiden semakin menarik saja. Siapa kira, slogan yang kali pertama digulirkan petinggi PKS Mardani Ali Sera itu menjadi gerakan yang merangsek seantero negeri. Kini, #2019 Ganti Presiden tak lagi milik Mardani, tetapi menjadi gerakan mereka yang menginginkan presiden baru hasil pemilihan presiden 2019 mendatang. Bahkan ikut ‘dinikmati’  tukang sablon dan bordir topi.

Semakin banyak beredar baju dan topi dengan desain menarik. Hanya satu kalimat; #2019GantiPresiden. Ada yang memproduksinya karena mendukung gerakan ini,. Ada juga yang memproduksi karena memanfaatkan trend pasar. Diorder, bro and sis! Begitu pengantar desain foto dan topi yang berseliweran di Whatsapp group.

Apapun, yang pasti, ‘wabah’ #2019 Ganti Presiden ini tak bisa dianggap enteng. Jangan pernah mengatakan,”Tak mungkin kaos oblong bisa mengganti presiden.” Jangan pernah bilang, “Kami tak takut dengan tagar 2019 ganti presiden’.

Tagar ini sudah menjadi sebuah gerakan kampanye sosial lewat  strategi  word of mouth (WoM). Sebuah strategi komunikasi yang dinilai kalangan public relations (PR) sebagai metode kampanye yang efektif dan efesien. Ditambah dengan tumbuhnya aspirasi untuk hadirnya figure baru hasil pilpres 2019 mendatang.

WoM menjadi efektif dan efesien, karena pesan komunikasi disampaikan dari mulut ke mulut, direkomendasikan kepada antar teman, keluarga, tokoh, yang dalam komuikasi, mampu mempengaruhi sikap personal.

WoM lebih dahsyat ketimbang Anda memasang baliho super raksasa di pinggir jalan. Karena itu hanya mampu membangun pemahaman merek (brand awareness), bukan mempengaruhi sikap pilih. Hasil riset menyebutkan, rekomendasi orang dekat lah yang mempengaruhi sikap pilih. Apapun. Memilih produk maupun figur pemimpin.

Dalam komunikasi, ada empat tujuan kampanye. Keempat tujuan ini menjadi alat ukur suksesnya sebuah kampanye. Keempat tujuan itu, yakni ketika merek dikenal, kemudian dibicarakan secara positif, lalu direkomendasikan kepada orang lain dan terakhir; dipilih. Ada unsur rekomendasi.

Karena itu, jika ingin memusnahkan ‘wabah’ #2019 Ganti Presiden agar tidak terus berkembang menjadi sebuah gerakan bersama, maka, ciptakanlah strategi agar ‘wabah’ tagar ini tidak sampai direkomendasikan kepada orang lain. Ini menjadi tantangan Anda, para projo, alias pro Jokowi.

Upaya menghentikan ‘wabah’ tagar ini jangan sampai menggunakan jurus dewa mabuk atau kacamata kuda. ‘pukul’ sana ‘pukul’ sini, ‘seruduk’ sana ‘seruduk’ sini. Ini urusan ilmu komunikasi. Karenanya, gunakan cara-cara sehat, juga dengan keilmuan yang teruji.

Bagi saya, sebenarnya, tak perlu memuntahkan berbagai jurus untuk Jokowi bisa bertahan di istana dua periode. Cukup hanya dengan memenuhi janjinya ketika kampanye pilpres lalu. Karena Jokowi memengkan pilpres setelah janji-janjinya di masa kampanye yang mampu menyuntik benak pemilih.

Kemudian, jadilah pemimpin dan bertindak adil bagi semua golongan, bukan golongan tertentu.

‘Wabah’ #2019 Ganti Presiden terus berkembang oleh mereka yang merasa kepentingannya tidak terakomodir. Karenanya, akomodirlah kepentingan masyarakat pemilih.  

Untuk dua periode, tak cukup hanya dengan membagi-bagikan bingkisan di pinggir jalan, naik motor ala anak muda, beli sepatu dan baju harga murah, atau bagi-bagi sepeda karena benar menjawab pertanyaan soal ikan tongkol. Jangan bikin mereka pendukung #2019 Ganti Presiden semakin dongkol. Tapi rangkul mereka, agar istana tetap menjadi tempat bercokol. Salam demokrasi sehat !

Eko Satiya Hushada

(*Pemred INDOPOS).

Sumber :  Ngelmu.co

Selasa, 10 April 2018

Membaca Serangan Balik dan Ambang Batas Kesabaran Jokowi

Membaca Serangan Balik dan Ambang Batas Kesabaran Jokowi


10Berita, Tak biasanya Presiden Jokowi pidato di depan publik dalam nada yang tinggi. Jokowi biasanya selalu bicara dalam nada yang datar, disertai senyum. Benar dia pernah kedapatan beberapa kali pidato dengan nada tinggi, namun kebanyakan dalam konteks internal kabinet. Ia menegur beberapa menteri yang dinilai kinerjanya tidak baik. Di luar itu sebagai priyayi Jawa asal Solo, Jokowi mempunyai pengendalian diri yang sangat kuat.

Kali ini pidato Jokowi didepan ratusan relawan Gerakan Kemajuan 2018 yang sedang melaksanakan konvensi nasional di Bogor, sangat berbeda. Jokowi bicara dalam nada tinggi dengan ekspresi jengkel dan marah. Media menyebutnya sebagai “Serangan Balik Jokowi.”

Ada enam poin yang disoroti dalam pidatonya. Pertama, soal gerakan kaus #2019Ganti Presiden. Kedua, soal utang negara yang kian menggunung. Ketiga, dituduh sebagai antek asing dan PKI. Keempat, tahun 2030 Indonesia bubar. Kelima, adanya orang yang mengaku-ngaku berjasa dalam program pemerintah. Keenam, kritik harus berbasis data dan beri alternatif.

Mengapa Jokowi seperti kehilangan kontrol diri, atau kalau dalam bahasa anak sekarang “gak Jokowi banget?” Padahal di luar kesederhanaan, tampilannya yang kalem menjadi salah satu kekuatannya dibandingkan kompetitor utamanya Prabowo yang dikenal suka meledak-ledak?
Menurut Ketua DPP PDIP Komarudin Watubun kesabaran Presiden Jokowi ada batasnya. Berbagai serangan kepada Jokowi dinilai sudah melampaui batas. Hal yang sama juga disampaikan oleh Menko Maritim Luhut Panjaitan. Tangan kanan Jokowi itu menyampaikan keherannya ada orang yang meragukan keislaman Jokowi, termasuk menuduhnya sebagai PKI. “Pak Jokowi sangat jengkel dengan berbagai tudingan tak berdasar,” ujarnya.

Di luar masalah personal, kejengkelan Jokowi tampaknya berkaitan dengan dampak elektoral akibat berbagai tuduhan, maupun kritik kepadanya. Sejumlah survei menunjukkan elektabilitas Jokowi stagnan, bahkan ada kecenderungan menurun.

Menurut sebuah sumber di kalangan istana, hasil survei adalah menu wajib yang harus selalu berada dalam tumpukan dokumen di meja kerja Presiden. Seorang anggota Wantimpres bercerita pernah bertemu dengan rombongan Litbang sebuah media di Istana Merdeka. Media ini secara berkala membuat publikasi hasil surveinya.

Presiden Jokowi secara rutin mencermati hasil survei. Dia juga secara berkala mendapat briefing berbagai kebijakan dan langkah apa yang harus dilakukan untuk dapat mendongkrak elektabilitasnya. Jadi jangan terlalu heran bila Jokowi melakukan berbagai aksi diluar kelaziman seorang presiden.

Dalam kunjungan ke Sukabumi Minggu (8/4) Jokowi mengendarai sepeda motor chopper warna emas, dan menjadi captain touring ke Pelabuhan Ratu. Jokowi bergaya bak remaja 90-an mengenakan jaket jeans ala Dilan, dan tak lupa melakukan selfie sebelum menstarter sepeda motornya.

Jokowi juga membagi-bagikan sembako ke warga sepanjang perjalanananya dari Bogor ke Sukabumi. Sejumlah video yang beredar di medsos menunjukkan sejumlah pasukan pengaman presiden (Paspamres) ikut sibuk membagi-bagikan kantong berisi sembako dengan logo Istana Presiden.

Jokowi juga secara gencar melakukan pembagian sertifikat tanah kepada rakyat. Targetnya pada tahun 2018 ini sebanyak 7 juta sertifikat. Di dalam sertifikat yang dibagikan selalu diselipkan poster dengan foto Jokowi. Istana membantah pembagian sertifikat dimanfaatkan untuk kampanye Jokowi. Namun agak sulit untuk membantah tidak adanya kepentingan politik di balik poster dan foto Jokowi tersebut
Semua langkah populis Presiden Jokowi tersebut jelas merupakan upaya untuk mendongkrak elektabilitasnya. Dia mencoba membidik remaja milenial, dan segmen masyarakat kelas bawah yang relatif tak terpengaruh hiruk pikuk politik. Namun sejauh ini dampaknya tidak cukup signifikan.

Pra rilis dari survei terbaru Median menunjukkan data bahwa saat ini jumlah pemilih Indonesia yang tidak menginginkan kembali Jokowi sebagai presiden, kian besar. Jumlahnya bahkan lebih besar dari yang menghendaki dia kembali memimpin.
Ketika diajukan pertanyaan langsung apakah mereka akan memilih kembali Jokowi atau tidak, 46% menjawab “tidak.” Yang menjawab “ya”, hanya 45%. Jumlah ini sangat mengejutkan. Dengan mempertimbangkan perilaku pemilih (voting behavior) di Indonesia yang tidak biasa bicara terbuka, diperkirakan yang memutuskan tidak akan memilih kembali Jokowi, jumlahnya lebih banyak. Di atas 50%.

Secara psikologis berbagai hasil survei tersebut sangat mengganggu Presiden Jokowi. Membuatnya galau. Hal itu menjelaskan mengapa “hal-hal kecil” termasuk gerakan kaus #2019GantiPresiden bisa membuatnya sangat jengkel. Belum lagi berbagai tudingan yang menurutnya tidak berdasar.

Upaya kembali merangkul Prabowo

Dalam beberapa bulan ke depan, utamanya menjelang pendaftaran nama pasangan capres/cawapres pada bulan Agustus, merupakan waktu yang sangat krusial bagi Jokowi. Selain masalah elektabilitas, siapa yang akan digandengnya sebagai cawapres, dan siapa yang akan menjadi lawannya, sangat menentukan.

Untuk cawapres, Jokowi harus pandai-pandai melakukan negosiasi dengan partai-partai pendukungnya. Hampir semua partai, terutama PDIP bersaing keras mendapatkan jatah sebagai cawapres. Namun Jokowi dan timnya tentu punya kalkulasi sendiri. Dilihat dari besarnya oposisi di kalangan umat Islam, hampir dipastikan Jokowi berkepentingan untuk mendapatkan cawapres yang bisa menjadi representasi dan mengakomodasi kepentingan umat.

Kecuali bila Jokowi berhasil merangkul Prabowo sebagai wakilnya, atau mendorongnya tetap maju sebagai capres —seperti tercermin dari pertemuan Luhut dengan Prabowo– maka dia akan sangat pede menatap Pilpres 2019. Bergabungnya Prabowo dengan Jokowi, atau keputusannya untuk tetap maju sebagai capres, akan membuat para calon alternatif yang potensial bisa mengalahkan Jokowi, seperti Gatot Nurmantyo dan Anies Baswedan harus berjuang keras mendapatkan tiketnya.

Masalahnya apakah Prabowo mau? Bila bergabung menjadi cawapres Jokowi, elektabilitas Gerindra akan terjun bebas, karena mayoritas pemilih Gerindra tidak memilih Jokowi. Sementara bila Prabowo tetap nyapres, elektabilitas Gerindra akan melejit, namun peluang Prabowo mengalahkan Jokowi sangat kecil.

Politik itu seperti permainan catur yang rumit, penuh strategi yang pelik, tapi mengasyikkan. Mari kita tunggu bagaimana Jokowi memainkan bidaknya. Apakah dia bisa membuktikan dirinya sebagai raja, atau hanya pion yang dikorbankan dalam sebuah permainan?

Penulis: Hersubeno Arief [pi]

Sumber :Dakwah media 

Minggu, 08 April 2018

Antara Mohamed Salah dan #2019GantiPresiden

Antara Mohamed Salah dan #2019GantiPresiden

Oleh Dr. Mardani Ali Sera MEng
*Capres RI 2019

10Berita, Bismillah.
Mohamed Salah yang terkenal dalam akun twitter *@22MoSalah* #LiverpoolFC lagi _on fire_. Manceshter City yang punya skuad seharga 8.6 trilyun dilumat habis 0-3 di leg awal perempat final Liga Champion 2018. Di Liga Inggris Liverpool sudah masuk empat besar. Rahasia penampilan ciamik Liverpool adalah sosok bernama Mohamed Salah, sering disingkat Mo Salah. Ya beliau seorang Muslim yang taat, yang setiap mencetak gol selalu bersujud, berasal dari Mesir.

Dengan prestasinya mencetak 39 gol di semua kompetisi bersama Liverpool Mo Salah bahkan _top scorer_ untuk semua Liga Eropa mengalahkan Messi dan Christiano Ronaldo. Lalu apa hubungan Mo Salah dengan gerakan #2019GantiPresiden?

Hubungannya jelas, kita berusaha seelegan dan seindah mungkin menang dalam Pilpres 2019 seperti Mo Salah menaklukan Eropa dengan prestasi dan gol-gol cantiknya. Kita bukan ingin membuat gerakan makar, gerakan hoax apalagi gerakan fitnah. Tidak!

Bahkan Islam mengharamkan semua bentuk gerakan diatas. Justru, seperti Mo Salah kita ingin #2019GantiPresiden dengan landasan akhlaqul karimah. Karena sebagai mu’min kita diperintahkan Baginda Nabi Saw untuk menampilkan akhlaqul karimah. Makanya gerakan ini tidak diam-diam tapi zahir dengan tujuan jelas #2019GantiPresiden dan dengan basis social movement (gerakan sosial).

Makanya siapapun boleh mencetak kaos, membuat gelang, topi, menjual mug dan lain-lain karena gerakan ini memang tidak ada yg mendanai. Semua menggunakan prinsip ‘sunduquna juyubuna’ kantong kami adalah sumber dana kami.

Lalu apa yang bisa kita pelajari di Mo Salah agar dapat menang dalam Pilpres 2019?

*Pertama,* tentu persiapan yang matang. Mo Salah, mengikut penjelasan Pelatih Jurgen Klopp selalu hadir lebih awal dan berlatih sendiri menambah porsi latihan. Kita Relawan Ganti Presiden, harus benar2 mampu menyiapkan diri untuk kerja keras, kerja cerdas dan kerja tuntas. Saat Pilkada DKI lalu tim Pemenangan selalu efisien dalam rapat, fokus dalam kerja dan tekun meniti proses.

Kadang kita persiapkan _clue card_ (kertas2 penanda) agar Mas Anies dan bang Sandi bisa tampil mempesona saat Debat Kandidat. Jam 02.00 dini hari baru kelar adalah hal biasa. Dan tidak ada pekerjaan besar selesai kecuali didukung semua tim yang punya dedikasi. Membangun tim penuh dedikasi juga seni tersendiri.

Jadi prestasi Mo Salah yang luar biasa dari perencanaan yang indah melibatkan banyak orang dalam suasa riang dan penuh apresiasi. Makanya Mo Salah selalu mendedikasikan kemenangan bagi tim nya dan bagi mereka yang dibelakang layar.

Sama seperti Gerakan #2019GantiPresiden, yang tampil mungkin saya, tapi di belakangnya ada para Ustadz yg ikhlas, Emak-emak yg luar biasa tekun menyiapkan perkara kecil tapi berdampak besar bagi kesuksesan gerakan ini. Semoga Allah Swt membalas kebaikan semua dg balasan terbaik dunia dan akhirat.

*Kedua,* Mo Salah selalu rendah hati, dia katakan yang terpenting kemenangan tim, target tiga poin, bukannya rekor pribadi. Bahkan di beberapa pertandingan Salah dalam posisi ideal mencetak goal, bola malah di assits pada kawan setimnya utk mencetak goal.

Karena itulah Mo Salah dicintai rekan setimnya dan dipuja para Liverpudian, fans Liverpool yang memang fanatik seperti The Jack dan Viking disini. Bahkan ada lagu, kalau Salah masukan gol lagi aku akan ikut Salah sholat dan being a moslem… betapa indahnya.

Kita gerakan #2019GantiPresiden harus lebih punya sikap rendah hati lebih dari Mo Salah. Karena pertandingan lebih berat, lebih mulia dan lebih banyak godaan dan cobaannya. Karena itu #2019GantiPresiden diawal ini lebih banyak kita mengokohkan akar pergerakan kedekatan kita dengan Allah SWT.

Bukan kita yang memenangkan Pilpres 2019 tetapi tegas Allah katakan dalam Surat Al Anfal ayat 10 _”Waman nashru illa min indillah”_ *Kemenangan itu datang hanya dari sisi Allah*.
Mudah bagi Allah menganugerahkan kemenangan, memberikan atau mencabut kekuasaan dari seseorang untuk diberikan pada yang lain.

Jadi, rendah hati dengan selalu mengembalikan kebaikan pada Allah dan introspeksi diri jika ada kekurangan. Bukan menyalahkan yang lain.

*Ketiga,* pelajaran dari Mo Salah adalah kerja sama tim. Tidak ada gol tercipta, tidak ada kemenangan dan tidak ada piala tanpa semua menyadari ini pertarungan tim. Ini kerja bersama. Ini kompetisi yang melibatkan banyak orang. Jadi #2019GantiPresiden harus bersifat komunitas terbuka. Semua diundang untuk sharing knowlegde, sharing ide dan gagasan hingga sharing kontribusi.

Hape saya di 0811904747 atau di Twitter @MardaniAliSera FB dan IG semua dapat jadi jalur untuk jembatan sharing tersebut.

Sejak awal saya selalu menegaskan pada tim Relawan Ganti Presiden bahwa tim ini akan membesar dan terus menerima relawan dan kita tidak perlu merasa tersisih, tertinggal ataupun terabaikan jika ada yang lebih pandai, lebih layak dan lebih berkualitas ketimbang kita. Karena kita memang tidak bertujuan untuk membesarkan diri apalagi mengambil keuntungan dari gerakan ini.

Kalau itu terjadi jangankan #2109GantiPresiden, malah kita akan saling membenci dan saling melemahkan karena tujuannya bukan lagi Lillahi Ta’ala. Jadi, #2019GantiPresiden harus benar-benar menyiapkan diri untuk memiliki salamatus shadr (kelapangan dada) dan open mind (pikiran terbuka) dan selalu mengapresiasi tiap orang yang terlibat.

Jika Mohamed Salah bisa menaklukan Liverpudian dan Eropa dengan akhlaq dan prestasinya, insya Allah kita Relawan dan simpatisan gerakan #2019GantiPresiden juga akan sukses dengan tiga attitude (sikap mental dan prestasi kerja) seperti Mo Salah.

Wallahu ‘alam bishowab
Follow @MardaniAlisera

Sumber : Ngelmu.co

Sabtu, 07 April 2018

Ibuku Tak Lagi Berkonde

Ibuku Tak Lagi Berkonde


10Berita, Puisi memanglah sastra yang indah. Rimanya yang berirama mampu ciptakan merdu di telinga. Tapi sayang, keindahan itu tak lagi benar benar indah. Merdunya tak lagi benar benar merdu ketika yang tersampaikan justru untaian yang membelenggu tanpa ilmu.

Adalah ‘Ibu Indonesia’, buah pikiran Sukmawati yang dilantunkan di acara Indonesia Fashion Week ’29 tahun Anne Avantie berkarya’ di Jakarta. Adalah ‘Ibu Indonesia’, buah pikiran yang akhirnya berbuntut pada kecaman. Adalah ‘Ibu Indonesia’, buah pikiran yang bangga sampaikan tak paham syariat, tapi bicara tanpa akal sehat.

Sari konde lebih cantik dari cadar, suara kidung lebih merdu dari adzan.

Sungguh, adakah dagelan yang lebih lucu dari ini? Oh mungkin ada, jika dagelan semacam ini justru dilindungi atas nama luapan ekspresi dan seni. Dan bukan suatu kemustahilan akan terjadi mengingat hukum Indonesia seringkali digaungkan tidak konsisten. Alias masih seperti karet. Bisa ditarik ulur sesuai keinginan orang orang yang berkepentingan. Bisa ditarik ulur bergantung jabatan pelaku pelanggaran. Celakanya, banyak rakyat kecil yang diciderai akibat diterapkannya hukum yang seperti ini.

Ini bukan sekedar bualan semata, tapi sesuatu yang sudah nyata adanya. Lihat saja alotnya kasus Ahok terdahulu. Sudah jelas salah, tapi dalam perpolitikan calon gubernur ia masih bisa tetap berkiprah. Kasus Victor Laiskodat pun berakhir sama. Tak berkelanjutan alias mandek berkat hak imunitas nya sebagai anggota DPR (detikNews 21/11/17).

Dan sekarang? Sungguh jangan berharap ‘ibu Indonesia’ akan memiliki ending yang berbeda.

Patut dimaklumi, memang beginilah resiko dari demokrasi. Benar benar berpotensi besar dalam membuka jalan penistaan secara berulang. Akarnya tentu saja dari paham sekuler yang akhirnya memunculkan liberalisme. Tidak adanya keterlibatan agama dalam kehidupan selain sebagai pengatur perkara ibadah sudah pasti akan menjadikan manusia semakin bertindak bebas. Dalam hal apapun. Inilah yang membuat mereka tidak sempat berpikir apakah ucapan, tindakan dan buah karyanya menyalahi aturan agama atau tidak.

Resiko lain dari demokrasi yang pasti ditemui ialah lemahnya hukum yang seringkali tidak menimbulkan efek jera. Bahkan suatu waktu hukum bisa terbeli oleh uang. Cacat yang seperti inilah yang membuat manusia yang telah tercokol virus sekulerisme semakin berani melakukan penghinaan. Hingga aspek tersakral pun berani mereka terabas begitu saja.

Hal berbeda akan ditemui ketika sekulerisme beserta turunan nya bisa terberantas habis dan benih benih ajaran Islam kembali dipahamkan kepada umat. Pemahaman inilah yang nantinya membuat perilaku dan cara pandang umat akan kehidupan terasa berbeda. Lebih tertata sekaligus terarah. Mereka tidak segan untuk berpikir dua kali ketika nafsu ingin menghantarkan mereka pada perkara tercela. Akal akan lebih bermain dominan disini, dengan hidrak sillah Billah (kesadaran akan hubungan nya dengan Allah) sebagai pengendalinya.

Disamping itu, konsep Islam ketika memberikan sanksi atas tindakan penistaan agama tidaklah main main. Perbuatan tersebut bahkan dinilai sebagai ajakan berperang. Jika ia seorang muslim, maka ia telah dihukumi murtad dan halal darahnya untuk dibunuh bila menolak bertaubat. Sanksi serupa juga berlaku bagi non muslim.

Ketegasan Islam dalam memandang dan menghukumi kasus penistaan ini bertujuan untuk menghentikan segala bentuk fitnah yang ia timbulkan sekaligus sebagai pelajaran bagi siapa saja yang ingin melakukan kejahatan yang serup. Jauh berbeda bukan dengan KUHP yang hanya mampu menjerat pelaku penistaan 5 tahun? Itupun masih bisa dilobi lagi ketika tersangka mengajukan banding.

Jadi, masihkah berani menggantungkan harapan baik pada sistem buruk buatan manusia ini?

Penulis, Maya A

Tinggal di Gresik 

Sumber :panjimas

Jumat, 06 April 2018

Pentingnya Kecerdasan Politis di Tahun Politik

Pentingnya Kecerdasan Politis di Tahun Politik



Oleh: Salsabila Maghfoor*

10Berita, Tahun 2018 saat ini merupakan titik tolak menuju kondisi perpolitikan negeri yang kian memanas menuju pilpres 2019. Para pemimpin kita sedang menyelenggarakan perhelatan akbar yang tentu bukan dengan kapasitas biasa.

Setelah berjalannya periode presiden rasa walikota dan gubernur, kita semakin ditampakkan pada fenomena kepemimpinan ala pengusaha-penguasa.

Hal ini memang agaknya terlihat baru, sebab sebelumnya kita berturut-turut dipimpin oleh presiden berbasis intelektual dan juga militer. Entah apa mungkin ini berpengaruh banyak, tapi saya rasa memang berpengaruh.

Banyak diantara kebijakan yang dicanangkan sesungguhnya lebih cocok disebut sebagai perniagaan insfrastruktur. Satu-dua infrastruktur yang dibangun pada akhirnya ada yang roboh dan tidak sedikit yang menelan korban jiwa dari pengguna jalan yang melintas.

Entah aspek apa yang kurang diperhatikan dari proses pembangunan yang ada, tapi memang semestinya harus ada pemetaan di awal, lengkap dengan segala analisa dan persiapan yang dikerahkan, serta yang terpenting adalah dalam eksekusi pembangunan yang harus memperhatikan waktu secara proporsional, efektif namun juga bisa optimal. Namun hari ini justru kebanyakan pembangunan yang ada itu semacam dikejar tayang, atau justru ada yang berjalannya mangkrak dan terbengkalai.

Ini hanya satu contoh. Banyak aspek lain dalam pelayanan pemerintah yang dirasa masih belum betul-betul berpihak pada rakyat. Seperti pemberian kartu-kartu sakti ala pemerintah yang teryata ada kepentingan juga didalamnhya.

Dalam aspek ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan lain sebagainya itu dapat kita rasakan mekanisme yang terkesan di-kapitalisasi dan berpihak kepada keuntungan semata. Saya lebih terkejut ketika seorang menteri agama lantas mencanangkan ingin mengusulkan kewajiban zakat profesi 2,5% untuk PNS, yang belakangan terkuak bahwa itu akan diputar dan digunakan untuk mendanai infrasttuktur.

Ada banyak corak kepemimpinan yang telah, sedang dan akan menguasai negeri ini. Kesemuanya itu tentu bisa dibaca dengan mudah kemana arah kepemimpinannya jika bukan kearah Kapitalis-Liberalis. Apakah ini suudzon ? tentu tidak. Sebab memang saat ini sistem pemerintahan di negara manapun memang mengikut kepada corak negara adidaya yang terus memberikan pengaruh dan mindset Kapitalistik.

Tentu bukan tidak mungkin bila pada akhirnya negara berkembang pun akan mengikuti dan memang diaruskan untuk membebek dan mengikuti. Hal ini dapat kita rasakan dari aspek pelayan ataupun kepemimpinan yang dijalankan, pasti bukan murni karena inginnya melayani rakyat dan tidak betul-betul murni berdasar kesadarannya akan tugas kepemimpinannya, melainkan pasti ada aspek tertentu yang dia pandang sebagai keuntungan.

Selalu berpusar kepada keuntungan apa yang mampu didapat oleh pemerintah bila ia membuat kebijakan A, bila memutuskan mekanisme B, dan sebagainya.

Maka yang mesti kita lakukan adalah menumbuhkan sikap kekritisan dan daya analisa yang super tinggi bila tidak mau dibodohi dengan istilah wong cilikpro rakyat, dan istilah lain yang sebenarnya menutupi wajah asli ala kapitalis dibelakangnya. Ini yang mesti kita bangun dan terus kita asah, agar kita mampu menjadi corong yang menyadarkan pemerintah melalui lisan dan sikap kita.

Disinilah letak pentingnya kecerdasan politis ditengah tahun politik. Kita mesti terus mengasah kepekaan politis bila tidak mau dipolitisasi oleh segelintir oknum di badan pemerintah. Mengkritik ini bukanlah untuk menjatuhkan dan bukan pula untuk tujuan pencelaan.

Lebih jauh lagi, ini adalah bentuk penjagaan dari komponen rakyat yang tidak ingin ada kebocoran dan kerusakan yang semakin parah dalam kapal kebangsaan yang berpotensi menyebabkan kerugian besar di segala sisi dan akhirnya akan menjerumuskan. [syahid/voa-islam.com]

*) Aktivis Mahasiswa Universitas Brawijaya

Sumber : Voa-islam.com

Senin, 02 April 2018

Impor Pangan dan Jebakan Presidential Threshold

Impor Pangan dan Jebakan Presidential Threshold


Oleh: Edy Mulyadi*

10Berita, Koran Independent Observer beberapa waktu lalu menurunkan tulisan di halaman depan berjudul Corn and salt imports; Playing Politics with Indonesia’s Food Security. Laporan satu halaman penuh itu diberi ilustrasi Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukito yang tengah duduk bersila. Di gambar itu, Enggar punya delapan tangan.

Dua tangan bagian paling bawah masuk ke saku kanan-kiri jas. Enam tangan lain dibuat tersusun rapi dari bawah ke atas. Masing-masing tangan ada berbagai komoditas pangan; beras, gula, daging, kedelai, garam, dan jagung.

Lewat judul yang terjemahan bebasnya berbunyi Jagung dan Garam Impor; Main-main Politik dengan Ketahanan Pangan Indonesiaplus ilustrasi yang begitu gamblang, koran ini seperti sedang menelanjangi perilaku Enggar. Bahwa, impor produk pangan bukan sekadar perkara dagang yang menghasilkan keuntungan superjumbo, tapi juga sarat dengan aroma politik yang menyengat.

Inilah yang sejak beberapa tahun silam disuarakan dengan lantang oleh ekonom senior Rizal Ramli tentang buruknya sistem kuota impor.Melambungnya harga berbagai bahan pangan akhir-akhir ini terjadi karena pemerintah tidak memiliki strategi dan kebijakan yang jelas di sektor pangan. Hal itu diperparah dengan adanya sistem kuota impor yang tidak transaparan. Akibatnya terjadilah kongkalikong pejabat dan pengusaha penerima lisensi kuota impor yang merugikan sangat rakyat dan negara.

RR, begitu Rizal Ramli biasa disapa, juga mendesak sistem kuota dihapuskan dan diganti dengan sistem tarif. Dengan begitu dipastikan impor kita akan lebih kompetitif. Harga bahan pangan akan lebih murah dan terjangkau oleh rakyat kecil.

Tidak sulit untuk memahami fenomena impor komoditas pangan yang kian sering terjadi belakangan ini. Impor produk pangan adalah jalan pintas paling mudah untuk mengeruk laba sangat besar. Dengan fulus yang berlimpah, apa saja bisa dilakukan. Termasuk dan terutama menyogok pejabat dan atau membiayai syahwat politik yang menggelegak. Itu sebabnya perselingkuhan penguasa dan pengusaha di ranah ini seperti tidak pernah berakhir.

Tapi impor pangan bertubi-tubi yang dilakukan akhir 2017 dan awal 2018 sudah benar-benar keterlaluan. Kalau nafsu serakah tak bisa dibendung, mbok yao impor dilakukan nanti-nanti, minimal tiga bulan ke depan.  Bukan saat panen raya seperti yang terjadi pada padi, garam, jagung, dan lainnya. Petani dan produsen lokal sudah pasti yang paling menderita.

Jatuhkan elektabilitas Presiden

Sangat patut dicurigai para pelakunya bukan sekadar mengincar untung yang memang sebesar gajah bunting berpenyakit beri-beri dan bengkak disengat ribuan lebah. Mereka juga secara sistematis dan terencana sedang menjatuhkan kredibilitas sekaligus elektabilitas Presiden Jokowi. Bukankah banjir impor produk pangan membuat petani dan produsen marah? Tidakkah ini akan membuat mereka emoh memilih Jokowi pada laga Pilpres 2019?

Pertanyannya, apakah Jokowi tidak bisa membaca permainan sekasar ini? Tidakkah Presiden menyadari betapa buruk akibat perilaku menteri dan para kroninya di ranah impor pangan ini?

Mustahil kalau Jokowi tidak engeh. Dia memang berasal dari Solo yang dipersepsikan lugu. Tapi, pengalaman menjadi Gubernur DKI dan tiga tahun sebagai Presiden pasti telah memberi banyak sekali pelajaran baginya. Kesimpulannya, Jokowi pasti sudah paham benar jurus-jurus maut tapi licik tersebut.

Namun pertanyaan berikutnya, mengapa dia tidak kunjung mencopot Enggar? Bukankah perilaku si menteri jelas-jelas bertentangan dengan jargon Trisakti dan Nawa Cita yang jadi jualan Jokowi saat Pilpres 2014 silam? Bukankah karena dagangannya itu dia bisa meraup suara lebih banyak ketimbang para pesaingnya? Dan, ini yang paling penting, bukankah sebagai Presiden dia harus merealisasikan janji-janjinya selama nyapres?

Tentu ada penjelasan hingga kini Enggar masih duduk anteng, adem-ayem tanpa ada sedikit pun tanda-tanda bakal kena gusur. Alasan paling logis untuk itu adalah, Jokowi tersandera! Jika dia mencopot Enggar, bukan mustahil Partai Nasdem tempat mantan politisi Golkar ini bernaung bakal marah besar. Langkah selanjutnya, Nasdem akan balik kanan, tidak lagi mengusung Jokowi sebagai Capres pada 2019.

Skenario inilah yang sepertinya menghalangi Jokowi memecat Enggar. Risikonya terlalu besar jika sampai Nasdem cabut dari koalisi. Perolehan suara yang terkumpul tidak cukup untuk mengantarkannya ke ajang Pilpres.

Dalam UU Pemilu yang baru, aturan presidential threshold (PT) parpol/gabungan parpol bisa mengusung capres harus memiliki 20% kursi di DPR atau 25% suara sah nasional dalam pemilu sebelumnya. Nasdem (6,72%), Golkar (14,75%), Partai Persatuan Pembangunan (6,53%), dan Hanura (5,26%) sudah menyatakan dukungan. Total jumlah suara mereka 33,26%.

Secara teori ini, jumlah ini sudah aman. Tapi Jokowi paham benar, bahwa di jagad politik semuanya serba dinamis. Apa yang sudah diputuskan pagi hari, bukan mustahil berubah sore harinya. Begitu juga dengan dukungan Parpol pendukung. Sedikit saja ada guncangan atau iming-iming ‘gizi’ yang lebih gurih, bukan mustahil satu per satu akan balik kanan.

Parpol yang ‘dijamin’ tetap setia barangkali cuma Golkar dan Hanura. Tapi jumlah suara keduanya cuma 20,01% alias kurang dari 25%. Kalau Nasdem benar-benar cabut yang ngambek karena Enggar dicopot, harapan Jokowi kembali berlaga di ajang 2019 pasti kandas.

Pada Rakernas ke-3 di Bali, 23 Februari 2018 silam, PDIP memang secara resmi menyatakan kembali mengusung Jokowi sebagai Capres pada 2019. Meski begitu, siapa pun paham, bahwa sudah lama hubungan Ketum PDIP Megawati-Jokowi kurang mesra. Pemicunya, sejumlah permintaan Mega hingga detik ini belum dipenuhi Presiden. Antara lain, Mega menginginkan Budi Gunawan jadi Kapolri dan Menteri Rini Soemarno didepak. Ini adalah duri dalam daging yang sangat menganggu.

Apalagi sedikitnya dalam dua kali kesempatan di hadapan publik, Mega menyatakan Jokowi adalah petugas partai yang harus setia dengan AD/ART dan garis kebijakan partai. Sebagai manusia, apalagi Presiden terpilih dari negara yang berdaulat, adalah normal dan manusiawi jika Jokowi tersinggung karenanya. Belum lagi sembuh, eh Puan Maharani ikut-ikutan mengulang (mengingatkan?) kembali statusnya sebagai petugas partai.

Semua kemungkinan prahara itu sebetulnya bisa ditepis sejak awal. Yaitu, kalau saja Jokowi waktu itu mantap menghendaki PT 0%, atau katakanlah maksimal 5% saja. Jika ini yang dulu jadi pilihannya, Jokowi tidak akan masuk jebakan PT oleh partai mana pun. Dia bisa lebih merdeka dan leluasa melenggang ke arena 2019. Namun entah karena pertimbangan apa atau bisikan siapa, faktanya dia justru mendukung syarat PT 20% kursi atau 25% suara. Apa boleh buat, nasi sudah jadi bubur beracun!

Tulisan ini memang cuma kutak-katik angka dan kemungkinan yang bisa saja terjadi menjelang Pilpres. Bisa benar, bisa juga keliru. Tapi, hingga kini tidak kunjung ada sinyal Jokowi bakal mencopot Enggar yang sangat merugikan citra dan elektabilitasnya, bisa jadi bola liar. Minimal, benak publik akan terus menerka-nerka gerangan apa sesungguhnya yang terjadi.

Demokrasi kita memang telah berubah wujud jadi demokrasi kriminal. Dan, itu perlu duit amat sangat besar. Sampai di sini jadi nyambung? [syahid/voa-islam.com]

*) Direktur Program Center for Economic and Democracy Studies (CEDeS)

Sumber :Voa-islam.com 

Minggu, 01 April 2018

Keputusan Matang Prabowo di Pilpres 2019

Keputusan Matang Prabowo di Pilpres 2019


10Berita, Teka-teki apakah Ketua Umum Partai Gerindra akan maju menjadi capres mulai terjawab. Seperti kata Wakil Ketua Dewan Pembina Gerindra Hashim Djojohadikusumo, maju tidaknya Prabowo dalam pencapresan baru akan diputuskan setelah Pilkada.

Penjelasan yang hampir sama juga disampaikan mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo yang sempat bertemu dengan Prabowo. Menurutnya sebagai prajurit tidak ada kata ragu, bagi Prabowo. Jadi tidak benar, maju mundurnya deklarasi pencapresan, karena Prabowo ragu, apalagi bimbang. “Sampai sekarang Pak Prabowo memang belum memutuskan untuk nyapres.”

Soal deklarasi pencapresan Prabowo dalam beberapa pekan terakhir menjadi isu paling hot. 34 DPD Gerindra se-Indonesia telah mendesak Prabowo untuk melakukan deklarasi. Wakil Ketua Umum Gerindra Fadli Zon bahkan menyatakan awal April akan deklarasi.

Sejumlah nama juga telah disebut-sebut akan dipasangkan sebagai cawapres mendampingi Prabowo. Mereka antara lain Gatot Nurmantyo, Anies Baswedan, Anis Matta dan Ahmad Heryawan.

Namun isu itu menjadi mentah kembali dengan penjelasan Hashim. Apalagi Prabowo dalam kampanye pasangan Sudradjat-Ahmad Syaicu (Asyik) di Bandung beberapa hari lalu menyatakan “Menangkan dulu pasangan Asyik, baru (setelah itu) bicara Pilpres.”

Perbedaan pernyataan antara Prabowo dengan para pendukungnya bukan berarti ada perpecahan. Ini hanya masalah sudut pandang dan perbedaan fokus serta prioritas.

Bagi para pengurus Gerindra, apalagi yang menjadi caleg, keputusan Prabowo untuk maju kembali akan berdampak positif bagi elektabilitas partai. Mereka akan mudah mengkomunikasikannya kepada para konstituen. Dari sejumlah survei jelas terlihat korelasinya. Salah satu alasan utama memilih Gerindra karena mereka menginginkan Prabowo menjadi presiden. Prabowo adalah political endorser dan vote getter terbaik Gerindra.

Sebaliknya bagi Prabowo persoalannya tidak sesederhana itu. Kalkulasinya harus benar-benar matang. Dia tidak boleh salah mengambil keputusan. Bila salah, bisa sangat fatal.

Bila dia memutuskan maju, Pilpres 2019 akan menjadi kali ketiga bagi Prabowo. Pada dua pilpres sebelumnya (2009, 2014) dia kalah. Pada 2014 dia kalah melawan Jokowi.

Tentu Prabowo tidak menginginkan kekalahan untuk ketiga kalinya. Itu akan menjadi kekalahan yang sangat menyakitkan dan kenangan buruk di sisa usianya. Dia akan dikenang sebagai tokoh politik yang mencatatkan rekor kekalahan terbanyak. Padahal dilihat dari perjalanan karir politiknya, banyak catatan-catatan lain yang tak kalah cemerlangnya.

Tidak banyak jenderal yang berhasil membangun partai politik seperti Prabowo berhasil membesarkan Gerindra. Untuk bidang ini namanya bisa disejajarkan dengan SBY yang berhasil membangun Demokrat. Prabowo berpotensi mengungguli SBY karena dalam Pileg 2019 Gerindra diprediksi akan menjadi salah satu pemenang pemilu. Suara Gerindra di berbagai survei berkejaran dengan PDIP.

Dari sisi kemampuan melahirkan tokoh (king maker), indra penciuman politik dan tangan dingin Prabowo sudah terbukti setidaknya dua kali. Dan itu terbukti di dua palagan besar Pilkada DKI.

Pada Pilkada DKI 2012 Prabowo berhasil meyakinkan Ketua Umum PDIP Megawati untuk mengusung pasangan Jokowi-Ahok. Padahal keduanya merupakan tokoh yang relatif tidak dikenal dan harus berhadapan dengan incumbent Fauzi Bowo yang elektabilitas sangat kuat.

Pada Pilkada 2017 Prabowo kembali menunjukkan “kesaktiannya.” Gerindra bersama PKS mengusung Anies Baswedan-Sandiaga Uno menantang Ahok-Djarot. Padahal media dan lembaga survei sudah membuat framing Ahok tak mungkin dikalahkan.

Sejarah mencatat Jokowi-Ahok, dan Anies-Sandi menjadi pemenang. Andil
Prabowo sangat besar dan menentukan dalam proses lahirnya para figur yang kemudian ikut mewarnai peta politik nasional itu. Jokowi menjadi presiden, Ahok menjadi gubernur yang fenomenal sekaligus kontroversial, sementara Anies sudah mulai moncer dan digadang-gadang bisa menjadi penantang Jokowi.

Tiga syarat Hasim

Dengan background Prabowo yang diwarnai kalah dan menang, mana yang akan dipilih. Tetap maju sebagai capres dengan berbagai konsekuensinya, atau memilih peran sebagai King Maker?

Mari kita kalkulasi tiga syarat dari dari Hasim.

Pertama, memenangkan pilkada. Ada 17 pilkada yang diikuti Gerindra. Tiga diantaranya medan pertempuran penting yakni Jabar, Jateng, dan Jatim. Jumlah suara di tiga wilayah ini sangat besar dan bisa menjadi indikator peta pertarungan Pilpres 2019.

Dari tiga wilayah penting tersebut Gerindra menjadi pengusung utama di Jabar dan Jateng. Di Jabar Gerindra mengusung pasangan Sudrajat-Syaichu. Dari beberapa survei elekbilitasnya masih sangat rendah dan berada di urutan ketiga di bawah Ridwan-UU dan Deddy-Dedi.

Di Jateng Gerindra mengusung pasangan Sudirman Said- Ida Fauziah. Elektabilitasnya juga masih kalah dibanding pasangan Ganjar Pranowo-Taj Yasin.

Untuk memenangkan dua wilayah penting ini Prabowo harus kerja keras, all out dan at all costs. Belum lagi 14 wilayah lainnya termasuk Sulsel dan Sumut.

Kedua, kesehatan Prabowo. Isu sensitif ini sungguh menarik mengapa sampai harus dimunculkan oleh Hasim. Prabowo lahir 17 Oktober 1951. Tahun ini usianya akan menginjak 67 tahun. Faktor usia dan kesehatan ini sangat erat hubungannya dengan beban berat sebagai presiden dan perubahan peta politik global.

Melihat trend para pemimpin dunia yang baru terpilih –dengan mengecualikan Trump– semuanya berusia muda.

Usianya rata-rata antara 40-50 tahun, bahkan beberapa diantaranya di bawah 40 tahun. PM Kanada Justine Trudeau ketika terpilih berusia 44 tahun. Presiden Prancis Emmanuel Macron (39), PM New Zealand Jacinda Arden (37) dan Kanselir Austria Sebastian Kurz malah masih berusia 31 tahun.

Ketiga, faktor logistik. Dengan mengangkat isu logistik Hasim bersikap realistis. Dia punya pengalaman mengelola pendanaan pada Pilpres 2014 ketika Prabowo berpasangan dengan Hatta. Jadi dia sangat tahu berapa dana yang dibutuhkan, dari mana dana berasal, bagaimana memperolehnya, dan bagaimana penggunaannya.

Faktor logistik ini sangat erat hubungannya dengan elektabilitas kandidat. Melihat elektabilitas Prabowo yang masih rendah dan kalah jauh dari Jokowi hampir dipastikan akan sulit melakukan penghimpunan dana.

Para “investor” politik yang terdiri dari para pengusaha besar, para taipan, tidak akan menaruh dananya pada kandidat yang tidak berpeluang menang.Jargon yang berlaku “money always follow the prospect.”

Secara bisnis dan politik mendukung kandidat yang bakal kalah, sangat tidak menguntungkan. Modal tidak akan kembali, return on investment rendah. Secara politik konskuensinya lebih berat lagi. Menjadi musuh penguasa. Sebuah situasi yang tidak favourable dan pasti sangat dihindari para pengusaha.

Dengan menyatakan tiga syarat di atas, dan beratnya peluang untuk terpenuhi, maka sebenarnya Hashim sudah menyampaikan sebuah isyarat yang sangat kuat. Namun seperti kata Hasim, dalam politik itu anything is possible. Tidak ada yang tidak mungkin.

31/3/18

(Hersubeno Arief)

Sumber :Portal Islam 

Kamis, 29 Maret 2018

PSI, Anak-anak Muda Berjiwa Tua

PSI, Anak-anak Muda Berjiwa Tua

Oleh : Bosman Batubara (Pengamat dan Aktivis Reforma Agraria)

10Berita, Saya melihat bahwa Partai Solidaritas Indonesia (PSI), adalah partai para anak-anak muda berpaham (berjiwa) tua. Saya sebut demikian karena dua alasan. Pertama, tidak ada kementerian kooperasi dalam disain kabinet yang mereka keluarkan. Kedua, mereka menggabungkan kementerian infrastruktur dan agraria.

Saat ini di Indonesia, banyak sekali orang mendiskusikan dan membentuk kooperasi. Di segala sektor, misalnya, kedai kopi, media, perusahaan air perkotaan, toko, perkebunan, lembaga riset, lembaga keuangan, kepemilikan tanah, sistem manajemen penyediaan perumahan perkotaan, dan sebagainya. Ada yang sudah berhasil dan memiliki aset triliunan rupiah. Ada yang masih merangkak. Ada yang masih wacana. Namun, poinnya adalah: kooperasi sekarang, diakui atau tidak, menjadi salah satu bentuk badan ekonomi zaman now Indonesia. Dan yang tak kalah menggembirakan adalah, banyak dari kelompok-kelompok ini adalah anak-anak muda berusia 20 dan 30-an.

Dugaan saya, salah satu penyebab munculnya kooperasi menjadi satu diskursus dan praksis yang sangat berkembang di Indonesia belakangan ini adalah ketimpangan yang sudah sangat tinggi. Saya tidak perlu membahas ketimpangan itu di status ini. Masalah itu sudah didiskusikan di banyak tempat, oleh berbagai kalangan.

Namun, pendapat saya, corak produksi kapitalisme dalam dirinya mengandung masalah yang menyebabkan ketimpangan. Ini terjadi lewat hukum konsentrasi, sentralisasi, dan akumulasi dalam kapitalisme.

Konsentrasi terjadi dalam bentuk konsentrasi spasial, dimana kapital secara spasial mengumpul di kota macam Jakarta, Yogyakarta, Bandung, dan sebagainya dan meninggalkan kawasan lain, misalnya di luar Jawa, dalam kondisi yang tidak seperti kota-kota itu.

Sentralisasi adalah bentuk pemusatan nilai-guna di tangan para kapitalis. Di satu sisi, angka statistik memperlihat kecenderungan meningkat petani tuna kisma (tanpa tanah) dari total rumah tangga petani (21% pada 1983, 30% pada 1993, dan 36% pada 2003) dan penggusuran-penggusuran kaum miskin kota yang marak. Di sisi lain, kelompok seperti Ciputra justru hidup bergelimang tanah. Di Jabodetabek, pada 2016, Ciputra menguasai 1.022,7 hektar tanah, yang terdiri dari apa yang mereka sebut sebagai “saleable/developed land” seluas 234,3 ha dan “raw/undeveloped land” seluas 788,4 hektar.

Konsentrasi dan sentralisasi pada dasarnya menubuh dalam—memasilitasi dan difasilitasi oleh—akumulasi. Karena adanya konsentrasi spasial, maka harga tanah di Jabodetabek semakin tinggi dalam fungsi waktu, dan ini membuat kapitalis properti macam Ciputra melakukan akumulasi kapital yang lebih cepat. Karena dia bermain di “bank tanah”, yaitu membeli tanah dan menunggu hingga harganya makin tinggi. Sebaliknya, akumulasi kapital di Jakarta, semakin mempercepat terjadinya konsentrasi spasial. Hal ini mudah dipahami. Untuk menekan ongkos produksi, maka diciptakanlah kawasan Jabodetabek dimana pabrik dan hunian-hunian (tempat produksi dan tempat re-produksi) diset berlapis-lapis. Sentralisasi juga memasilitasi dan difasilitasi oleh akumulasi kapital. Hubungan pertama terjadi ketika orang macam Ciputra berhasil melakukan sentralisasi dari aset tanah yang memiliki nilai-guna. Selanjutnya, akumulasi ini semakin memasilitasi sentralisasi kapital, karena penguasaan banyak aset akan membuat orang seperti Ciputra semakin mudah melakukan sentralisasi kapital pada putaran berikutnya. Ini adalah spiral tiada akhir dari akumulasi kapital. Dan ini adalah spiral tiada akhir dari produksi ketimpangan itu sendiri.

Kooperasi adalah bentuk usaha yang secara teoretis potensial menjadi tandingan bagi corak produksi kapitalisme. Ini secara teoretis bisa dipahami karena dalam kooperasi ada prinsip satu orang satu suara dan pembagian sisa hasil usaha. Prinsip satu orang satu suara adalah manifestasi dari demokrasi politik. Sementara pembagian sisa hasil usaha adalah manifestasi dari demokrasi ekonomi. Jadi, alih-alih akumulasi seperti yang terjadi dalam corak produksi kapitalisme, kooperasi menawarkan distribusi kapital.

Dan, tidak ada kementerian kooperasi dalam disain PSI. Artinya, kemungkinan besar PSI tidak memiliki kritik dan alternatif pengelolaan ekonomi untuk memberantas ketimpangan yang dihasilkan melalui corak produksi kapitalisme.

Poin kedua adalah, PSI menggabungkan kementerian infrastruktur dan agraria dalam satu kementerian yang mereka sebut Kementerian “Infrastruktur, Agraria, Tata Ruang dan Kepala BPN”. Ini adalah ironi yang sangat mendasar bagi para kumpulan anak muda ini, karena dua hal. Pertama, proyek-proyek pembangunan infrastruktur adalah salah satu pemicu konsisten konflik-konflik agraria beberapa tahun terakhir. Kedua, banyak kalangan yang berjuang bersama rakyat yang menjadi korban-korban proyek pembangunan infrastruktur itu, justru, adalah para anak muda (yang seharusnya menjadi sasaran kampanye PSI, mengingat PSI mendaku sebagai partai anak muda).

Belakangan ini, setiap tahun pembangunan infrastruktur adalah salah satu akar dari konflik agraria yang terjadi di masyarakat karena tanah-tanah rakyat diambil untuk kepentingan pembangunan infrastruktur. Angka konflik agraria karena pembangunan infrastruktur dari total konflik agraria yang terjadi, terus tinggi; yaitu 45,55% (215 konflik) pada tahun 2014, 28% (70 konflik) pada tahun 2015, dan 22,22% (100 konflik) pada 2016. Persentasi konflik agraria karena proyek-proyek infrastruktur ini terekam dalam laporan-laporan tahunan Konsorsium Pembaruan Agraria. Model yang menerus dalam konflik-konflik agraria itu adalah kondisi yang tidak imbang dimana negara memiliki kekuatan raksasa (uang, tentara, polisi, birokrasi, teknologi, para pakar berbagai disiplin) bertarung dengan rakyat yang tidak memiliki kekuatan secanggih itu. Kekuatan rakyat hanyalah rakyat itu sendiri, yang pada saat ini belum menemukan momen mobilisasi dan artikulasi politik yang baik.

Penggabungan permasalahan pembangunan infrastruktur dan agraria dalam satu kementerian seperti yang diusulkan PSI, dapat diprediksi, akan menjadi ekstensi dari pertarungan dengan pola yang sudah ada, dimana kekuatan raksasa (uang, tentara, polisi, birokrasi, teknologi, para pakar) dari sektor para pembangun infrastruktur akan duduk satu kementerian dengan agenda rakyat yang selama ini dibayangkan tertampung dalam kementerian agraria. Saya memprediksi bahwa disain semacam ini akan semakin mengunci gerakan-gerakan rakyat yang saat ini sudah kalah banyak hal dari pemerintah itulah. Dengan disain ini, secara metaforis saya bisa menyebutkan bahwa PSI sedang menyiapkan satu kondisi, semacam membuat tempat yang lebih tinggi darimana kelak rakyat akan jatuh.

Di sisi lain, harapan masih ada. Kalau kita mendalami kasus-kasus penggusuran rakyat karena pembangunan infrastruktur, misalnya pembangunan bandara di Yogyakarta, maka akan dengan sangat cepat kita menemukan anak-anak muda yang berjuang, bahu-membahu bersama rakyat. Mereka inilah yang lebih layak menjadi idola bagi kita sekarang. Daripada anak-anak muda PSI (yang sebenarnya juga sudah tidak terlalu muda-muda) itu, yang meskipun mengklaim muda, tapi ternyata memiliki jiwa yang tua, yang kali ini mereka tunjukkan dari dua poin yang dianalisis dalam tulisan ini dimana disain kementerian lengkap dengan nama-nama menteri seperti yang diajukan PSI, berseberangan dengan hal-hal yang justru menjadi perhatian banyak anak muda sekarang.

Sumber :Sangpencerah 

Galaunya Prabowo, dan Dilema PKS

Galaunya Prabowo, dan Dilema PKS


Oleh: Hersubeno Arief
(Wartawan senior, Konsultan media)

10Berita, Pencapresan Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto kian serius. Gerindra bahkan sudah mulai menggodok siapa yang akan dipasang menjadi cawapresnya. Dari perkembangan terakhir, tampaknya yang sedang serius dipersiapkan menjadi mempelai Prabowo adalah Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.

Gubernur yang diusung oleh Gerindra, PKS, dan PAN itu juga sudah hadir dalam pertemuan internal Gerindra yang berlangsung di rumah Prabowo Jalan Kertanegara, Jakarta pekan lalu. Namun kepada media Anies menyatakan pertemuan tersebut tidak membahas soal pencapresan. Hanya syukuran atas pengangkatan Sekjen Gerindra Ahmad Muzani sebagai Wakil Ketua MPR.

Pilihan Anies sebagai cawapres Prabowo memang paling masuk akal bagi Prabowo. Anies merupakan salah satu kandidat yang tengah moncer. Dalam beberapa survei bersama mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo, Anies bahkan dinilai berpeluang sebagai capres alternatif yang bisa mengalahkan Jokowi.

Anies paling potensial untuk dikapitalisasi. Sebagai Gubernur DKI kemunculan di media (media appearance) paling tinggi diantara para calon penantang Jokowi. Modal ini sangat penting untuk terus mendongkrak popularitasnya.

Dilihat dari monitoring di media dan percakapan di medsos, nama Anies paling banyak dibicarakan. Frekuensinya hanya sedikit di bawah Jokowi. Tak salah bila Rocky Gerung menyebutnya sebagai matahari baru dari Jalan Merdeka Selatan (Gedung Balaikota DKI) yang sinarnya mulai mengalahkan matahari dari Jalan Merdeka Utara (Istana negara).

Modal semacam itu sangat dibutuhkan Prabowo yang dalam berbagai survei, elektabilitasnya tidak pernah bisa bersaing dengan Jokowi. Dia perlu semacam boosteryang bisa mendongkrak elektabilitasnya, bila benar-benar serius mau mengalahkan Jokowi. Namun bila kemudian dipasangkan sebagai cawapres Prabowo apakah trend elektabilitas Anies linier, atau malah sebaliknya? Ini yang masih jadi pertanyaan.

Sebelum nama Anies muncul, yang diincar Gerindra adalah Gatot Nurmantyo. Seperti diakui sejumlah fungsionaris Gerindra, Gatot telah bertemu dengan Prabowo dan ditawari menjadi cawapres. Namun yang bersangkutan menolak, dan hanya mau bila menjadi capres. Padahal sebelumnya Gatot sudah mengambil ancang-ancang untuk bergabung menjadi kader Gerindra begitu resmi pensiun 31 Maret 2018.

Faktor PKS

Siapa yang akan digandeng Prabowo, dan apakah dia akhirnya benar-benar maju menjadi capres? Di luar poros Jokowi, di atas kertas poros Prabowo/Gerindra paling berpeluang mengusung kandidat. Prabowo telah bertemu dan membangun kesepakatan dengan Ketua Majelis Syuro PKS Salim Segaf Aljufrie. Gabungan kursi keduanya sebanyak 113 sudah mencukupi syarat presidential threshold 20% kursi di DPR (112).

Keduanya juga sudah menandatangani kontrak untuk berkoalisi, namun siapa yang akan diusung, belum ada kesepakatan. Ketika bertemu Salim, Prabowo menyatakan sudah mempunyai cawapres. Prabowo tidak menyebut siapa cawapres tersebut. Diduga nama yang dipersiapkan adalah Gatot.

Tawaran ini tidak disepakati PKS. Sebab bagaimanapun PKS sudah mempunyai calon sendiri. Mereka telah menyiapkan sembilan nama sebagai capres. Secara kalkulasi masuk akal bila salah satunya dilamar sebagai cawapres.

Sebagai sekutu, PKS sudah bersama Gerindra sejak Pilpres 2014. Saat itu PKS yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP) menjadi tulang punggung (back bone) pasangan Prabowo-Hatta (Gerindra-PAN). Dalam Pilkada DKI 2017 PKS juga bersedia menarik kadernya Mardani Ali Sera yang sebelumnya dipasang sebagai cawagub Sandiaga Uno demi memberi jalan masuknya Anies Baswedan. Di Jawa Barat PKS sampai harus rela menceraikan Deddy Mizwar demi tétap bersekutu dengan Gerindra.

Rasanya agak sulit membayangkan PKS bersedia kembali mengalah, dan menyerahkan tiketnya secara cuma-cuma kepada figur di luar kader. Di internal PKS saat ini berkembang keyakinan sangat kuat bahwa Jokowi bisa dikalahkan, dan inilah saat yang paling tepat bagi kader PKS untuk tampil. Mosok PKS terus mengalah untuk Prabowo.

Keyakinan itu setidaknya terlihat dari kampanye yang digalang oleh Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera #JokowiBisaDikalahkan, dan sekarang bahkan lebih fokus dan massif dengan jargon #GantiPresiden2019.

Keyakinan Mardani bukan slogan kosong. Semua lembaga survei menunjukkan elektabilitas Jokowi sudah lampu kuning. Rata-rata hanya di bawah 40%. Jadi Mardani benar Jokowi bisa dikalahkan dengan syarat lawannya adalah figur alternatif, bukan Prabowo.

Siapa calon PKS yang paling kuat? Mardani menyebut tiga nama, yakni Gubernur Jabar Ahmad Heryawan (Aher), Presiden PKS Sohibul Iman, dan mantan Presiden PKS Anies Matta. Namun bila dilihat realitas politik dan kekuatan di lapangan, nama yang paling kuat adalah Anis Matta, dan Aher. Penyebutan Sohibul oleh Mardani tampaknya hanya semacam fatsoen politik karena secara resmi bagaimanapun dia adalah pimpinan PKS.

Anis Matta kualitas kepemimpinan, dan jaringan politiknya tidak perlu diragukan. Dia juga didukung oleh kader dan relawan yang sangat militan di dalam dan luar negeri. Dari sembilan capres PKS Anis Matta dan para pendukungnya menunjukkan bahwa mereka yang paling siap tempur menghadapi kompetisi sekelas pilpres. Tidak Hanya butuh sekedar nyali, tapi juga amunisi dan pasukan yang solid dan tangguh.

Relawan Anis Matta tersebar di seluruh Indonesia, bahkan sampai diluar negeri. Di beberapa daerah bahkan sudah terbentuk relawan sampai level dusun. Baliho dan berbagai alat peraganya sangat massif di seluruh Indonesia. Dalam beberapa hari terakhir viral di medsos relawan Anis Matta tampak berfoto di sejumlah kota di Eropa seperti di Berlin, Praha, Paris, sampai Madrid.

Aher juga tak perlu diragukan. Gubernur Jabar dua periode yang sangat sukses, dan dinobatkan sebagai salah satu gubernur terbaik oleh Kemendagri. Mendagri Tjahjo Kumolo menyebutnya sebagai gubernur yang memenuhi 90% janjinya. Nyaris sempurna.

Jabar memiliki kantong pemilih terbesar. Pada pilkada serentak ini jumlah pemilihnya sebanyak 32.8 juta, atau sekitar 20.5% dari total pemilih seluruh Indonesia sebanyak 160 jt. Etnis Sunda (15%) merupakan etnis terbesar kedua, setelah Jawa. Sayangnya sejauh ini Aher belum menunjukkan gerakan yang berarti. Dia belum menunjukkan tajinya.

Gabungan antara kepemilikan hampir separuh tiket dan ketokohan kader yang cukup kuat, nampaknya tidak akan membuat PKS begitu saja menyerah dan tunduk kepada kemauan Prabowo. Pimpinan PKS pasti tidak ingin disalahkan, bahkan dihujat oleh kader PKS karena kembali menunjukkan kelemahan dalam bernegosiasi. Belum lagi realitas kedekatan dengan umat yang tentu saja lebih dimiliki oleh PKS ketimbang Gerindra. Bagi kebanyakan kader PKS, inilah waktunya. Now or never.

Dalam konteks inilah mengapa kemudian Prabowo tidak serta merta menerima desakan kader Gerindra untuk segera mendeklarasikan diri sebagai capres. Seperti kata Sekjen Gerindra Ahmad Muzani, Prabowo masih harus mendengar dan menimbang pendapat dari partner koalisi, dalam hal ini PKS.

Bagaimanapun PKS menjadi faktor yang sangat menentukan, apakah Prabowo bisa maju atau tidak. Dia tidak bisa mengabaikan begitu saja aspirasi kader dan pengurus PKS yang menginginkan faktor keterwakilan kadernya. PKS selama ini selalu taken for granted, pasrah bongkokan terhadap Prabowo.

Bila Prabowo bersikeras, bahkan sampai harus berpisah jalan dengan PKS, belum tentu dia bisa mudah mendapatkan partner koalisi lain. Elektabilitas Prabowo yang selalu kalah jauh dari Jokowi, membuat posisi tawarnya rendah dan tidak menarik bagi partai lainnya.

Persoalan lain yang tak kalah seriusnya bila elektabilitas terus stagnan, maka para penyandang dana juga tidak akan bersedia mendukung Prabowo. Money always follow the prospect.

Pilihan-pilihan itu sungguh tak mudah bagi Prabowo. Dia tidak boleh kembali salah dalam mengambil keputusan. Dua kali kekalahan dalam pilpres sebelumnya harusnya menjadi pelajaran yang sangat berharga bahwa dia pernah gagal dalam tugas memenangkan sebuah pertempuran.

Bagi prajurit komando seperti Prabowo ada sebuah prinsip yang dijunjung sangat tinggi "Lebih baik pulang nama, daripada gagal dalam menjalankan tugas".

28/3/18

Sumber: https://www.hersubenoarief.com/artikel/galaunya-prabowo-dan-dilema-pks/

Sabtu, 24 Maret 2018

Skandal E-KTP: Akhirnya, Kesetyaan Novanto Luntur

Skandal E-KTP: Akhirnya, Kesetyaan Novanto Luntur


10Berita, Pramono Anung ada di skandal e-KTP? No way! Tidak mungkin. Apalagi Mbak Puan Maharani. Jauh panggang dari api. Tak masuk akal kedua warga terhormat di PDIP ini bisa sampai terseret skandal korupsi yang “dibintangi” oleh Setya Novanto itu (SetNov).

Tapi, inilah lirik yang dinyanyikan oleh mantan ketua DPR-RI itu dalam sidang korupsi e-KTP di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Kamis (22/3/2018). Kemunculan nama Pramono dan Puan di dalam rangkaian keterangan Novanto, bagaikan amuk petir tanpa awan mendung. Seperti tsunami yang menghempas Pulau PDIP. Segenap warga Banteng merasakan dampaknya.

“Tidak mungkin! Ini semua karangan Novanto,” kata seorang politisi senior PDIP yang selama ini dikenal berintegritas.

Sekjen partai, Hasto Kristyanto, mengeluarkan pernyataan resmi. Nadanya juga “denial” (membantah). “Urusan e-KTP berlangsung semasa pemerintahan SBY. Kami berada di pihak oposisi,” kata Pak Sekjen. Menurut Hasto, PDIP tidak punya menteri di kabinet SBY, sehingga tidak ikut mendesain.

Tetapi, mengapa nama kedua tokoh penting PDIP itu diseret oleh SetNov? Pengakuan matan ketua umum Golkar itu memang mencengangkan banyak orang. Banyak yang gelisah.

Tapi, begitulah syair lagu “Aku Tak Mau Sendiri” yang digubah dan dibawakan oleh penyanyi kondang Golkar, Setya Novanto. Album single ini akan menjadi “top hit”. Dia diiringi oleh vokalis koruptipus yang terkenal di dunia “tarik uang” (mirip tarik suara), Andi Narogong. Tetapi, untuk lirik yang menyebutkan nama Pramono dan Puan, adalah vokalis “suara belakang” yang membantu SetNov. Namanya, Made Oka Masagung.

Pak Made inilah yang menuliskan bait-bait syair tentang kehadiran Pramono dan Puan di skandal korupsi e-KTP. Manajer orkes jazz e-KTP, yaitu SetNov sendiri, kemudian mencantumkan lirik ini ke dalam pengakuan yang membuat beliau sekarang ini menjadi “orang yang sangat tercela” di mata warga PDIP.

Ya, SetNov sangat tercela. Begitu berani dan teganya dia membawa-bawa nama besar yang sangat disegani di Kandang Banteng. Hasto mengatakan, ada yang mau menyudutkan PDIP. Menurut beliau lagi, SetNov melakukan ini karena ingin mendapatkan diskon hukuman melalui skema “justice collaborator”. Alias, skema “bongkar semua”.

Yang benar adalah bahwa Novanto tidak lagi “Setya” kepada teman. Ke-Setya-an Novanto kini telah luntur. Beliau ini, kalau dilihat semasa menjabat sebagai ketua Golkar dan ketua DPR, sangat mesra dengan Bu Megawati Soekarnoputri. SetNov-lah yang “menyerahkan” Golkar kepada Bu Mega lewat dukungan Beringin kepada Presiden Jokowi. SetNov-lah yang menjadikan Golkar sebagai partai pertama yang mencapreskan Pak Jokowi untuk pilpres 2019.

Luar biasa pengabdian SetNov untuk Bu Mega, PDIP, dan Pak Jokowi. Terasa tidak masuk akal mengapa sekarang dia berubah 180 derajat.

Wallahu a’lam, apakah ketegaan SetNov ini ada kaitannya dengan kecelakaan tabrak tiang listrik tempohari. Semoga saja kecelakaan itu tidak sampai mengubah “neuro-setting” (kurang enak mau bilang “setting otak”) Setya Novanto. Waktu itu, pengacara beliau, Frederich Yunadi, mengatakan Papa cedera parah sampai ada benjolah “bakpau” di keningnya. Artinya, kepala Papa membentur benda keras sampai tak siuman (tak siuman atau tak ciuman?).

Saya menjadi khawatir, tak lama lagi akan ada orang yang mengeluarkan komentar bahwa SetNov menyeret nama-nama besar karena sudah tidak **ras lagi.

Sebagai tambahan, di depan serangkaian sidang Tipikor, SetNov telah menyebutkan 10 nama anggota DPR yang menerima aliran dana proyek e-KTP. Nama-nama tersebut termasuk Olly Dondokambey, Tamsil Linrung, Mirwan Amir, Melchias Markus Mekeng, Arif Wibowo, Ganjar Pranowo, dan M Jafar Hafsah.

Penulis: Asyari Usman, wartawan senior

Sumber : PORTAL ISLAM