Editorial: Menakar Makar 313
10Berita – Tuduhan makar kembali dilayangkan aparat kepolisian pada sejumlah aktivis. 5 orang dijemput paksa polisi jelang aksi 313 di sejumlah tempat. Sekjen FUI Muhammad Al-Khatthatth diciduk di kamar 123 Hotel Indonesia Kempinsky. Sementara, keempat lainnya Zainudin Arsyad, Irwansyah, Veddrik Nugraha alias Dikho Nugraha, dan Marad Fachri Said alias Andre dari Forum Syuhada Indonesia (FSI) diciduk dari sejumlah tempat berbeda.
Media pemerintah, Antara, menyebut kasus penangkapan kali ini sebagai ‘Makar Jilid II’. Dalam waktu yang belum terlalu lama, sebelum ayam berkokok pada hari Jumat, 2 Desember 2016 atau jelang Aksi 212, 11 orang juga ditangkap pihak kepolisian. Para aktivis itu adalah Kivlan Zein, Adityawarman, Ratna Sarumpaet, Firza Husein, Eko, Alvin, Rachmawati, Sri Bintang Pamungkas yang diduga terlibat percobaan makar.
Masyarakat menangkap gelagat buruk dalam penangkapan sejumlah aktivis dengan tuduhan makar. Pasalnya, sejak awal aktivis tersebut juga beserta sebagian ulama hanya punya tiga tuntutan utama. Pertama, penegakan hukum yang adil dan sama rata atas kasus penistaan agama oleh Basuki alias Ahok. Kedua, mengkritisi kebijakan-kebijakan politik rezim Jokowi. Ketiga, menuntut aparat keamanan khususnya kepolisian agar tidak bertindak represif dan mengkriminalisasi ulama.
Namun apa lacur, semua tuntutan itu justru dijadikan delik makar untuk membungkam suara kritis masyarakat. Jika merujuk pada istilah permufakatan jahat dan pasal makar yang menjerat mereka, sejatinya telah melewati berbagai periode zaman yang panjang. Istilah makar berasal dari bahasa Belanda yaitu “aanslag”. Dalam bahasa Belanda, aanslagdiartikan sebagai serangan yang bersifat berat (violent attack/fierce attack/onslought).
Pakar hukum pun telah lama berdebat soal definisi dan istilah makar dalam Kitab Umum Hukum Pidana (KUHP). Pasal makar sendiri terdapat dalam Buku III Bab I, terkait Kejahatan Terhadap Keamanan Negara. Ada beragam rentetannya, mulai dari Pasal 104 KUHP tentang makar terhadap keselamatan presiden dan wakilnya, Pasal 106 KUHP tentang makar kepada wilayah negara, dan Pasal 107 KUHP tentang makar kepada pemerintahan. Sisanya, tiga pasal lain terkait makar yang berhubungan dengan negara sahabat.
AB Loebis dalam bukunya berjudul Apa Itu Kejahatan-Kejahatan Politik menegaskan bahwa tuduhan makar(conspiracy) adalah sulit untuk dibuktikan. Sebab hal tersebut lumrah ditafsirkan oleh masyarakat atau orang awam sebagai alasan yang dicari-cari. Dia juga menganggap bahwa pasal makar sering digunakan penguasa untuk menghukum lawan politiknya. Dengan tegas dia menyatakan, tuduhan makar adalah tuduhan yang samar-samar.
Hal serupa dikatakan oleh Direktur LBH Jakarta Alghiffari Aqsa. Dia menilai, pasal makar merupakan ketentuan dengan kriteria yang tidak terukur dan multitafsir. Sifat subyektifnya untuk menafsirkan secara karet, berpotensi memunculkan kesewenang-wenangan yang dilakukan pemerintah. Maka secara substantif bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi dan negara hukum. Sebab pasal karet tidak menjamin keadilan dan kepastian hukum.
Nihilnya kepastian hukum ini terlihat jelas dalam kasus penangkapan sejumlah aktivis jelang Aksi 212, seperti yang menimpa Sri Bintang Pamungkas. Ditangkap dan ditahan sejak Aksi 212, Sri Bintang mendekam di penjara tanpa dokumen administrasi sebagaimana diatur dalam Pasal 24-29 KUHAP. Dia dibebaskan 15 Maret 2017, namun statusnya masih tersangka.
Berdasarkan ketentuan KUHAP, penahanan di tingkat penyidikan seharusnya 20 hari, ditambah maksimal 40 hari. Di tingkat penuntutan, 20 hari, ditambah 30 hari. Tapi Bintang sudah ditahan lebih dari 100 hari selama di tingkat penyidikan. Untuk itu, Bintang menggugat Kapolri Jenderal Tito Karnavian lewat peradilan internasional di Jenewa, Swiss.
Profesionalisme polisi semakin dipertanyakan jika melihat kasus dan tuduhan yang ada saja belum dituntaskan, tapi kini polisi malah mendakwa sejumlah aktivis lagi dengan tuduhan yang samar. Akhirnya, publik pun mempertanyakan sikap pemerintah Jokowi yang seolah membela Gubernur Basuki semahal apapun harganya. Pasal makar pada masa kepemimpinan Jokowi, dijadikan sebagai salah suatu keistimewaan guna memberikan perlindungan yang sangat berlebihan terhadap kepentingan kekuasaan.
Dulu Jokowi dipilih karena dipercaya tidak akan bertindak represif kepada para pengeritik. Slogan-slogan kampanya pendukung Jokowi dulu menegaskan hal itu. Mereka bahkan memberikan gambaran kalau RI dipimpin Prabowo, negeri ini akan menjadi fasis, militeristik dan sangat represif. Fakta membuktikan, ketika sudah memimpin, pedagang meubel yang datang dari kota penuh sopan santun bisa lebih represif ketimbang jenderal militer seperti SBY.
Padahal di era Presiden ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono, banyak pihak yang menginginkan dia dijatuhkan. Namun, karena hal tersebut hanya sebatas penyampaian ekspresi tanpa unsur penyerangan dan kekerasan, maka SBY tak menghantamnya dengan pasal makar. Di media massa, mungkin saja Jokowi terlihat bak orang suci tanpa noda. Tapi, realitanya masyarakat sudah gelisah. Topeng pencitraan Jokowi satu persatu mulai tersibak.
Sumber: Kiblat