OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Senin, 10 April 2017

Jawaban atas Fitnah Dina Sulaeman Terkait Serangan Gas Kimia di Idlib

Jawaban atas Fitnah Dina Sulaeman Terkait Serangan Gas Kimia di Idlib

10Berita – Pembantaian besar-besaran yang baru-baru ini dilakukan oleh pasukan rezim Assad di Khan Sheykhun, Idlib menorehkan duka mendalam di hati kaum muslimin. Pada Selasa (4/4/2017) lalu, Khan Sheykhun menjadi target serangan 4 buah roket yang dijatuhkan dari jet Sukhoi-22 milik pasukan rezim Assad. Roket-roket tersebut berisi senyawa kimia berbahaya yang ‘sukses’ merenggut nyawa banyak orang. Baca juga: Rusia Benarkan Jet Suriah di Balik Serangan di Khan Sheikhoun, Idlib

The Union of Medical Care Organizations, sebuah koalisi internasional badan penyelamat yang membiayai banyak rumah sakit di Suriah, menyatakan bahwa jumlah korban tewas sedikitnya mencapai 100 orang dan ratusan lainnya mengalami luka-luka.

“Kami dilingkupi gas. Kami tidak bisa berdiri. Saya merasa pusing dan mual. Saya merasa sulit bernafas”, ujar salah seorang korban.

Seluruh dunia digemparkan oleh serangan gas kimia yang dilakukan oleh pasukan rezim Assad. Merasa tak mau ketinggalan, aktivis Syi’ah, Dina Sulaeman, ikut angkat bicara. Tidak seperti yang lain, dengan sangat percaya diri, ia memaparkan sejumlah hal yang menurutnya “janggal”. Ada beberapa faktor yang ia persoalkan dalam serangan bom kimia Idlib, di antaranya adalah:

1. White Helmets

Dalam tulisan yang diterbitkannya, baik di Fanspage maupun di blog pribadinya, lagi-lagi Dina mengarahkan tudinganya kepada regu penyelamat White Helmets, yang berhasil memenangkan Piala Oscar pada Februari lalu dalam kategori film dokumenter terbaik, atas aksi penyelamatan yang mereka lakukan di Suriah.

Relawan white helmet.

Bermodalkan foto yang menunjukkan aksi para pahlawan berhelm putih itu saat sedang menyelamatkan korban, Dina mempertanyakan kebenaran tragedi itu. “Silahkan google, efek gas sarin seperti apa dan hanya orang gila yang mau berada di kawasan yang ada gas sarinnya tanpa pengaman sama sekali (lihat lelaki berjaket paling kanan, tanpa masker, tanpa sarung tangan),” tanya Dina.

Organisasi kesehatan dunia (WHO) menyatakan beberapa korban menunjukkan tanda-tanda yang sesuai dengan dampak paparan agen syaraf. Sebuah tim dari organisasi amal medis, MSF (Médecins Sans Frontières) atau dikenal sebagai Dokter Lintas Batas, yang ikut merawat korban serangan di Idlib mengeluarkan pernyataan bahwa gas yang digunakan dalam serangan tersebut adalah gas sarin, sejenis agen racun syaraf.

Namun selain sarin, ada senyawa kimia lain yang diduga digunakan oleh rezim Assad dalam pembantaian di Khan Sheykhun. Senyawa tersebut adalah gas klorin, sebagaimana yang disebutkan oleh Dokter Lintas Batas dalam pernyataan yang diterbitkan di website mereka.

“Delapan pasien menunjukkan gejala-gejala seperti biji mata mengerut, kejang otot dan buang air besar tanpa sadar, yang merupakan tanda-tanda terpapar racun saraf seperti gas sarin atau senyawa serupa,” menurut pernyataan Dokter Lintas Batas. Mereka juga mengunjungi beberapa rumah sakit lain tempat para korban dirawat dan melaporkan bahwa para korban berbau pemutih yang mengindikasikan mereka terpapar klorin.

Sebelum menanggapi tuduhan Dina, mari kita tinjau kembali perbedaan antara gas sarin dan klorin.

Pertama, bisakah Dina membuktikan bahwa foto ini relevan dengan waktu kejadian serangan rezim Assad? Bukankah selama ini Dina sering melakukan analisis foto dengan “kaidah cocoklogi” andalannya?


Mengenal Sarin
Sarin adalah cairan yang tidak berwarna, tidak berbau, dan tidak berasa [1], yang digunakan sebagai senjata kimia karena potensi luar biasa yang dimilikinya sebagai sebuah agen syaraf. Senyawa ini secara umum dikenal sebagai senjata penghancur massal. Produksi dan penimbunan sarin telah dilarang oleh Konvensi Senjata Kimia pada tahun 1997 [2].

Gas sarin (ilustrasi)

Sarin adalah sebuah senyawa organofosfat yang dapat mematikan pada konsentrasi yang sangat kecil. Seperti agen syaraf lainnya, sarin menyerang sistem syaraf dan menyebabkan kontraksi otot tak terkendali dan rasa sakit yang teramat parah. Hal ini menyebabkan korban tidak dapat bernafas dan akhirnya meninggal karena asfiksia [3].

Dalam bentuk murninya, sarin diperkirakan 26 kali lebih mematikan daripada sianida[4]. Gejala yang muncul setelah terpapar sarin adalah ingusan, sesak dada, dan penyempitan pupil. Segera setelahnya, korban akan mengalami kesulitan bernafas, mual, dan mengeluarkan saliva dalam jumlah tidak normal. Korban akan kehilangan kontrol terhadap fungsi tubuh, muntah, kemudian mengeluarkan feses dan urin tanpa sadar. Fase ini dikuti dengan kejang-kejang. Akhirnya, korban akan pingsan dan mati lemas seiring dengan kejang yang dialaminya [5].

Sarin disebut juga sebagai GB. Huruf G menandakan bahwa senyawa ini termasuk agen syaraf tipe G, yaitu agen syaraf yang pertama kali disintesis oleh ilmuwan dari Jerman (G=Germany). Senyawa-senyawa seri G dikenal sebagai senyawa yang non-persisten. Huruf B menunjukkan bahwa senyawa ini termasuk agen pembunuh B, yaitu akibat bronkore dan bronkospasme.

Bronkorea adalah suatu keadaan dimana sekresi cairan oleh selaput lendir terjadi secara berlebihan dan sangat berpotensi merusak paru-paru, sedangkan bronkospasme adalah keadaan saat kontraksi otot terjadi secara spontan atau penyempitan pada dinding bronkial. Penyakit-penyakit ini sangat berpotensi menyebabkan kematian[6].

Mengenal Klorin
Klorin merupakan salah satu zat kimia pabrik yang paling banyak digunakan di Amerika Serikat. Biasanya zat ini digunakan sebagai disinfektan untuk kolam maupun air minum. Zat klorin juga digunakan pada pabrik kertas dan pakaian untuk pestisida, karet, dan larutan.

Gas klorin memiliki bau yang sangat tajam seperti pemutih dan memiliki warna kuning-hijau. Karena klorin memiliki kepadatan dua setengah kali lebih besar dari udara, ia bisa jatuh ke tanah di area dengan sirkulasi udara yang kecil.

Ketika klorin digunakan sebagai senjata dalam penyerangan, zat ini sangat mematikan. Dalam Perang Dunia I, terdapat larangan penggunaan zat ini di medan perang oleh perjanjian internasional. Sifat korosif dari gas tersebut memiliki efek buruk bagi kesehatan.

Meskipun dalam level yang rendah, klorin dapat menyebabkan iritasi pada mata, kulit, dan mengganggu sirkulasi udara. Dengan menghirup gas klorin atau kontak langsung dengan mata atau kulit, akan mengakibatkan sesak pada dada, penglihatan yang kabur, pusing, pernafasan yang memendek, dan perih pada kulit. Perubahan keseimbangan pH pada darah juga akan menghancurkan organ. Dosis yang berlebih juga berpotensi pada kematian setelah beberapa jam kemudian.

Gejala akut yang berhubungan dengan gas klorin akan menghilang setelah tiga sampai lima hari, namun membutuhkan waktu berbulan-bulan agar fungsi paru-paru dapat kembali normal.

Foto relawan White Helmet mengevakuasi jenazah bocah korban serangan gas kimia.

Foto di atas digunakan Dina Sulaeman untuk memunculkan keraguan publik terhadap tragedi ini. Bukan rahasia lagi bahwa aktivis-aktivis Syi’ah semacam Dina gemar mencari-cari kesalahan. Namun, ada beberapa hal yang patut dipertanyakan dari tudingan Dina mengenai aksi White Helmets yang menurutnya janggal ini.

Pertama, bisakah Dina membuktikan bahwa foto ini relevan dengan waktu kejadian serangan rezim Assad? Bukankah selama ini Dina sering melakukan analisis foto dengan “kaidah cocokologi” andalannya?

Sumber: Kiblat.net