Kaya Bukan Ukuran Mulia, Miskin Bukan Kehinaan
Ilustrasi/Walaupun sederhana anak-anak tetap bergembira.
10Berita - JIKA kita disuruh memilih dua pilihan; kaya atau miskin, tentu kita akan memilih menjadi kaya daripada orang miskin. Hal ini sangatlah wajar dan masuk akal. Bahkan mungkin tidak ada orang yang mau dirinya jadi orang miskin.
Dengan kekayaan (uang) melimpah, kita bisa memperoleh segala yang kita butuhkan dan menikmati fasilitas yang barangkali orang lain tak mampu menikmatinya. Inilah jawaban praktis yang umumnya dilontarkan oleh mayoritas orang. Namun begitu, Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan ke-Mahatahuan akan hikmah dan pelajaran yang bisa dipetik oleh hamba-hamba-Nya, ternyata kaya dan miskin mutlak harus ada. Apa jadinya jika dunia ini hanya dipenuhi oleh orang kaya saja, atau sebaliknya. Jelas roda kehidupan tidak akan berputar dengan baik.
Kaya dan miskin adalah ketetapan dari Allah yang harus disikapi dengan bijak, menurut kacamata Islam. Ketahuilah bahwasanya kemiskinan dan kekayaan hanyalah ujian. Kaya atau miskin bukan urusan mulia atau hina. Kekayaan bisa berarti siksaan, sedangkan kemiskinan bisa jadi karunia.
Keduanya tak lebih dari ujian; mana yang mulia atau mana yang hina tergantung bagaimana masing-masing di antara kita menyikapi ujian tersebut.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Adapun manusia apabila Rabbnya mengujinya lalu dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia berkata, ‘Rabbku telah memuliakanku.’ Adapun bila Rabbnya mengujinya lalu membatasi rezekinya, maka dia berkata, ‘Rabbku menghinaku.’ Sekali-kali tidak (demikian).” (QS. Al-Fajr: 15-17)
Ayat di atas menerangkan bahwasanya Allah Ta’ala menguji hamba-Nya dengan memberikan kenikmatan dan melimpahkan rezeki atasnya. Allah juga menguji manusia dengan sempitnya rezeki. Keduanya adalah ujian dan cobaan.
Kemudian Allah menyanggah atas anggapan orang bahwa terbukanya pintu rezeki dan melimpahnya harta adalah bukti Allah memuliakannya, dan sempitnya rezeki pertanda Allah menghinanya. Allah menyanggah anggapan itu, “Sekali-kali tidak demikian!”
Yakinlah, anggapan orang-orang itu tidaklah benar. Terkadang Allah menyiksa dengan nikmat-Nya dan memberikan nikmat dengan cobaan-Nya.
Oleh karena itu, anggapan orang yang mengatakan apabila seseorang diberi kekayaan harta yang melimpah pasti hal itu pertanda Allah memberikan kebaikan kepada dirinya adalah tidak benar. Sebab, kekayaan itu sendiri merupakan bentuk ujian dari Allah. Lulus atau tidaknya seseorang akan terlihat sejauh mana ia mempergunakan hartanya di jalan Allah. Berapa banyak orang yang celaka karena diuji dengan kekayaan!
Harta tak selalu menjadi sumber kebahagiaan bagi pemiliknya. Pikiran tegang memburunya, memeras keringat ketika mendapatkannya, dan kekhawatiran akan lenyapnya harta dalam genggamannya menghantui pikiran. Ujung dari siksa itu berupa penyesalan mendalam saat perpisahan antara dirinya dengan hartanya benar-benar terjadi; mungkin lenyap oleh bencana, atau lantaran ajal yang memisahkan ia dengan hartanya. Pintu yang terakhir ini hanya tinggal menunggu waktu, tak satu pun manusia yang mampu mengelak darinya.
Kalaupun mereka mampu merasakan manisnya hasil jerih payah yang diupayakannya, toh tak akan bertahan lama. Karena muara harta dari tangan pemburu dunia dan lalai dari agamanya, tak akan jauh dari kesenangan berbau maksiat. Dan pasti, kesenangan itu akan berbuntut penderitaan di dunia, kesengsaraan di akhirat, kecuali siapa saja yang mau bertaubat.
Semua alasan di atas menjadikan kita tidak kesulitan memahami maksud firman Allah Ta’ala:
“Maka janganlah harta benda dan anak-anak mereka menarik hatimu. Sesungguhnya Allah menghendaki dengan (memberi) harta benda dan anak-anak itu untuk menyiksa mereka dalam kehidupan di dunia dan kelak akan melayang nyawa mereka, sedang mereka dalam keadaan kafir.“ (QS. At-Taubah: 55)
Ya, harta yang Allah tumpahkan atas mereka itu adalah untuk menyiksa mereka, bukan untuk memuliakan mereka.*/Sudirman STAIL (sumber buku: Hidup Susah Tak Lupa Bersedekah, penulis: Abu Ahmad Abdul Fattah)
Sumber : Hidayatullah.com