OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Kamis, 28 Desember 2017

Reuni 212, Persatuan dan Ruh Jihad Pilar Kebangkitan Islam

Reuni 212, Persatuan dan Ruh Jihad Pilar Kebangkitan Islam



10Berita, Aksi Reuni 212 digelar pada Sabtu, 2 Desember 2017 di lapangan Monumen Nasional, Jakarta Pusat menarik perhatian. Aksi ini merupakan Aksi Bela Islam jilid III dari rangkaian aksi yang digelar 2 Desember 2016 lalu yaitu mendesak proses hukum terhadap mantan Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok terkait kasus penistaan agama.

Dihadiri jutaan orang—konon tidak kurang dari 7 juta massa. Mereka berasal dari seluruh komponen umat Islam dengan berbagai latar belakang partai, organisasi, profesi, status sosial, mazhab, asal daerah, suku dan lain-lain. Mereka berkumpul dengan satu tujuan yang sama, yakni membela kemuliaan al-Quran.

Beberapa kalangan menganggap “Reuni 212” lebih didasarkan pada motif politik tertentu. Misalnya yang dinyatakan oleh Kapolri Jenderal Tito Karnavian. Jenderal Tito tegas mengatakan bahwa "Reuni 212" bermotif politik. Beliau lalu mengaitkan kegiatan tersebut dengan Pilkada 2018 dan Pilpres 2019 (Lihat: http://news.liputan6.com, 30/11).

Atau seperti pernyataan pengamat politik, Adi Prayitno"Ya tentu saja saya melihat itu sebagai gerakan politik. Itu reaksi atas kebijakan pemerintah yang tidak pro umat Islam seperti Perpu Ormas, umat Islam terluka," dalam perbincangan di tvOne, Senin, 4 Desember 2017.

Anggapan ini kita tanggapi saja dari segi positifnya. Yaitu dijadikan sebagai salah satu "pelecut" bagi para “Alumni 212” untuk menegaskan diri bahwa mereka memang bukan sekadar “kerumunan massa”. Akan tetapi, mereka adalah kumpulan umat Islam yang memiliki kesatuan visi dan misi politik Islam yang jelas dan tegas, yang didasarkan pada ideologi Islam yang bersumber dari al-Quran.

Persatuan umat Islam adalah wajib sebagai modal utama kekuatan umat dalam menegakkan agama Allah. Sebaliknya, berpecah-belah adalah haram. Hal ini ditegaskan oleh Allah SWT dalam al-Quran:

وَاعْتَصِمُوابِحَبْلِاللَّهِجَمِيعًاوَلَاتَفَرَّقُوا...

Berpegang teguhlah kalian semuanya pada tali Allah dan jangan bercerai berai... (TQS Ali Imran [3]: 103).

Selain wajib bersatu atas dasar al-Quran, di dalam QS Ali Imran ayat berikutnya Allah SWT memerintahkan umat Islam untuk mendakwahkan Islam dan melakukan amar makruf nahi mungkar:

وَلْتَكُنْمِنْكُمْأُمَّةٌيَدْعُونَإِلَىالْخَيْرِوَيَأْمُرُونَبِالْمَعْرُوفِوَيَنْهَوْنَعَنِالْمُنْكَرِوَأُولَئِكَهُمُالْمُفْلِحُونَ

Hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyerukan kebajikan (Islam) serta melakukan amar makruf nahi mungkar. Mereka itulah kaum yang beruntung (TQS Ali Imran [3]: 104).

Berdasarkan ayat di atas, umat Islam harus memiliki visi dan misi politik Islam yang jelas dan tegas. Visi dan misi politik Islam itu harus diwujudkan melalui gerakan politik yang menyerukan Islam dan menyadarkan umat dengan syariah Islam secara terus-menerus. Tujuannya agar umat terdorong untuk menerapkan syariah Islam secara kâffah untuk mengatur segenap aspek kehidupan mereka.

Gerakan politik yang dimaksud semata-mata diorientasikan untuk mewujudkan segala kemaslahatan bagi umat berdasarkan syariah Islam. Itulah gerakan politik Islam yang sejak awal dijalankan oleh Baginda Nabi Muhammad saw. sepanjang perjalanan dakwah beliau. Puncaknya, beliau berhasil meraih kekuasaan politik di Madinah—yang ditandai dengan pendirian Daulah Islam yang pertama—yang diorientasikan semata-mata demi melayani umat sesuai dengan syariah Islam.

Dengan gerakan politik, berhasil mengantarkan Rasulullah saw meraih tampuk kekuasaan. Beliau menjadi kepala negara di Madinah al-Munawwarah. meluas ke Makkah dan seluruh jazirah Arab.

Dengan dakwah dan jihad, kekuasan Islam itu kemudian terus menyebar ke seluruh kawasan Timur Tengah pada masa kepemimpinan setelah beliau (masa Khulafaur Rasyidin). Islam bahkan menembus ke jantung Afrika, Asia Tengah hingga Eropa pada masa-masa Khilafah Islam setelahnya. Tak kurang 2/3 wilayah dunia berada dalam kekuasan Khilafah Islam selama berabad-abad. Selama itu pula, bangsa-bangsa kafir tidak pernah berani melecehkan umat Islam, sebagaimana saat ini, yakni sejak keruntuhan Khilafah terakhir di Turki pada tahun 1924.

Karena itulah, saat ini berbagai gerakan politik Islam, terutama yang bertujuan membangkitkan kembali Khilafah Islam, terus ada dan makin membesar. Justru inilah yang dikhawatirkan oleh musuh-musuh Islam. Semakin membesarnya Islam sebagai gerakan politik inilah yang sangat ditakuti oleh Barat, khususnya AS, termasuk kaum sekular di negeri ini.

Berbagai upaya—mulai dari yang ‘halus’ (seperti perang pemikiran, propaganda hitam, bantuan finansial pendidikan dengan kompensasi berupa perubahan kurikulum madrasah dan pesantren agar menjadi lebih moderat) hingga yang ‘kasar’ (seperti perang melawan terorisme secara fisik maupun melawan radikalisme secara non-fisik)—terus dilakukan oleh AS dan sekutunya. Semua itu dilakukan tidak lain untuk menggembosi Islam sebagai gerakan politik.

Karena itu sangat disayangkan jika banyak tokoh Muslim yang justru malah terbawa arus propaganda Barat dan AS dengan ikut-ikutan mengecam gerakan politik Islam. Tindakan demikian, selain hanya menguntungkan musuh-musuh Islam, juga akan semakin melemahkan posisi Islam dan kaum Muslim sebagai satu-satunya kekuatan potensial di dunia yang bisa meruntuhkan dominasi Kapitalisme saat ini, yang sesungguhnya telah terbukti banyak menimbulkan kerusakan dan aneka krisis di mana-mana, termasuk di negeri ini.

sudah seharusnya umat Islam, termasuk para “Alumni 212”, memiliki visi dan misi politik Islam yang jelas dan tegas. Semangat jihad mesti terus dikuatkan hingga hukum Allah tegak di bumi Allah.Kebangkitan islam sebuah keniscayaan. Saatnya seluruh komponen umat menyiapkan diri berjuang menyongsong kemenangan.

Dengan begitu mereka bukan sekadar rajin melakukan aksi “kerumunan massa”. Yang jauh lebih penting adalah bagaimana mereka terus melakukan gerakan politik Islam. Targetnya tentu bukan sekadar agar kaum Muslim bisa meraih kekuasaan. Yang lebih penting adalah agar Islam benar-benar berkuasa hingga negeri ini sungguh-sungguh bisa diatur dengan syariah Islam secara kâffah dalam institusi Khilafah ‘alâ minhâj an-nubuwwah.

Tentu tak ada artinya kaum Muslim berhasil duduk di tampuk kekuasaan, sementara syariah Islam tetap dicampakkan, dan yang diterapkan serta tetap berkuasa adalah sistem sekular seperti sekarang ini. [syahid/voa-islam.com]

REUNI 212, PERSATUAN DAN RUH JIHAD PILAR KEBANGKITAN ISLAM

Aksi Reuni 212 digelar pada Sabtu, 2 Desember 2017 di lapangan Monumen Nasional, Jakarta Pusat menarik perhatian. Aksi ini merupakan Aksi Bela Islam jilid III dari rangkaian aksi yang digelar 2 Desember 2016 lalu yaitu mendesak proses hukum terhadap mantan Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnamaalias Ahok terkait kasus penistaan agama. Dihadiri jutaan orang—konon tidak kurang dari 7 juta massa. Mereka berasal dari seluruh komponen umat Islam dengan berbagai latar belakang partai, organisasi, profesi, status sosial, mazhab, asal daerah, suku dan lain-lain. Mereka berkumpul dengan satu tujuan yang sama, yakni membela kemuliaan al-Quran.

Beberapa kalangan menganggap “Reuni 212” lebih didasarkan pada motif politik tertentu. Misalnya yang dinyatakan oleh Kapolri Jenderal Tito Karnavian. Jenderal Tito tegas mengatakan bahwa "Reuni 212" bermotif politik. Beliau lalu mengaitkan kegiatan tersebut dengan Pilkada 2018 dan Pilpres 2019 (Lihat: http://news.liputan6.com, 30/11). Atau seperti pernyataan pengamat politik, Adi Prayitno"Ya tentu saja saya melihat itu sebagai gerakan politik. Itu reaksi atas kebijakan pemerintah yang tidak pro umat Islam seperti Perpu Ormas, umat Islam terluka," dalam perbincangan di tvOne, Senin, 4 Desember 2017.

Anggapan ini kita tanggapi saja dari segi positifnya. Yaitu dijadikan sebagai salah satu "pelecut" bagi para “Alumni 212” untuk menegaskan diri bahwa mereka memang bukan sekadar “kerumunan massa”. Akan tetapi, mereka adalah kumpulan umat Islam yang memiliki kesatuan visi dan misi politik Islam yang jelas dan tegas, yang didasarkan pada ideologi Islam yang bersumber dari al-Quran.

Persatuan umat Islam adalah wajib sebagai modal utama kekuatan umat dalam menegakkan agama Allah. Sebaliknya, berpecah-belah adalah haram. Hal ini ditegaskan oleh Allah SWT dalam al-Quran:
وَاعْتَصِمُوابِحَبْلِاللَّهِجَمِيعًاوَلَاتَفَرَّقُوا...
Berpegang teguhlah kalian semuanya pada tali Allah dan jangan bercerai berai... (TQS Ali Imran [3]: 103).

Selain wajib bersatu atas dasar al-Quran, di dalam QS Ali Imran ayat berikutnya Allah SWT memerintahkan umat Islam untuk mendakwahkan Islam dan melakukan amar makruf nahi mungkar:

وَلْتَكُنْمِنْكُمْأُمَّةٌيَدْعُونَإِلَىالْخَيْرِوَيَأْمُرُونَبِالْمَعْرُوفِوَيَنْهَوْنَعَنِالْمُنْكَرِوَأُولَئِكَهُمُالْمُفْلِحُونَ 
Hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyerukan kebajikan (Islam) serta melakukan amar makruf nahi mungkar. Mereka itulah kaum yang beruntung (TQS Ali Imran [3]: 104).

Berdasarkan ayat di atas, umat Islam harus memiliki visi dan misi politik Islam yang jelas dan tegas. Visi dan misi politik Islam itu harus diwujudkan melalui gerakan politik yang menyerukan Islam dan menyadarkan umat dengan syariah Islam secara terus-menerus. Tujuannya agar umat terdorong untuk menerapkan syariah Islam secara kâffah untuk mengatur segenap aspek kehidupan mereka. Gerakan politik yang dimaksud semata-mata diorientasikan untuk mewujudkan segala kemaslahatan bagi umat berdasarkan syariah Islam. Itulah gerakan politik Islam yang sejak awal dijalankan oleh Baginda Nabi Muhammad saw. sepanjang perjalanan dakwah beliau. Puncaknya, beliau berhasil meraih kekuasaan politik di Madinah—yang ditandai dengan pendirian Daulah Islam yang pertama—yang diorientasikan semata-mata demi melayani umat sesuai dengan syariah Islam.

Dengan gerakan politik, berhasil mengantarkan Rasulullah saw meraih tampuk kekuasaan. Beliau menjadi kepala negara di Madinah al-Munawwarah. meluas ke Makkah dan seluruh jazirah Arab.

Dengan dakwah dan jihad, kekuasan Islam itu kemudian terus menyebar ke seluruh kawasan Timur Tengah pada masa kepemimpinan setelah beliau (masa Khulafaur Rasyidin). Islam bahkan menembus ke jantung Afrika, Asia Tengah hingga Eropa pada masa-masa Khilafah Islam setelahnya. Tak kurang 2/3 wilayah dunia berada dalam kekuasan Khilafah Islam selama berabad-abad. Selama itu pula, bangsa-bangsa kafir tidak pernah berani melecehkan umat Islam, sebagaimana saat ini, yakni sejak keruntuhan Khilafah terakhir di Turki pada tahun 1924.

Karena itulah, saat ini berbagai gerakan politik Islam, terutama yang bertujuan membangkitkan kembali Khilafah Islam, terus ada dan makin membesar. Justru inilah yang dikhawatirkan oleh musuh-musuh Islam. Semakin membesarnya Islam sebagai gerakan politik inilah yang sangat ditakuti oleh Barat, khususnya AS, termasuk kaum sekular di negeri ini.

Berbagai upaya—mulai dari yang ‘halus’ (seperti perang pemikiran, propaganda hitam, bantuan finansial pendidikan dengan kompensasi berupa perubahan kurikulum madrasah dan pesantren agar menjadi lebih moderat) hingga yang ‘kasar’ (seperti perang melawan terorisme secara fisik maupun melawan radikalisme secara non-fisik)—terus dilakukan oleh AS dan sekutunya. Semua itu dilakukan tidak lain untuk menggembosi Islam sebagai gerakan politik.

Karena itu sangat disayangkan jika banyak tokoh Muslim yang justru malah terbawa arus propaganda Barat dan AS dengan ikut-ikutan mengecam gerakan politik Islam. Tindakan demikian, selain hanya menguntungkan musuh-musuh Islam, juga akan semakin melemahkan posisi Islam dan kaum Muslim sebagai satu-satunya kekuatan potensial di dunia yang bisa meruntuhkan dominasi Kapitalisme saat ini, yang sesungguhnya telah terbukti banyak menimbulkan kerusakan dan aneka krisis di mana-mana, termasuk di negeri ini.

sudah seharusnya umat Islam, termasuk para “Alumni 212”, memiliki visi dan misi politik Islam yang jelas dan tegas. Semangat jihad mesti terus dikuatkan hingga hukum Allah tegak di bumi Allah.Kebangkitan islam sebuah keniscayaan. Saatnya seluruh komponen umat menyiapkan diri berjuang menyongsong kemenangan. Dengan begitu mereka bukan sekadar rajin melakukan aksi “kerumunan massa”. Yang jauh lebih penting adalah bagaimana mereka terus melakukan gerakan politik Islam. Targetnya tentu bukan sekadar agar kaum Muslim bisa meraih kekuasaan. Yang lebih penting adalah agar Islam benar-benar berkuasa hingga negeri ini sungguh-sungguh bisa diatur dengan syariah Islam secara kâffah dalam institusi Khilafah ‘alâ minhâj an-nubuwwah. Tentu tak ada artinya kaum Muslim berhasil duduk di tampuk kekuasaan, sementara syariah Islam tetap dicampakkan, dan yang diterapkan serta tetap berkuasa adalah sistem sekular seperti sekarang ini.[]

 

Sumber : Voa-islam.com