Pesta Demokrasi dan Upaya Menghadang Islam Politik
Oleh: Melyza Fitiri PS*
10Berita, Indonesia tengah bersiap menggelar pesta demokrasi. Bagi rakyat, momen ini diharapkan akan memberikan perubahan akan nasib mereka. Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai panitia penyelenggara telah merilis (dari berbagai sumber), bahwa pesta lima tahunan ini akan diikuti oleh 569 peserta pasangan calon (paslon) dari 171 daerah setingkat provinsi, kota, dan kabupaten di Indonesia.
Memasuki tahun politik, beragam cara dilakukan oleh paslon untuk meraih dukungan dari rakyat. Blusukan masih menjadi cara ampuh bagi paslon untuk meraih dukungan. Mereka hadir bak pahlawan yang akan mengeluarkan rakyat dari himpitan masalah yang membelit.
Rupa berbeda dunia perpolitikan nampak dalam pesta demokrasi dua tahun belakangan. Pasalnya kerukunan umat beragama di Indonesia tengah diuji dengan isu antikebhinekaan & intoleran yang berawal dari penistaan agama yang dilakukan oleh salah satu paslon hingga menyebabkan kekalahan.
Keadilan yang terus disuarakan oleh mayoritas umat Islam untuk kasus penistaan agama, mendapat nyinyiran dari para kapitalis dan penguasa yang pro terhadap kapitalisme-sekuler. Walhasil, untuk menjaga nafsu berkuasa, mereka tak segan mengeluarkan aturan yang mengikat bahkan melakukan persekusi di muka umum dengan topeng yang bernama menjaga kesatuan NKRI.
Tak hanya sampai di situ, kritikan terhadap penguasa dikriminalisasi dengan balutan ujaran kebencian oleh mereka yang fobia terhadap kebangkitan Islam. Sehingga wajar jika pada akhirnya, mereka mengambil jalan untuk mengawasi isi khutbah Jum'at di masjid-masjid. Meskipun demikian, rangkaian kejadian yang telah dilalui oleh mayoritas umat Islam berhasil membuat baper (bawa perasaan) untuk kembali bersatu. Oleh karenanya, mereka terus menggelorakan perubahan menuju Islam Kaffah.
Politik Praktis Lahirkan Raja-Raja Kecil
Tak dapat dipungkiri bahwa dengan dibukanya kran demokrasi di Indonesia, membuat rakyat berbondong-bondong menjadi penguasa. Mulai dari yang berpendidikan tinggi hingga biasa, dari agamawan hingga preman. Semua berkesempatan menjadi pengusa, asalkan memiliki modal untuk eksis di hadapan rakyat.
Hal ini selaras dengan biaya politik yang terus melangit, sebagaimana yang dijelaskan oleh Pramono Anung (Sekretaris Kabinet RI) dalam bukunya yang berjudul Mahalnya Demokrasi, Memudarkan Ideologi. Ia menjelaskan bahwa paling rendah biaya politik caleg itu Rp 300 juta sampai Rp 400 juta, pengurus partai bisa menghabiskan Rp 800 juta sampai Rp 1 miliar, TNI/Polri menghabiskan Rp 800 juta sampai 1,2 miliar, pengusaha sampai Rp 1,5 miliar sampai Rp 6 miliar, dan di luar itu ada yang menghabiskan Rp 22 miliar.
Bukan rahasia jika para paslon yang akan berlaga didukung oleh para pengusaha untuk menyokong biaya demi pemenangan paslon. Tentu hal ini tidak diperoleh dengan percuma. Oleh karenanya terbentuklah simbisiosis mutualisme dengan hadirnya proyek pembangunan.
Sejak hadirnya Undang-Undang mengenai otonomi daerah memberikan kesempatan bagi Kepala Daerah dengan Swasta bermesraan untuk mengeksplorasi Sumber Daya Alam (SDA) setempat. Wajar jika ditemukan kemungkinan terjadinya praktik korupsi untuk memperkaya diri. Mirisnya rakyat hidup di bawah garis sejahtera, padahal di daerah yang ia pimpin memiliki SDA yang berlimpah.
Keberadaan politik praktis telah melahirkan raja-raja kecil yang terus menggigit rakyat. Di sisi lain hal ini menyadarkan rakyat sehingga membuat meraka mencari solusi lain dalam menyelesaikan permasalahan hidup. Islam Kaffah yang dahulu terasa asing, kini telah memenuhi hati rakyat. Semakin lama, keinginan tersebut semakin menggelora dalam benak mereka.
Hal ini membuat para kapitalis dan pendukung peradaban cacat (Kapitalis-Sekuler) terus mencari cara untuk mengahalau Islam Kaffah. Lahirlah gagasan Deradikalisasi, Islam Moderat, dan Intoleran. Meskipun terus dihadang dengan berbagai gagasan jahat, hal ini tak menyurutkan langkah untuk terus berjuang menerapkan Islam Kaffah. (rf/)
*Alumni Pascasarjana UNSRI
Ilustrasi: Google
Sumber : voa-islam.com