Jokowi Enggak Ngerti Di Balik Lemahnya Rupiah
Oleh: Mudrajad Kuncoro
Guru besar FE universitas UGM
Versi ringkas dimuat di harian Bisnis Indonesia, 23 April 2018, http://m.bisnis.com/surabaya/read/20180423/251/787301/di-balik-lemahnya-...
10Berita, Ada apa di balik melemahnya rupiah di tengah cadangan devisa yang tertinggi dalam sejarah? Gubernur Bank Indonesia (BI), baik yang barusan terpilih maupun yang masih aktif, harus bisa memitigasi pelemahan kurs rupiah yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir, tanpa hanya menyalahkan faktor global.
Selama 3,5 tahun pemerintahan Presiden joko Widodo (Jokowi), nilai rupiah cenderung terus merosot terhadap dolar AS (USD). Sejak dilantik sebagai Presiden RI ke-7 pada 20 Oktober 2014, rupiah terus mengalami depreasi terhadap dolar AS. Nilai US$1 pada 20 Oktober 2014 sebesar Rp12.041 menurun menjadi Rp13.332 pada 30 juni 2015. IHSG sempat meningkat akibat “Jokowi Effect” dari 5.041 (20/10/2014) menjadi 5.523 (7/4/2015). Habis itu, masa “bulan madu” dengan Kabinet Kerja usai dan IHSG terus melemah. Pada 3 Juli 2015, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melorot hingga 4.958 dan kurs dolar AS melemah hingga Rp 13.316. Bandingkan dengan awal 2013, saat kurs masih Rp 9.685 dan IHSG 4.346,48. Memasuki tahun 2018, IHSG mulai melejit menembus 6.680-an, meskipun mulai merosot di akhir bulan Maret menjadi hanya sekitar 6.100-an. Seiring dengan merosotnya IHSG, kurs rupiah terhadap dolar AS berfluktuasi dengan trend melemah, di sekitar Rp 13.288-13.797. Gambar berikut menunjukkan adanya korelasi positif yang signifikan antara kurs dan IHSG. Artinya, bila IHSG merosot maka rupiah cenderung melemah, namun bila IHSG meningkat maka rupiah cenderung menguat terhadap dolar AS.
Kendati demikian, kita tidak bisa menyalahkan pemerintah semata karena kewenangan menjaga stabilitas nilai tukar rupiah ada di tangan BI selaku bank sentral di negeri ini. UU No. 6/2009 memberi mandat kepada BI untuk menjaga kestabilan nilai Rupiah. Untuk itu, BI menerapkan kerangka kebijakan moneter dengan inflasi sebagai sasaran utama kebijakan moneter (inflation targeting framework) dengan menganut sistem nilai tukar yang mengambang. Menurut Perry Warjiyo (2015), BI menerapkan pendekatan baru dengan bauran kebijakan (policy mix) dalam pelaksanaan 3 tugas pokok yaitu: (1) kebijakan moneter yang konsisten dan kredibel, (2) stabilitas sistem keuangan yang kuat dan teruji, dan (3) penyelenggaraan sistem pembayaran yang inovatif dan bertatakelola baik. Kebijakan difokuskan untuk menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah dan relaksasi kebijakan makroprudensial untuk ikut mendorong pertumbuhan ekonomi.
Sejak Gubernur BI dipegang Agus Martowardoyo, nyatanya depresiasi rupiah mencapai lebih dari 41% pasca 24 Mei 2013. Catatan depresiasi rupiah terhadap USD di era SBY jilid 1 hanya 4.5%, era SBY jilid 2 mencapai 30,5%, era Jokowi 14,2% Uniknya, melemahnya nilai tukar rupiah dibarengi dengan melesatnya IHSG. Pelemahan Rupiah tersebut, menurut versi resmi (BI, 2018: 14), dipengaruhi oleh penguatan dolar AS secara global dan terbatas…[11:56, 4/24/2018] Herdi Simpati: Sejak Gubernur BI dipegang Agus Martowardoyo, nyatanya depresiasi rupiah mencapai lebih dari 41% pasca 24 Mei 2013. Catatan depresiasi rupiah terhadap USD di era SBY jilid 1 hanya 4.5%, era SBY jilid 2 mencapai 30,5%, era Jokowi 14,2% Uniknya, melemahnya nilai tukar rupiah dibarengi dengan melesatnya IHSG. Pelemahan Rupiah tersebut, menurut versi resmi (BI, 2018: 14), dipengaruhi oleh penguatan dolar AS secara global dan terbatasnya sentimen positif di domestik. Volatilitas Rupiah sampai dengan akhir 2017 juga tercatat mengalami peningkatan meski tetap lebih rendah dibandingkan dengan negara pembanding antara lain Rand (Afrika Selatan), Lira (Turki), Real (Brazil), Won (Korea Selatan), Rupee (India), Peso (Filipina), Singapore Dollar (Singapura), Bath (Thailand), dan Ringgit (Malaysia).
Penyebab
Benarkah faktor eksternal semata ataukah pondasi ekonomi Indonesia yang “tidak sehat” sehingga rawan terhadap guncangan eksternal? Faktor apa di balik merosotnya nilai tukar rupiah?
Pertama, dari sisi eksternal, ada beberapa faktor di balik rentannya pasar valas dan modal kita. Pelemahan rupiah dipengaruhi sentimen negatif terkait dengan meningkatnya ketidakpastian global akibat pertumbuhan ekonomi dunia yang cenderung turun. Sejak Januari 2012, rupiah terdepresiasi terus-menerus, dari Rp 9.000-an awal Januari 2012 menembus di atas Rp 11.000 per dollar AS Agustus 2013, akhir September-Oktober 2016 melemah hingga Rp 14.700. Selewat itu, hingga hari ini (23 april 2018) kurs berada di rentang Rp 13.010 hingga 13.990.
Rupiah sempat melemah paling tajam akibat banyak investor asing menarik investasi mereka di Asia seiring dengan rencana bank sentral AS (The Fed) mengurangi kebijakan quantitative easing (QE). QE adalah kebijakan moneter yang diterapkan The Fed untuk mendorong perekonomian karena kebijakan moneter yang standar menjadi tidak efektif dan suku bunga sudah amat rendah mendekati nol. Caranya, The Fed membeli sejumlah aset finansial, yang berupa obligasi jangka panjang dan US Treasury Notes, di bank komersial ataupun lembaga keuangan lain. The Fed melakukan QE yang pertama pada 25 November 2008 hingga akhir Maret 2010, tadinya hanya 600 miliar dollar AS, tetapi akhirnya mencapai 1,75 triliun dollar AS. Pada QE tahap kedua, The Fed membeli 600 miliar dollar AS selama November 2010-Juni 2011. QE ketiga 12 September 2012, The Fed mengumumkan membeli surat berharga jangka panjang 40 miliar dollar AS per bulan. 19 Juni 2013, the Fed mengumumkan penurunan (tapering off) pembelian surat berharga jangka panjang. QE dinyatakan berakhir pada September 2017 dan the Fed mulai menaikkan suku bunga (federal fund rate) hingga 1,5% pada tahun 2018. Arah kebijakan moneter AS dapat disimak di Federal Reserve System, Monetary Policy Report, 23/2/2018.
Kedua, gejolak di Bursa Efek Indonesia (BEI), yang banyak terpengaruh program QE AS, telah mendorong investor membeli aset berisiko, terutama yang dimiliki negara berkembang, termasuk Indonesia. Setelah QE1, QE2, dan QE3 diberlakukan, terjadi tren yang sangat bullish pada indeks Dow Jones dan IHSG. Namun, sebaliknya apabila QE dikurangi, likuiditas di pasar AS menurun seiring dengan dikuranginya pembelian aset. Hal ini berdampak terhadap performa indeks saham negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, memasuki tren bearish seiring keluarnya dana asing. Inilah agaknya yang terjadi selama 3 bulan terakhir di mana nilai tukar Rupiah dan IHSG merosot akibat the Fed secara bertahap menaikkan suku bunga di AS.
Ketiga, faktor internal yang memperburuk adalah defisit neraca perdagangan dan transaksi berjalan yang masih berlanjut. Inilah penyakit kronis yang menggerogoti ekonomi kita dan membuat tidak sehat. Pada Triwulan IV 2017, defisit transaksi berjalan melonjak hingga USD5,8 miliar (2,2% dari PDB), lebih tinggi dibandingkan dengan defisit pada triwulan IV 2016 yang sebesar USD1,8 miliar (0,7% dari PDB). Meningkatnya defisit diakibatkan oleh menyusutnya surplus neraca perdagangan nonmigas serta meningkatnya defisit neraca perdagangan migas dan neraca jasa. Surplus neraca perdagangan nonmigas menurun karena impor nonmigas meningkat 8,4% (qtq), melampaui peningkatan ekspor nonmigas yang hanya 4,3% (qtq). Defisit neraca perdagangan migas meningkat, terutama didorong oleh peningkatan impor minyak yang lebih besar dari peningkatan ekspor minyak. Kenaikan defisit neraca jasa terutama dipengaruhi oleh peningkatan defisit jasa transportasi seiring kenaikan impor barang. Indonesia kini menjadi net importer minyak namun belum berhasil menggenjot ekspor nonmigas, menjalankan strategi substitusi impor, serta menekan defisit neraca jasa.
Defisit transaksi berjalan yang meningkat perlu dicermati penyebabnya. Defisit terjadi karena didorong terus menurunnya ekspor akibat pelambatan ekonomi global, penurunan tajam harga komoditas global, di tengah masih tingginya impor, baik migas maupun nonmigas, serta adanya pembayaran bunga utang yang cukup besar sejak triwulan II-2013. Pada akhir Mei 2015, cadangan devisa sebesar 110,77 miliar dollar AS, yang ekuivalen dengan 7,1 bulan impor. Bandingkan dengan posisi cadangan devisa akhir Februari 2018 yang tercatat 128,06 miliar dolar AS, yang menurun dibandingkan dengan posisi akhir Januari 2018 yang mencapai 131,98 miliar dolar AS. Posisi cadangan devisa ini mampu membiayai sekitar 7,9-8,1 bulan impor dan diyakini di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor. Penurunan cadangan devisa pada Februari 2018 ini terutama bersumber dari penggunaan devisa untuk pembayaran ULN pemerintah, stabilisasi nilai tukar rupiah, serta menurunnya penempatan valas perbankan di BI akibat pembayaran kewajiban valas penduduk.
Keempat, faktor internal lain yang perlu dicermati adalah utang swasta yang sebagian besar jatuh tempo. BI melaporkan, utang luar negeri (ULN) Indonesia pada akhir November 2017 tercatat sebesar 347,3 miliar dollar AS atau sekitar Rp 4.636,455 triliun dengan kurs Rp 13.350 per dollar AS, yang artinya meningkat 9,1 persen per tahun. Kendati rasio ULN Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) tercatat stabil di kisaran 34%, ULN sektor swasta pada November 2017 tercatat sebesar 170,6 miliar dollar AS, sementara ULN sektor publik tercatat 176,6 miliar dollar AS pada periode yang sama. ULN swasta ini terkonsentrasi 78% di sektor keuangan, industri pengolahan, listrik, gas, dan air bersih, serta pertambangan. ULN tetap didominasi ULN jangka panjang yang memiliki pangsa 85,7% dari total ULN.
Data resmi menunjukkan surplus transaksi modal dan finansial meningkat dari USD29,3 miliar pada 2016 menjadi sebesar USD29,9 miliar pada 2017. Faktor pendorongnya adalah kenaikan surplus investasi asing baik dalam bentuk Foreign Direct Investment (PMA) maupun investasi portofolio. PMA terlihat surplus sebesar USD4,6 miliar, lebih tinggi dibandingkan dengan surplus pada periode yang sama tahun sebelumnya sebesar USD3,5 miliar. Namun, investasi penduduk Indonesia di luar negeri pada triwulan IV 2017 mencatat arus keluar sebesar USD0,5 miliar. Investasi langsung yang dilakukan oleh investor asing di Indonesia mengalami arus masuk neto sebesar USD5,1 miliar.
Kelima, melorotnya nilai tukar rupiah berpotensi menyulut utang macet dalam bentuk valas. Apalagi ULN swasta nasional banyak yang belum memiliki lindung nilai (hedging). BI melaporkan pada tahun 2014, sebanyak 88% ULN sektor swasta di Indonesia belum melakukan fasilitas lindung nilai. Pertumbuhan ULN swasta terus menurun meskipun levelnya masih tinggi. Di akhir 2014, utang luar negeri sekitar USD163,6 miliar, menurun pada akhir 2016 menjadi sebesar USD158,7 miliar, pada November 2017 kembali meningkat sebesar USD170,6 miliar, atau tumbuh 4,2%.
Efektifitas Kebijakan
BI menerbitkan sejumlah kebijakan moneter guna meningkatkan pasokan valas secara lebih efektif. Namun, sejak Agus Martowardojo menjadi gubernur BI, rupiah terus merosot terhadap USD. Awal dilantik sebagai gubernur BI (24 Mei 2013), kurs rupiah masih senilai Rp 9.772. Pada 29 Marer 2018, kurs melemah menjadi Rp 13.756. Artinya. dari 24 Mei 2013 hingga Maret 2018, rupiah telah mengalami depresiasi hingga 40,7%.
Sebenarnya berapa seharusnya kurs rupiah yang mendekati daya belinya? Berdasarkan teori purchasing-power parity (PPP), dalam jangka panjang kurs akan bergerak dengan harga yang sama untuk komoditi yang sama. Inilah yang dikenal dengan “the law of price”. Harga komoditi global, seperti hamburger BigMac, seharusnya sama bila dinyatakan dalam mata uang yang sama di seluruh negara di dunia. Dengan kurs Rp/USD yang aktual sebesar Rp 13.359, harga hamburger BigMac di Indonesia Rp 35.750 (atau setara dengan USD2,68) pada Januari 2018. Harga BicMac di Amerika Serikat pada waktu yang sama jauh lebih mahal senilai $5.28. Jadi kurs Rp yang sesuai dengan PPP harusnya Rp 6.771. Namun karena kurs senyatanya sebesar Rp 13.359, maka bila dinilai dalam Big Mac Currency, nilai rupiah saat ini sudah dinilai terlalu rendah (undervalued) hingga 49,3%. Dibandingkan dengan Juli 2013, undervalued Rp hanya sebesar 38%, artinya nilai Rp makin merosot. Anda bisa mencermati kurs Big Mac untuk semua mata uang, termasuk Rp, di http://www.economist.com/content/big-mac-index, Dengan kata lain, fungsi utama BI berdasarkan UU No.3/1999 yang menjaga stabilitas nilai tukar rupiah masih perlu dipertanyakan efektifitasnya.
Penyebab utama anjloknya IHSG dan terpuruknya nilai tukar rupiah sebetulnya adalah struktur ekonomi kita yang sejak lama ”tidak sehat”, tetapi diberi obat yang tidak cespleng. Agaknya masih perlu ”obat” yang mampu menyembuhkan Indonesia dari penyakit kronis. Melemahnya rupiah dan IHSG perlu dicari akar masalahnya. Faktor eksternal hanya pemicu, tetapi sumber penyakit kronis yang membikin struktur ekonomi tidak sehat perlu diprioritaskan dan dipilih obatnya. Tanpa ada QE dan kenaikan bunga di AS pun, neraca perdagangan dan transaksi berjalan yang tidak sehat, mengakibatkan pelemahan rupiah, hanya tunggu waktu. Tanpa perubahan mendasar kebijakan makro dan sektoral, ancaman krisis di pasar modal dan valas, cepat atau lambat akan merembet ke semua sektor, termasuk pasar tradisional dan Usaha Mikro, kecil, Menengah.
Dibandingkan dengan krisis Asia 1998 dan krisis global 2008, penurunan kurs dan IHSG selama beberapa bulan terakhir belum masuk tahap ”krisis” sehingga belum bisa diterapkan protokol krisis. Menurut UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan Pasal 45, definisi ”krisis pada sistem keuangan” adalah kondisi sistem keuangan yang sudah gagal menjalankan fungsi dan perannya secara efektif dalam perekonomian nasional yang ditunjukkan dengan memburuknya berbagai indikator ekonomi dan keuangan antara lain berupa kesulitan likuiditas, masalah solvabilitas, dan/atau penurunan kepercayaan publik terhadap sistem keuangan. Namun, langkah antisipatif dan proaktif bernuansa jangka pendek dan menengah agaknya amat ditunggu pelaku bisnis dan rakyat. Obat yang ”tidak generik” dibutuhkan untuk mengobati ”penyakit kronis” yang sudah 15 tahun terakhir menggerogoti ekonomi Indonesia.(KONF/)
Sumber : BISNIS.COM