Haruskah Jokowi Turun?
10Berita, Era Presiden SBY dan sebelumnya, demo mahasiswa selalu ramai. Masa Orde Baru pun juga banyak demo. Mahasiswa paling getol. BBM naik, demo. Listrik naik, turun ke jalan. Dolar naik, presiden diturunkan. Pak Harto salah satu korbannya. Kenapa sekarang jadi sepi? Apakah mahasiswa sudah tak peka? ciut nyalinya? Melempem seperti kerupuk yang habis kehujanan, jatuh ke tanah, lalu diinjek gerombolan parade sapi yang sedang jogging?
Ah, kata siapa mahasiswa melempem? Tidak! Demo mahasiswa tetap ramai, bergairah. Terjadi di hampir setiap kampus. Anda saja yang gak denger beritanya. Karena media tak mengeksposnya.
Masih ingat ada kerbau jadi peserta demo di depan istana? Mahasiswa bebas berteriak, dan media leluasa meliput. Saat itu presidennya SBY. Peristiwa yang hampir mirip juga terjadi di era presiden sebelumnya. Termasuk di era Gus Dur. Bahkan Gus Dur legowo dijatuhkan dan melepas jabatannya sebagai presiden. Demi memenuhi tuntutan demonstran. Gentle.
Apakah Gus Dur terlalu lemah untuk membubarkan demonstran? Tidak! Pengakuan Mahfudz MD, Gus Dur bisa selamat jika mau berkompromi dengan sejumlah pihak. Tapi, idealisme Gus Dur kokoh. Lebih baik jatuh dari pada kehilangan prinsip dan idealismenya. Ini baru TOP. Presiden teladan.
Sebagai seorang demokrat sejati (bukan partai Demokrat atau Demokrasi), tidak saja perbedaan agama dan pendapat yang bebas di era Gus Dur, pers juga sangat terbuka untuk ekspos apa saja.
Era Gus Dur sudah lewat. Beliau sekarang tenang di alam sana dengan doa jutaan rakyat Indonesia yang mengagumi dan mewarisi jasanya. Sekarang, media, terutama TV maenstrem, tak sebebas zaman Gus Dur. Semua seolah bungkam. Tak bernyali untuk liput demo. Apalagi demo mahasiswa.
Demo kenaikan BBM sepi. Demo kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) tak terekspos. Demo banjir buruh China juga nyaris tak terdengar. Demo jual aset negara hanya ramai di medsos. Kartel yang semakin rakus impor beras luput dari peliputan.
Kenapa media tak mengekspos? Karena semua berita itu kontraproduktif dengan visi pencitraan. Menarik di mata rakyat, tapi tidak di mata orang yang sedang pegang kekuasaan.
Ada apa dengan media televisi kita? Apakah karena media mendukung penguasa? Atau karena takut dan sedang tersandera? Silahkan anda tebak sendiri.
Sekarang ini, demo mahasiswa marak. Ada di berbagai kampus. Isunya tentang rupiah. Rupiah yang terus melemah. Mahasiswa UIN Jakarta demo. Demonya sampai memacetkan jalan Ciputat-Lebak Bulus. Tapi, anda tak tahu kecuali secara kebetulan anda melewati jalan itu. Media TV tak banyak meliputnya.
Ribuan mahasiswa Universitas Islam Riau juga demo. Tak tanggung-tanggung. Turun dengan ribuan mahasiswa. Mereka menuntut Jokowi mundur. Jokowi dianggap gagal urus rupiah. Dampaknya besar buat ekonomi. Pengaruhnya terasa buat rakyat. Wow. Mahasiswa Universitas Islam Riau rupanya punya nyali juga. Berharap koordinatornya tidak ditahan, dan tidak diberi surat pemecatan.
Anda bisa bayangkan. Jika demo mahasiswa diekspos media TV. Terutama demo mahasiswa Universitas Islam Riau yang nuntut Jokowi mundur. Demo ini akan menyebar cepat dan meluas ke universitas-universitas seluruh Indonesia. Isunya tentang rupiah yang melemah dan tertekan. Cukup seksi. Jika ini terekspos di semua TV maenstrem, akan potensial menimbulkan gempa politik bagi penguasa.
Jokowi bisa jatuh. Mirip kejatuhan Soeharto. Apakah ini yang diinginkan rakyat? Nanti dulu. Jangan buru-buru menyimpulkan. Jangan tergesa-gesa mengatasnamakan rakyat.
Hasil survei Median,47,90% rakyat ingin ganti presiden. Di tahun 2019. Bukan sebelumnya. Artinya, mayoritas rakyat ingin Jokowi turun secara konstitusional, melalui mekanisme pemilu. Bukan diturunkan di tengah jalan.
Kejatuhan tidak pada waktunya akan menimbulkan luka dan trauma buat bangsa. Apalagi, Jokowi punya sekitar 30% pendukung die hard. Pendukung fanatik. Apapun kritik yang dilontarkan orang lain, Jokowi tetap the best. Mereka siap perang jika Jokowi dipaksa turun di tengah
Penulis: Tony Rosyid
Sumber : PORTAL ISLAM