OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Minggu, 25 November 2018

Bohong dalam Hal Ini “Dibolehkan”, tapi Perhatikan Dulu…

Bohong dalam Hal Ini “Dibolehkan”, tapi Perhatikan Dulu…

10Berita, ANDA tentu tahu bahwa berbohong merupakan salah satu perbuatan yang dilarang oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bahkan, Rasulullah ﷺ juga melarang hal ini. Hanya saja, banyak orang yang seolah-olah kecanduan berbohong. Artinya, dalam kondisi-kondisi tertentu ia terpaksa harus berbohong dan kebohongannya itu terus dilakukan untuk menutupi kebohongan yang pertama.
Tahukah Anda, meskipun berbohong merupakan hal yang tidak baik, namun bila dalam keadaan tertentu berbohong membawa kemaslahatan syar’i yang lebih besar dari mudharatnya. Maka hal tersebut menjadi diperbolehkan. Lantas, dalam kondisi seperti apa sajakah itu?
Ada tiga kondisi yang membuat seseorang boleh untuk berbohong.
1. Saat Berada di Medan Perang
Dalam hal ini perang yang dimaksud adalah berjihad membela kebenaran. Saat dalam peperangan kita harus menggunakan strategi untuk mengalahkan musuh. Sehingga kita harus bisa membuat tipu muslihat agar musuh terkecoh dan dapat dikalahkan. Dengan demikian, dalam peperangan tipu daya menjadi diperbolehkan asalkan bertujuan untuk membela kebenaran agama. Sebagaimana disebutkan dari Jubair bin Abdillah bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, “Perang adalah tipu daya,” (HR. Bukhari dan Muslim).
2. Berbohong untuk Menyenangkan Pasangan
Dalam hal ini berbohong antara suami dan istri yang dibenarkan adalah yang bertujuan untuk menambah kemesraan antar pasangan, menunjukkan rasa cinta dan kasih. Sehingga tercipta kerukunan dan keharmonisan dalam rumah tangga. Selain itu, dapat menyebabkan masing-masing pasangan menjadi lebih senang dan tenang saat bersama-sama. Dengan demikian terjalin keluarga yang harmonis dan penuh kasih sayang antara suami istri.
Namun hal yang perlu diperhatikan adalah jika berbohong untuk meninggalkan kewajiban, mengambil hal istri atau suami yang tidak bertanggung jawab terhadap istrinya. Maka hal tersebut merupakan hal yang sangat dilarang dan bisa mendatangkan murka Allah.
Sebagaimana disebutkan, “Ulama sepakat bahwa yang dimaksud bohong antar-suami istri adalah bohong yang tidak menggugurkan kewajiban atau mengambil sesuatu yang bukan haknya,” (Fathul Bari, 5:300).
3. Berbohong untuk Mendamaikan Dua Orang yang Sedang Bertengkar
Apabila terdapat dua orang yang sedang bertengkar, maka kita wajib untuk mendamaikan keduanya. Sebab Islam sangat menyukai perdamaian. Sehingga jika terjadi perkelahian dan menimbulkan perpecahan maka hal tersebut bisa mendatangkan murka Allah.
Oleh sebab itu, sebagai umat Muslim kita harus bisa mendamaikan orang yang berselisih meskipun harus berbohong. Sebagaimana dijelaskan dari Ummu Kultsum binti Uqbah bahwa ia mendengar Rasulullah ﷺ bersabda, “Bukanlah disebut pembohong orang yang menyelesaikan perselisihan di antara manusia dengan cara dia menyampaikan hal-hal yang baik atau dia berkata hal-hal yang baik,” (HR. Al-Bukhari no. 2692 dan Muslim no. 2605).
Dengan demikian meskipun apa yang disampaikan atau yang dikatakan merupakan sesuatu yang bohong dan tidak benar, namun jika diucapkan dengan tujuan agar tercipta perdamaian di antara kedua belah pihak, maka hal tersebut menjadi diperbolehkan dan diharuskan. Sehingga kedua pihak yang bertengkar bisa berdamai kembali.
ولم أسمعه يرخص في شيء مما يقول الناس إلا في ثلاث: تعني الحرب، والإصلاح بين الناس، وحديث الرجل امرأته، وحديث المرأة زوجها.
“Belum pernah aku dengar, kalimat (bohong) yang diberi keringanan untuk diucapkan manusia selain dalam 3 hal: Ketika perang, dalam rangka mendamaikan antar-sesama, dan suami berbohong kepada istrinya atau istri berbohong pada suaminya (jika untuk kebaikan).” (HR. Muslim)
وَاتَّفَقُوا عَلَى أَنَّ الْمُرَاد بِالْكَذِبِ فِي حَقّ الْمَرْأَة وَالرَّجُل إِنَّمَا هُوَ فِيمَا لَا يُسْقِط حَقًّا عَلَيْهِ أَوْ عَلَيْهَا أَوْ أَخْذ مَا لَيْسَ لَهُ أَوْ لَهَا
“Ulama sepakat bahwa yang dimaksud bohong antar-suami istri adalah bohong yang tidak menggugurkan kewajiban atau mengambil sesuatu yang bukan haknya.” (Fathul Bari, 5:300). []

Sumber : Islampos