OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Jumat, 01 Februari 2019

Orde Demokrasi Vs Tangan Besi

Orde Demokrasi Vs Tangan Besi


10Berita,  Kini kau tak malu lagi
Topengmu kian terbuka
Menampakkan wajah sebenarnya
Disaksikan ratusan juta mata
Kau adalah penguasa durjana
Menindas segala cara

Kau tak segan, tak segan lagi,
Memberangus diskusi
Memperbanyak persekusi
Membegal demokrasi

Kau tak segan, tak segan lagi
Memaki sambil main hakim sendiri
Memperalat aparat keparat
Merusah hak berpendapat
Menginjak hukum
Menghajar daulat rakyat

Kau tebar intimidasi dimana-mana
Adu domba anak bangsa
Kau sang tirani
Keadilan kini kian mati
Kau tangan besi

Tapi jangan pernah kau mimpi
Harga diri tak bisa dibeli
Suara kebenaran tak mungkin dibungkam
Ketakutan menumpuk sekam
Terpercik bara menjadi, menjadi api perlawanan
Tak kan padam sampai kau tumbang
Dihantam badai gelombang
Diiringi takbir, takbir berkumandang

Puisi berjudul ‘Sajak Tangan Besi’ ciptaan Fadli Zon di atas merupakan cerminan anggapan sebagian besar rakyat terhadap rezim berkuasa saat ini. Penguasa yang memerintah dengan tangan besi dan selalu berupaya menutup rapat pintu demokrasi.

Pemenjaraan musisi Ahmad Dhani menjadi bukti nyata betapa kuping penguasa begitu tipis terhadap kritikan. Hanya gara-gara empat cuitan di media sosial, ia dipaksa mendekam 1,5 tahun di penjara. Maka wajar jika dikatakan rezim ini sangat anti-kritik.

Publik mulai membanding kelakuan rezim Jokowi dengan pemimpin terdahulu. Era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Semua tahu, 10 tahun dipimpin SBY, demokrasi di negeri ini mencapai taraf tertinggi sejak negara ini berdiri.

Pada era 2004 hingga 2014 itu, hukum selalu menjadi panglima. Keadilan ditegakkan. Meski ada kekurangan di sana-sini, tapi pemerintah terus berusaha memperbaiki diri. Tidak seperti saat ini, saat ketidakadilan dipertontonkan secara gamblang.

Sedikitnya ada tiga bukti yang menunjukkan SBY merupakan figur yang sangat demokratis. Ia tak pernah berlaku otoriter, apalagi bertangan besi terhadap pengkritiknya. Kebebasan rakyat dalam berpendapat sangat ia junjung tinggi. Berikut buktinya;

Tagar #ShameOnYouSBY

Pada September 2014, jagat media sosial Twitter diramaikan oleh tagar #ShameOnYouSBY. Kemunculan tagar itu dipicu aksi protes publik terhadap sikap Partai Demokrat yang melakukan walk out dalam sidang pembahasan RUU Pilkada.

SBY yang kala itu sudah berada di penghujung masa bhakti, tidak merespon negatif protes publik itu. Tak ada pula yang melarang-larang tagar itu untuk terus disuarakan, dan tidak ada pula yang melakukan sweeping terhadap demonstran yang membawa spanduk bertuliskan tagar tersebut.

Cabut Mandat SBY

Sedikit jauh ke belakang, Aktivis Hariman Siregar pernah menggalang massa untuk turun ke jalan pada Senin 15 Januari 2007. Aksi yang bertajuk Pawai Rakyat Cabut Mandat ini diklaim sebagai simbol ketidakpuasan rakyat terhadap kinerja pemerintah. Aksi ini diikuti sejumlah tokoh yang tergabung dalam Indonesian Democracy Monitor (Indemo) serta 52 elemen antara lain aktivis tahun 1974, aktivis mahasiswa, buruh, nelayan, dan etnis Tionghoa.

Pada 2014, aksi serupa kembali terulang. Kali ini dikomandoi Hatta Taliwang. Mantan anggota DPR periode 1999-2004 dan salah satu dari 50 tokoh pendiri Partai Amanat Nasional (PAN) yang sempat menjadi tersangka kasus makar di rezim Jokowi ini, menyerukan tuntutan dan melakukan upaya untuk menggulingkan kekuasaan Presiden SBY.

Hatta mengirimkan surat terbuka pada MPR-DPR untuk memanggil SBY atas dugaan tidak transparan tentang utang yang masih ditanggung negara. Ia bersama Komite Nasional Penyelamat Rakyat (KNPR) juga mendorong adanya sidang istimewa untuk menurunkan Presiden SBY.

Secara aturan, kedua aksi tersebut inkonstitusional. Bertentangan dengan aturan dan menyalahi konstitusi. Namun, pemerintah saat itu sama sekali tidak menanggapinya dengan represif. Tidak ada yang ditangkap, apalagi didakwa sebagai pelaku perbuatan makar terhadap pemerintahan yang sah. Terasa sekali kan bedanya dengan era sekarang ini?

Demo Kerbau SiBuYa

Terakhir, pada 100 hari Pemerintahan SBY-Boediono yakni tanggal 28 Januari 2010, aktivis Yosef Rizal membawa seekor kerbau ke Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta. Di kerbau yang ia bawa itu terdapat foto SBY dan tulisan dengan cat putih “SiBuYa”. Banyak yang berang dengan aksi ini karena tidak beretika menyamakan manusia dengan binatang. Apalagi yang disindir ini adalah seorang presiden, simbol negara.

SBY jelas kesal saat itu. Namun meski dilecehkan, ia tidak pernah melakukan tindakan represif terhadap para pendemo itu. Mereka dibiarkan bebas menyuarakan aspirasi. Jika ada yang salah, pemerintah juga menempuh jalur yang benar, sesuai koridor hukum yang berlaku. Seperti melaporkan kepada pihak kepolisian, bukan menggelar aksi tandingan, atau menurunkan preman bayaran.

Ini terbukti, seminggu setelah peristiwa tersebut, Yosef kembali turun ke jalan untuk meminta SBY-Boediono dipecat. Ia tidak mendapat perlakuan represif dari aparat dalam aksi-aksinya itu. Karena saat itu pemerintah SBY sadar, demokrasi memang berisik.

Penulis: Rafael Wildan


Sumber : portal islam