OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Selasa, 12 November 2019

Wacana larangan cadar dan celana cingkrang bagi ASN, MUI khawatir akan 'timbul protes dan kegaduhan'

Wacana larangan cadar dan celana cingkrang bagi ASN, MUI khawatir akan 'timbul protes dan kegaduhan'
 


Santri Jamaah Tarbiyah Islamiah Mazhab Syaf'i melakukan penghormatan bendera Merah Putih saat mengikuti upacara peringatan Hari Santri Nasional (HSN) di lapangan balai pengajian Jamaah Tarbiah Islamiah, Kandang, Lhokseumawe, Aceh, Rabu (23/10).

10Berita,Kementerian Agama akan mengatur pemakaian cadar dan celana cingkrang bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) di institusi pemerintahan dan lembaga pendidikan.

Langkah ini ditempuh untuk "menangkal paham radikal".

Namun Majelis Ulama Indonesia (MUI) menilai kebijakan itu "akan membuat gaduh di kalangan umat Islam karena tak semestinya pemerintah mengurusi keyakinan seseorang".

Didi Sohidi Tohir, seorang ASN, mengatakan ia memakai celana cingkrang sejak 2016 setelah mendengarkan pengajian tentang aturan berbusana bagi Muslim.

"Setelah ikut pengajian, ternyata memang ada hadisnya yang menjelaskan itu dan hadisnya valid kita ikutin," ujar Didi kepada Quin Pasaribu yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.

Staf biro hukum di Pemprov Banten ini mengatakan, pakaian yang ia kenakan tak berpengaruh terhadap kinerjanya. Malah ia mengklaim, orang-orang yang berpakaian sama sepertinya lebih giat bekerja.


"Di Pemprov Bantan banyak yang berpakaian seperti saya dan itu nggak ada masalah. Justru kami menjaga banget kinerja dan gimana kita bersikap dengan orang lain," imbuhnya.

"Orang (yang memakai celana) cingkrang, justru akhlaknya bagus. Jangankan menyakiti orang lain, menyakiti binatang saja nggak dilakukan."

Didi mengatakan tak habis pikir dengan rencana Menteri Agama Fachrul Razi yang dilaporkan bakal melarang penggunaan cadar dan celana cingkrang. Apalagi mengaitkan antara orang bercadar dan bercelana cingkrang dengan pelaku radikalisme.

Santri Jamaah Tarbiyah Islamiah Mazhab Syaf'i melakukan penghormatan bendera Merah Putih saat mengikuti upacara peringatan Hari Santri Nasional (HSN) di lapangan balai pengajian Jamaah Tarbiah Islamiah, Kandang, Lhokseumawe, Aceh. Rabu (23/10).
"Ya sebenarnya nggak ada hubungannya, kalau sebelumnya di kasus Pak Wiranto pelakunya (pakaiannya) begitu, kita nggak bisa menyamaratakan. Kalau berbusana begitu melakukan hal yang sama."

Kalaupun aturan larangan itu nantinya lahir, Dedi belum bisa bersikap apakah akan keluar dari instutisi pemerintahan atau mengikuti peraturan yang berlaku.

Yang pasti, ia tidak akan mengubah cara berpakaiannya.

Di sisi lain, ia meyakini betul gubernur Banten yang dekat dengan kalangan ulama, tidak akan melarang PNS-nya memakai cadar ataupun celana cingkrang.

"Kami saya, nanti diskusi dulu dengan pimpinan. Bagaimanapun di pemprov yang buat kebijakan gubernur. Sampai sekarang, kebijakan Pemprov Banten justru menonjolkan (ajaran) Islam."

Pelarangan cadar 'menyasar lembaga pendidikan'

Wacana larangan penggunaan niqab atau cadar pertama kali mencuat kala Menteri Agama, Fachrul Razi, berbicara di acara Lokakarya Peningkatan Peran dan Fungsi Imam Tetap Masjid di Hotel Best Western, Jakarta.

Ia mengatakan, pelarangan itu demi "alasan keamanan" menyusul insiden penyerangan yang menimpa mantan Menkopolhukam, Wiranto.

"Kita tidak melarang niqab, tapi melarang untuk masuk instansi pemerintah demi alasan keamanan. Apalagi kejadian Pak Wiranto yang lalu," ujarnya.

Mantan Wakil Panglima TNI ini juga menilai penggunaan cadar di Indonesia keliru lantaran menganggapnya sebagai indikator keimanan dan ketakwaan. Sementara menurutnya, kebiasaan menggunakan cadar berasal dari Arab Saudi bukan Indonesia.

Sehari setelahnya, Fachrul Razi menyinggung penggunaan celana di atas mata kaki atau dikenal dengan sebutan celana cingkrang di kalangan pegawai negeri sipil.

Baginya celana tersebut tidak sesuai aturan berseragam di institusi pemerintah. Dia pun mempersilakan PNS yang tidak mengikuti aturan itu agar keluar.

"Masalah celana cingkrang tidak dilarang dari aspek agama, tapi dari aturan pegawai bisa, misal ditegur."

Meski tak secara jelas menyebut kaitan antara cadar dan celana cingkrang dengan paham radikal, tapi ia meminta semua kementerian satu suara melarang gerakan radikal di lembaga pemerintahan.

Ketua Dewan Analis Strategis (DAS) Badan Intelijen Negara (BIN) M Munir menyapa para mahasiswa baru Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) saat memberikan pembekalan wawasan kebangsaan di Medan, Sumatera Utara, Senin (23/9/2019). Pembekalan tersebut diberikan untuk meningkatkan pemahaman wawasan kebangsaan sekaligus menangkal radikalisme di kalangan mahasiswa.
Sejauh ini kata Juru bicara Kementerian Agama, Ali Rokhmat, kajian tentang pemakaian cadar dan celana cingkrang belum final.

Untuk mematangkannya, kementerian akan mengundang ulama serta tokoh agama.

Kendati demikian, kementerian belum memiliki data terkait seberapa banyak aparatur negara yang menggunakan cadar atau bercelana cingkrang serta bagaimana hal itu berdampak terhadap perilaku mereka.

"Selama ini belum dilakukan deteksi secara khusus, karena itu kan hak pribadi. Selama tidak menganggu stabilitas atau tugasnya. Kalau di kantor mau pakai pakaian sopan atau tidak berefek buruk, kan tidak jadi persoalan," ujar Ali Rokhmat.

Hanya saja, menurut Ali Rokhmat, ketika seorang aparatur negara mengenakan cadar dan kerjanya berhubungan dengan orang banyak, maka hal itu patut dikritisi.

Ia mencontohkan seorang dosen atau guru yang harus berkomunikasi tatap muka dengan anak didiknya. Cadar, katanya, disebut bakal mengurangi "kebebasan hak berkomunikasi".

"Misal dia dosen, kemudian dia mengajar pakai cadar, apakah menganggu atau mengurangi kebebasan hak berkomunikasi orang lain? Itu mungkin akan diatur secara khusus seperti di perguruan tinggi," katanya.

Karena itulah, aturan yang melarang cadar atau celana cingkrang tidak hanya berlaku di lembaga pemerintahan saja tapi juga pendidikan seperti sekolah dan perguruan tinggi.

"Orang kan nggak bisa mendengar suara saja, tapi mimiknya, sikap tubuh punya makna dalam komunikasi."

Menteri Fachrul Razi 'tak punya kompetensi bicara ajaran agama'

Sekjen Majelis Ulama Indonesia, Anwar Abbas, menyarankan Kementerian Agama tak mengurusi persoalan pemakaian busana cadar atau celana cingkrang bagi aparatur negara.

Sebab kendati ada perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang hal itu, tapi Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 mengharuskan pemerintah menjamin kemerdekaan warganya memeluk agama dan beribadah sesuai kepercayaannya.

Ia khawatir jika pemerintah sampai melarang aparatur negara menggunakan cadar atau celana cingkrang akan timbul kegaduhan.

Seminar yang diselenggarakan oleh Lembaga Persahabatan Ormas Islam (LPOI) tersebut bertajuk 'Selamatkan Indonesia dari Radikalis, Teroris, dan Separatis.
"Memakai cadar itu termasuk furu'iyah. Di situ bisa beda pendapat. Sikap MUI dalam hal furu'iyah harus menjunjung tinggi sikap toleransi. Jadi kita harus saling menghormati. Orang yang pakai cadar menghormati yang tidak pakai cadar. Begitu juga sebaliknya. Termasuk yang memakai celana cingkrang," tukas nya.

"Nah sekarang ada mau dibatasi di instansi pemerintah, tapi menurut Pasal 29 UUD 1945 negara harus melindungi. Jadi jangan sampai pemerintah membuat aturan yang bertentangan dengan UUD."

Menurut Abbas, agar tidak timbul penolakan, Kementerian Agama diminta berdialog terlebih dahulu dengan tokoh agama sebelum menerbitkan aturan.

Baginya Menteri Fachrul Razi yang berlatar belakang tentara "tak memiliki kompetensi yang cukup untuk mengambil keputusan tentang ajaran beragama".

"Menurut saya menteri nggak punya kompetensi bicara itu. Dia itu jenderal. Ibarat dokter kalau ada yang sakit, jangan insinyur yang menyelesaikan, panggil dokter," ujarnya.

"Dia latar belakangnya pertahanan keamanan, bukan agama. Dia nggak punya hak secara kedisiplinan tapi bisa membuat keputusan tentang substansi ajaran agama dengan bertanya kepada ulama."

Lebih jauh, Abbas menilai jika alasan keamanan yang digunakan menteri agama sehingga melarang cadar dan celana cingkrang, dalih itu kurang tepat. Pemerintah bisa mengantisipasi kejadian serupa dengan bantuan intelijen ataupun teknologi.

"Sekarang sudah zaman teknologi, kalau zaman baheula, saya paham. Kenapa nggak pakai teknologi? Kan kita ada uang untuk beli alat dan teknologi. Sehingga hal-hal yang kita takutkan, tidak terjadi."

Sumber: