OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Selasa, 23 Juni 2020

Saksi Kunci Kasus Penyerangan Novel: Mohon Maaf Saya Rasa Bukan Rahmat dan Ronny Pelakunya

Saksi Kunci Kasus Penyerangan Novel: Mohon Maaf Saya Rasa Bukan Rahmat dan Ronny Pelakunya




10Berita, Sejumlah saksi kunci dalam kasus penyiraman air keras terhadap penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan tak dihadirkan ke persidangan. Hal ini pun turut disesalkan oleh Tim Advokasi Novel Baswedan.

Dalam video berdurasi lima menit 36 detik yang diterima JawaPos.com, Senin (22/6/2020), menampilkan dua saksi kunci yang sempat melihat ada orang misterius yang melakukan pemantauan terhadap rumah Novel di Kelapa Gading, Jakarta Utara. Namun, kedua saksi tersebut tak dijelaskan identitasnya secara rinci.

Saksi pertama, dalam video rekaman tersebut terlihat memakai jaket berwarna hitam dengan menggunakan masker di bagian wajahnya. Dia menyebut, satu bulan sebelum penyiraman air keras yang menimpa Novel, dirinya sempat melihat orang asing yang mencurigakan.

“Mengapa saya harus memperhatikan mereka, karena kalau duduk di samping mereka memperhatikan rumah Pak Novel. Kemudian saya keluar (rumah) sambil ngobrol dengan teman, mereka pindah dari tempat duduk mereka, sambil jongkok memperhatikan rumah Pak Novel,” ucap saksi berjaket hitam.

Usai penyerangan terhadap Novel, saksi tersebut mengaku sempat mengantarkan Novel ke RS Mitra Keluarga Kelapa Gading. Menyampaikan kepada tim dokter kalau Novel disiram air keras.

“Ketika tiba di rumah sakit setelah kami bawa Novel Baswedan dari tempat kejadian, kami menyampaikan kepada dokter yang menangani bahwa korban mengalami penyiraman air keras,” cetus saksi tersebut.

Sementara itu, saksi kedua berjaket putih yang wajahnya ditutupi masker berwarna hitam mengatakan, sebenarnya dia mengharapkan dapat bersaksi di persidangan. Hal ini untuk menyamakan apakah yang dilihatnya benar kedua pelaku penyerangan terhadap Novel, yakni Rahmat Kadir dan Ronny Bugis.

“Sebenarnya saya punya harapan dipanggil ke pengadilan, sehingga bisa mencocokan secara langsung apakah orang yg saya lihat pada H-1 itu sama dengan dua orang yang saat ini menjadi terdakwa. Sejauh ini saya hanya membandingkan lewat media. Satu orang saya tidak melihat karena pakai helm full face, yang jelas ada satu orang yang badannya gempal,” ucap saksi yang tidak menyebutkan identitasnya itu.

“Kemudian yang kedua membuka helm dan berdiri. Ada kemiripan dengan salah satu terdakwa, tapi mohon maaf saya rasa bukan itu,” sambungnya.

Bahkan dia mengaku sempat juga mengantarkan Novel ke RS Mitra Keluarga Kelapa Gading. Dia menyebut, saat itu tim dokter yang menangani mengakui kalau Novel disiram air keras.

“Saya lah yang berbicara dengan dokter. Semua tenaga kesehatan yang berada di ruangan itu bilang bahwa bahwa itu adalah serangan air keras,” tegasnya.

Anggota Tim Advokasi Novel Baswedan, Kurnia Ramadhana menyampaikan, sejak awal Tim Advokasi Novel Baswedan sudah menduga bahwa proses persidangan hanya akan mempertontonkan sandiwara belaka. Sebab, jika persidangan ini memang benar-benar ingin mencari keadilan, maka dua orang terdakwa tersebut bukan orang yang tepat untuk dipersalahkan.

“Pada dasarnya persidangan pidana bertujuan untuk mencari kebenaran materiil. Jadi logikanya, setiap bukti serta saksi yang relevan semestinya dapat dihadirkan di persidangan. Namun, dalam persidangan ini justru sebaliknya. Bukti serta saksi penting malah ditutup-tutupi oleh penegak hukum,” sesal Kurnia ketika dikonfrimasi JawaPos.com, Senin (22/6).

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) ini menyebut, saksi kunci yang bisa membuka skenario sandiwara tidak dihadirkan ke persidangan. Padahal setidaknya saksi itu dapat menjelaskan hal-hal konkret yang terjadi di tempat kejadian perkara.

“Jadi alih-alih dapat mengungkap aktor intelektual serta motif di balik teror ini. Untuk menemukan dua pelaku penyiram air keras tersebut saja negara tidak mampu,” cetusnya.

Menanggapi adanya video pernyataan para saksi kunci ini, Fedrik Adhar, tim jaksa penuntut umum (JPU) yang menangani perkara penyiraman air ker Novel, tak membalas pesan konfirmasi yang dilayangkan JawaPos.com, ketika ditanya alasannya tak memanggil sejumlah saksi kunci tersebut ke persidangan.

Untuk diketahui, JPU telah menuntut Rahmat Kadir dan Ronny bugis dengan hukuman satu tahun pidana penjara. Jaksa menilai, Ronny dan Rahmat terbukti melakukan penganiayaan berat terhadap Novel.

Jaksa menyebut kedua terdakwa tidak ingin menyiramkan air keras ke bagian wajah Novel. Menurut jaksa, kedua terdakwa hanya ingin menyiramkan cairan keras ke badan Novel untuk memberikan pelajaran.

“Bahwa dalam fakta persidangan, terdakwa tidak pernah menginginkan melakukan penganiayaan berat. Terdakwa hanya akan memberikan pelajaran kepada saksi Novel Baswedan dengan melakukan penyiraman cairan air keras ke Novel Baswedan ke badan. Namun mengenai kepala korban, akibat perbuatan terdakwa, Novel Baswedan mengakibatkan tidak berfungsi mata kiri sebelah hingga cacat permanen,” ucap Jaksa Fedrik Adhar memcakan tuntutan.

Dalam pertimbangan Jaksa, hal yang memberatkan Ronny dan Rahmat dinilai telah mencederai institusi Polri. Sedangkan hal yang meringankan, keduanya berlaku sopan selama persidangan dan mengabdi di institusi Polri.

Atas perbuatannya, Ronny Bugis dan Rahmat Kadir dituntut Pasal 353 ayat (2) KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Sumber: JawaPos