Catatan M Rizal Fadillah*
SALAM-ONLINE: PDIP melalui Fraksi di DPR telah menjadi pengusung Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU) yang dinilai beraroma komunisme. Hal ini dapat menjadi pintu pembuka untuk mengusut asal muasal munculnya gagasan dan pembahasan tersebut. Penunjukan Rieke Diah Pitaloka sebagai Ketua Panja wajar dicurigai oleh masyarakat khususnya umat Islam. Maka, mulailah dari Rieke.
Ketuk palu Ketua DPR RI Puan Maharani yang tergesa-gesa menambah dugaan ada rekayasa untuk menggoalkan RUU yang dinilai membuka celah bagi pengembangan paham komunisme itu. Ketika RUU diusulkan oleh Fraksi atau anggota Fraksi tentu dilengkapi oleh naskah akademik dan draf RUU.
Siapa penyusun draf dan naskah akademik, penting untuk diketahui. Di situasi gaduh ini PDIP sebaiknya mengklarifikasi proses internalnya. PDIP harus membersihkan diri dari tuduhan sebagai partai sarang atau tempat sembunyi para kader komunis. Klarifikasi itu penting untuk membangun kembali kepercayaan. Jika tidak, PDIP wajar ada yang memberi stempel sebagai penista ideologi Pancasila.
Publik berhak menilai dengan obyektif untuk kemudian memaklumi, memaafkan, atau mendorong ke arah proses hukum. Yang jelas mengembangkan paham komunisme/marxisme-leninisme adalah perbuatan terlarang. Ideologi tidak boleh ditunggangi oleh kepentingan politik pragmatik, apalagi tindakan kriminal. Kualifikasinya makar.
PKI dan komunisme menjadi musuh seluruh rakyat Indonesia, bukan sekadar musuh “kadrun” dalam sebutan para “doking” si kodok peking. Tidak boleh dibuka sedikit pun celah untuk leluasanya para kader komunis bergerak atau menempel di institusi strategis, termasuk partai politik. Pengusutan mesti tuntas.
Presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan saatnya menjadi “komandan” dari pengawasan dan pembersihan berbagai institusi dari permainan dan perjuangan kaum komunis yang terlarang itu. Presiden tidak boleh sembunyi di gorong-gorong atau terus “semedi” di dalam gua istana untuk membiarkan apa yang diresahkan masyarakat.
Jika Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa sama sekali tidak mengetahui soal RUU HIP karena hal itu adalah inisiatif Dewan, tentu tak bisa diterima. Usulan diajukan oleh PDIP, dan Menkumham “pembantu dekat Presiden” Yasonna Laoly adalah kader PDIP. Presiden sendiri adalah “petugas partai” PDIP. Jadi mustahil Presiden tidak diinformasikan dini.
Dulu di masa Orde Lama Presiden Soekarno dinilai membiarkan berkembangnya komunisme. Akibatnya ada pihak yang menuduhnya terlibat, sekurangnya mengetahui terjadinya percobaan kudeta oleh PKI pada September 1965. Nah, Presiden Joko Widodo sekarang dituntut untuk lebih jelas dan tegas bersikap soal komunisme ini. Rakyat khawatir terhadap agenda dan upaya sistematik kader komunis.
RUU HIP menjadi bola panas. Masyarakat meminta pencabutan atau penghentian proses pembahasan, bukan menunda. Pemerintah mengambangkan dengan bahasa “menunda”. Ketika bola RUU ada di tangan Pemerintah sebenarnya pilihannya hanya dua, yaitu mengirim tim untuk pembahasan bersama DPR atau menyatakan tidak akan melakukan pembahasan.
Tak ada nomenklatur “menunda”.
Sudahi kegaduhan. Buang pikiran otak-atik RUU HIP. Lempar jauh-jauh RUU yang bermuatan pasal virus perusak Pancasila. Usut perancang dan perencananya. Beri sanksi politik. Rakyat sedang menunggu proses hukum.
Ini adalah peristiwa kejahatan politik yang tidak boleh diulangi.
*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Bandung, 2 Dzulqo’dah 1441 H/23 Juni 2020 M
Sumber: Salam Online.