10Berita -DALAM tradisi masyarakat Indonesia, kegiatan haul sering digelar. Dalam praktiknya, haul merupakan momentum untuk mengenang seorang tokoh, terutama para ulama yang telah wafat.
KH Hanif Muslih dalam buku “Peringatan Haul Ditinjau dari Hukum Islam” menyebutkan, secara etimologi makna haul berarti satu tahun. Penggunaan haul dalam istilah bermakna peringatan yang diadakan setahun sekali bertepatan dengan wafatnya tokoh masyarakat. Mereka adalah alim ulama yang sekaligus pejuang. “Kontribusi mereka bagi masyarakat membuat sosok yang selalu diingat sepanjang masa,” tulisnya.
Hanya saja sebagian umat Islam menanggap haul sebagai ibadah yang diada-adakan dan bukan ajaran Rasulullah SAW atau bid’ah.
Rais Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Ahmad Bahauddin Nursalim (Gus Baha), mengingakan banyak ulama di Indonesia yang setelah wafat tidak dikaji lagi pemikirannya karena anak cucunya mengharamkan haul. “Padahal, nasib seorang yang sudah wafat tergantung anak-cucunya,” tuturnya.
Pernyataan Gus Baha ini disampaikannya saat membedah kitab Adabul Alim wal Muta’allim karya KH M Hasyim Asy’ari di Pondok Pesantren Tebuireng, Kabupaten Jombang, Jawa Timur.
Ustad Wijayanto, da’i yang dosen Universitas Gadjah Mada, juga sependapat dengan Gus Baha. Acara haul, menurut Ustad Wijayanto, merupakan contoh bakti anak kepada orang tua. “Ketika orang tua sudah meninggal dunia, hal terpenting yang dilakukan anak adalah memanjatkan doa untuk mendiang orang tua,” ujarnya.
Acara haul itu juga menunjukkan bahwa orang tua berhasil membangun hubungan harmonis dengan sang anak semasa hidup. Sehingga anak betul-betul menghormati dan mencintai orang tuanya, bahkan ketika orang tua mereka telah berpulang ke rahmatullah.
Sumber: Eramuslim