RADIKAL, EKSTREM dan KEKERASAN
RADIKAL, EKSTREM dan KEKERASAN
Selama ini saya menganggap arti radikal, ekstrem dan kekerasan itu negatif dan merusak.
Sampai kemudian Mba Shinta yang mengaku dari gerakan anti radikal alumni ITB menuduh Pak Din Syamsudin, tokoh yang saya lihat termasuk moderat, dengan tuduhan radikal. Loh? Masa? Otak saya langsung terputar.
Kalau Habib Youknowwhowajarlah dianggap radikal. Gerakannya memang fokus ke nahi munkar (mencegah kemungkaran). Otomatis beliau dan ormasnya berhadapan langsung dengan orang-orang yang maunya bebas mengikuti hawa nafsu. Wajar kalau banyak musuh yang membenci.
Lha kalau Pak Din?
Kemudian saya berfikir lagi. Jangan-jangan pemahaman saya yang selama ini salah. Radikal, ekstrem dan kekerasan itu, mungkin saja, tidak negatif dan merusak. Yang baik-baik pun bisa memakai proses yang radikal, ekstrem dan keras.
Saya jadi teringat ketika kita ingin merdeka pada tahun 1945. Rupanya pemuda-pemuda berpikiran radikal-lah yang dengan berani 'menculik' Soekarno ke Rengasdengklok. Kata menculik ini agak aneh, tapi sekarang saya bisa mengerti. Kalau mau memanfaatkan momen memang harus pakai cara radikal. Culik saja. Lalu paksa memproklamasikan besoknya. Kalau para pemuda itu berpikiran moderat, kayaknya tidak ada istilah merebut kemerdekaan. Yang ada hanya menerima hadiah kemerdekaan. Lebih manis dan santun, seperti harapan para moderatis (lawan dari radikalis).
Kemudian ekstrem. Sebelumnya saya memahami ekstrem ini sebagai 'terlalu beda, bedanya keterlaluan'. Sekarang saya melihatnya sebagai hal yang biasa saja. Seorang tukang mebel misalnya. Bagaimana agar dia bisa menjadi camat? Pasti perlu langkah-langkah ekstrem, agar si tukang mebel berubah menjadi pemimpin yang kharismatik dan sanggup memegang amanah. Begitu juga misalnya mengubah penjual martabak menjadi ketua RT. Perlu perubahan yang ekstrem, tapi yang ekstrem itu sebenarnya biasa dan bisa saja. Asal jangan letoy, profesi orang bisa diubah seekstrem apapun.
Kemudian kekerasan. Kita yang laki-laki pasti tahu betul pentingnya kekerasan. Ada bidang yang tidak bisa ditempuh dengan lemah lembut. Harus keras, titik. Ternyata perempuan juga sepakat: harus keras. Kalau laki-laki dan perempuan sudah sepakat, artinya semua orang sepakat: kekerasan itu harus ada.
Bagaimana kalau nanti terjadi bentrokan? Bagaimana kalau radikal bebas bentrok dengan radikal terikat, ekstrem kanan bentrok dengan ekstrem kiri, keras bertulang adu dengan keras tanpa tulang...?
Jawabnya: disitulah pentingnya peraturan, hukum dan aparat penegaknya. Meskipun bentrokan perlu dicegah, kita harus menerima bahwa radikal, ekstrem dan kekerasan itu penting, tidak boleh dipadamkan. Memadamkan ketiga hal tersebut justru buruk, bisa mengubah kita semua menjadi molusca yang lunak, tidak ekstrem, berlendir dan perlu cangkang sepanjang hidup.
Radikal, ekstrem dan kekerasan jangan dipadamkan, diatur saja. Dan kita juga gak usah sensi kalau dituduh dengan ketiga istilah itu. Ketiganya penting kok. Toh kalau ada yang ngajak ribut, dia juga pasti radikal, ekstrem dan keras. Hanya saja di kubu seberang. Kalau yang moderat, letoy dan lemah, mana berani mempermasalahkan.
Sebagai penutup, tentu saja saya menganjurkan agar kita tetap menjadi anak bangsa yang baik. Harus radikal dalam membela agama, ekstrem dalam mempertahankan NKRI, keras terhadap pencuri asing maupun lokal (koruptor)... tapi tetap hidup rukun dan ayem tentrem dengan sesama. Toleransi dan gotong-royongnya dalam kreativitas dan karya, bukan dalam tekanan yang memaksa.
Semoga kita menjadi bangsa yang selalu bergolak dalam semangat membara, sebagai pejuang yang tak pernah lemah apalagi putus asa.
(By Amin Yadi)
RADIKAL, EKSTREM dan KEKERASAN Selama ini saya menganggap arti radikal, ekstrem dan kekerasan itu negatif dan...
Dikirim oleh Amin Yadipada Sabtu, 13 Februari 2021