OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Sabtu, 20 Februari 2021

RADIKAL RADIKUL EKSTRIMIS EKSTRIMUS

RADIKAL RADIKUL EKSTRIMIS EKSTRIMUS



RADIKAL RADIKUL EKSTRIMIS EKSTRIMUS

BuzzeRp keberatan GAR ITB yang mengadukan radikal radikul Pak Din dikaitkan dengan Presiden Jokowi. Menag atas nama pemerintah juga cuci tangan, tidak setuju radikal radikul disematkan pada Pak Din. Padahal pemerintah adalah pabriknya stigma radikal radikul.

Ini baru satu contoh saja kebingungan pemerintah pada istilah yang dibikinnya sendiri. Pada awalnya sih Jokowi nggak begitu tertarik dengan radikal radikul. Setelah 212 yang bikin istana jadi kaya ayam sayur barulah disusun cara memerangi radikal radikul. Mulai dari cara halus sampai cara kasar.

Pada priode keduanya, pesan pada para menteri yang baru dilantik bukan bagaimana bekerja yang baik untuk kemajuan bangsa, tapi tugas utama para menteri adalah memerangi radikal radikul. Menteri agamanya sengaja dari kalangan militer membentuk Satgas Anti Radikilasme. Tugasnya menyisir ASN yang jenggotan dan cingkrangan.

Ketika Menag Fahrul Rozi sudah kelihatan agak bosan main radikal radikulan, dan ragu-ragu meradikal-radikulkan FPI, BuzzeRp minta Menag diganti dengan yang lebih radikal. Maka Ketua Banser pun menggantikan Fahrul Razi.

Kedatangan HRS dari Arab Saudi bikin seolah istana pindah ke Petamburan. BuzzeRp marah. Mereka mengerek tagar Jokowi takut FPI. Istana merespon. Mengirim tentara nyabutin baliho sampai pada puncaknya penembakan 6 pengawal HRS dan membubarkan FPI.

Tidak puas sampai disitu. Kalau Satgas Anti Radikalisme cuma menyasar pada ASN, maka Jokowi merasa perlu masyarakat dilibatkan memerangi radikalisme. Masyasrakat bisa saling adu mengadu radikal radikul. Maka dibuatlah Peraturan Presiden (Perpres) No. 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme Tahun 2020-2024 atau yang disingkat dengan Perpres Ekstremisme. 

Perpres ini lah yang barangkali bikin GAR ITB seolah mendapatkan amunisi baru. Tambah semangat meradikal radikulkan tokoh kritis seperti Pak Din. Nyambungnya ke Jokowi tuh di situ.

Tentang istilah radikal radikul yang berubah jadi ekstrimis menandakan Jokowi juga bingung dengan jenis kelamin radikal radikul. Pada rapat terbatas dengan topik Penyampaian Program dan Kegiatan di Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, di Kantor Presiden, 31 Oktober 2019, Jokowi mengusulkan mengganti istilah radikalisme dengan manipulator agama. Istilah baru itu nggak laku. Bahkan Jokowi sendiri pun nggak lagi mengucapkan istilah baru itu, kembali ke laptop, lebih enak radikal radikul, udah kadung populer. 

Walaupun perpresnya pakai istilah ekstrimisme bukan radikalisme, tetap saja tim hore istana masih setia dengan istilah radikalisme. Bisa saja BuzzeRp bilang, itu cuma istilah saja. Mau radikalisme, mau manipulator agama, mau ekstrimisme, ya tetap saja yang dimaksud adalah radikalisme. Itu pendapat dungu, orang pinter beda lagi.

Menurut orang pinter, apabila kita mengkajinya menggunakan filsafat bahasa dan filsafat logika, tanggapan umum (common sense) semacam itu adalah kesalahan besar. Bukan orang pinter kalau nggak ngutip orang pinter lainnya. Orang pinter lainnya itu bernama Friedrich Ludwig Gottlob Frege, seorang filsuf logika modern asal Jerman.

Menurut orang pinter yang akrab dipanggil Frege ini mengatakan, buah pikiran tidak akan berguna apabila tidak dapat ditangkap oleh orang lain. Singkatnya, buah pikiran haruslah memiliki relasi dengan realitas dan memungkinkan intersubjektivitas.

Persoalan terbesar rezim adalah logika. Makanya komunikasi ke rakyatnya seperti Bolot. Mau bilang A, ditangkap oleh rakyatnya B, mau bilang B, ditangkap oleh rakyatnya C.

Mau minta dikritik tapi realitasnya rakyat yang kritis kalau nggak dibully ya masuk penjara. Supaya yang ngeritik nggak masuk penjara, berjanji akan mengubah UU ITE. Rakyat menganggap penguasa sudah nggak bolot lagi. Makanya janji itu  disambut  positif oleh rakyatnya. Eh, ujung-ujungnya malah janjinya yang direvisi. Bukan merevisi UU ITE tapi bikin tafsir seragam terhadap UU ITE. Masih tetap bolot. Haji Bolot saja kalau pakai jas, pakai dasi juga nampak keren. Tapi tetap saja bolot.

(By Balyanur)

Sumber: Eramuslim