Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar ITS, @Rosyid College of Arts
Skandal Sambo di tubuh kepolisian yang terkuak beberapa minggu ini adalah semacam wake up call bagi bangsa ini bahwa Republik ini dalam ancaman eksistensial.
Oleh: Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar ITS, @Rosyid College of Arts
KESALAHAN tata kelola Republik ini terjadi sejak UUD 1945 diganti secara serampangan menjadi UUD 2002 yang secara resmi masih disebut UUD 45. Kesalahan itu membatalkan tujuan reformasi yaitu pemberantasan korupsi, desentralisasi dan demokratisasi.
Kesalahan tata kelola ini melemahkan masyarakat sipil atau civil society yang dikorbankan bagi penguatan sekaligus dominasi partai politik pada hampir semua dimensi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Akibatnya, demokrasi kita menjadi demokrasi prosedural lontong sayur, di mana Pemilu hanya menjadi instrumen transfer bersih hak-hak politik warga negara ke partai-partai politik. Namun, aspirasi pemilih itu berhenti di bilik suara, jarang sekali sampai ke Senayan.
Dalam UUD 2002 itu, partai politik menjadi organisasi yang berpotensi bisa melakukan monopoli politik secara radikal atas pasar politik Republik ini.
Sejak memperoleh kewenangan besar untuk mencalonkan pasangan calon presiden dan wakil presiden, sehingga partai-partai politik melalui DPR telah melakukan serangkaian maladministrasi publik dengan segala cara membuat, menafsirkan (melalui berbagai regulasi turunan UU), dan menegakkan Undang Undang sesuai kepentingan elit politik, bukan kepentingan publik warga negara, termasuk UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI.
Kemudian hampir semua jabatan publik harus melalui fit and proper test oleh anggota DPR. Begitulah partai politik memonopoli pasar politik sebagai public goods secara radikal seperti persekolahan massal untuk memonopoli pasar pendidikan secara radikal.
Akibat maladministrasi publik yang luas ini, kekuatan civil society dilemahkan secara serius. Setiap kekuatan oposisi sipil di luar parlemen itu dilumpuhkan melalui kriminalisasi dan penangkapan yang tidak sah oleh polisi, bahkan kalau perlu melalui extra-judicial killling seperti yang terjadi pada enam laskar FPI yang dikenal luas sebagai kasus KM 50.
Organisasi massa yang membangun wacana alternatif secara damai seperti HTI dibungkam melalui UU Ormas. Beberapa tokoh publik dicap sebagai penceramah radikal, anti-NKRI, anti-Pancasila, bahkan dituduh sebagai anggota jaringan teroris.
Pelumpuhan masyarakat sipil itu berpuncak pada kebijakan pembatasan kebebasan publik selama masa pandemi Covid-19. DPR praktis membiarkan eksekutif melakukan apa saja tanpa kontrol, termasuk pertanggungjawaban anggaran.
Pembatasan mobilitas, dan maskerisasi dan vaksinasi massal paksa yang disahkan karena alasan public health emergency of international concern kini dijadikan salah satu ikon keberhasilan rezim saat ini. Padahal, jika mau, ada opsi kebijakan kesehatan lain yang jauh lebih baik sehingga bangsa ini bisa recover faster and grow stronger.
Sementara media utama dikuasai oleh pemodal besar yang juga membiayai partai politik, kampus sebagai elemen masyarakat sipil yang paling terdidik sekaligus penjaga nurani bangsa terakhir pun dilumpuhkan.
Banyak RUU selama pandemi diputuskan tanpa konsultasi publik yang memadai di kampus-kampus. Kini hampir semua Perguruan Tinggi Negeri dengan suka cita menjadi sekedar penyedia buruh trampil berdasi yang setia bekerja pada investor besar terutama asing.
Template kehidupan mahasiswa saat ini adalah lulus cepat, kalau bisa cum laude, lalu bekerja sebagai pegawai negeri atau di BUMN atau MNC.
Sumber: Eramuslim