
Orang-orang berdiri di atas reruntuhan gedung yang runtuh di kota Kahramanmaras, Turkiye, 8 Februari 2023. Foto: AFP
10Berita –Ia dan saudara-saudaranya meninggalkan kampung di Turkistan Timur (Xinjiang) demi masa depan yang lebih baik di negeri seberang. Namun, harapan dan impian pria Uyghur berusia 24 tahun ini akhirnya terkubur bersama gempa yang menghancurkan Turkiye, Suriah, dan kawasan sekitarnya.
Namanya Abdulla Wali Alim. Ia telah lulus kuliah pendidikan guru, lolos ujian menjadi pegawai, dan sedang menunggu penempatan kerja. Terbayang impiannya akan menjadi nyata setelah meninggalkan tanah air, orang tua, dan keluarga 10 tahun lamanya.
Ketika gempa berkekuatan 7,8 skala richter mengguncang kota Kahramanmaras, Turkiye, gedung apartemen tempat tinggalnya runtuh. Waktu itu, suara Abdulla sempat terdengar oleh temannya, Abdulla Taghliq.
Taghliq berusaha mencari-carinya. Tampaklah Abdulla yang terjebak reruntuhan. Kondisinya parah, tetapi sepertinya masih ada peluang untuk diselamatkan.
Kondisi Abdulla masih hidup, tetapi tidak sadarkan diri. Tujuh jam kemudian, ia dibawa dengan ambulans ke Istanbul. Jarak dari Kahramanmaras sekitar 1.200 kilometer, memakan waktu sekitar 12 jam perjalanan. Namun… sudah terlambat.
“Kami membawanya ke unit perawatan intensif rumah sakit. Para dokter berusaha menyelamatkannya, tetapi napasnya berhenti, dan ia meninggal dunia,” kata Taghliq kepada Radio Free Asia.

Abdulla Alim, lulusan Universitas Imam Sutcu di Kahramanmaras itu tewas dalam gempa bumi yang melanda Turki dan Suriah pada Senin 6 Februari 2023. Sumber: Radio Free Asia
Berita kematiannya dengan cepat menyebar di antara 50.000 komunitas Uyghur di Turkiye dan sekitarnya.
“Abdulla orang yang jujur dan baik hati. Dia dua tahun lebih muda dari saya. Kami berteman dekat dan selalu bersama. Kami makan bersama satu hari sebelum gempa,” kenang Taghliq.
Jenazah Abdulla disalatkan di kompleks Masjid Fatih, Istanbul.
Merajut Mimpi
Perjalanan Abdulla Wali Alim ke Turkiye didorong oleh penindasan yang dirasakan keluarganya di kampung halamannya, Turkistan Timur. Sebagaimana diketahui, rezim komunis Cina terus menindas etnis Uyghur, membatasi gerak mereka, dan begitu mudah menjatuhkan hukuman berat hanya karena pelanggaran yang ringan.
Ayah Abdulla bernama Eziz Ahun. Ia memiliki tiga anak. Semuanya diminta pindah ke luar negeri, dengan harapan agar masa depannya lebih baik.
Abdulla dan kakak laki-lakinya, Zikrulla, meninggalkan Turkistan Timur pada tahun 2013. Ketika itu Abdulla baru berusia 14 tahun. Mereka pergi ke Mesir untuk belajar bahasa Arab.
Beberapa saat kemudian, mereka memutuskan pindah ke Turkiye untuk melanjutkan pendidikan. Turkiye dianggap kondusif dan mampu memberikan perlindungan bagi diaspora Uyghur, karena memiliki kesamaan budaya, bahasa, dan agama. Sedangkan satu lagi saudara Abdulla, Obulqasim Eziz, memilih pindah ke Belanda.
Dua tahun kemudian, ada berita menyedihkan dari Cina. Aparat berwenang menangkap dan menghukum Eziz Ahun tujuh tahun penjara. Penyebabnya, dia telah mengirim putra-putranya ke luar negeri.
Eziz Ahun akhirnya meninggal di penjara beberapa bulan kemudian. Menurut Zikrulla, pihak keluarga tidak diberitahu tentang penyebab kematian ayahnya.
Tentu saja hati Zikrulla, Abdulla, dan Obulqasim hancur. Ayahnya yang tercinta telah membayar amat mahal demi masa depan putra-putranya.
Pada tahun 2016, Abdulla diterima kuliah di Universitas Imam Sutcu, Kahramanmaras. Lokasinya sekitar 450 kilometer tenggara ibu kota Ankara. Abdulla lulus pada tahun 2021 dan telah menjadi warga negara Turkiye.
Beberapa waktu lalu, Abdulla sedang menunggu pengumuman penempatan kerja sebagai guru. Qadarullah, gempa mengguncang Turkiye dan meruntuhkan gedung apartemen tempat tinggalnya. Tubuh Abdulla tertimbun puing-puing bangunan. Terkubur pula impiannya. (Radio Free Asia)
Sumber: Sahabat Al-Aqsha.