OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.
Tampilkan postingan dengan label artikel. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label artikel. Tampilkan semua postingan

Senin, 14 Mei 2018

Bom dan Skenario Sang Sutradara

Bom dan Skenario Sang Sutradara


10Berita, Bummm… Bom meledak. Ramai-ramai mengutuk. Meledak lagi, ramai-ramai mengutuk lagi. Kutukan berjama’ah. Diawali ucapan belasungkawa kepada keluarga para korban. Wartawan banjir undangan Pers Conference dan Release Pers. Sejumlah tokoh dan pimpinan ormas buat pernyataan. Sudah semestinya. Wajib dan harus. Itu bagian dari sense of humanity. Etika persaudaraan. Lalu, ledakan bom berhenti? Tidak! Masih ada cerita di halaman dan jilid berikutnya.

Bom akan terus meledak. Sampai kapan? Sampai ledakannya tak lagi efektif jadi alat kepentingan. Kok nuduh? Bukan. Cuma ingin bicara lebih cerdas dan substansial. Lalu, kepentingan siapa? Nah, kalau itu kalimatnya menuduh.

Simulasinya sederhana. Ada momentum yang tepat, petakan tempat dan siapkan narasinya. Lalu, bom diledakkan. Dimana intelijennya? Kok gak terlacak? Jangan tanya! Tak sesederhana itu. Masalahnya sangat kompleks. Bagi siapa? Pakai nanya lagi.

Polanya selalu sama. Bom meledak. Di tempat ibadah, atau di pusat keramaian. Media ramai, dan rakyat ribut. Investigasi, tak lama kemudian pelakunya tertangkap. Nama-namanya teridentifikasi. Pimpinannya si Anu. Si Anu jadi terkenal. Populer layaknya artis Holywood. Diburu sebagai target. Saatnya tiba, si Anu digrebek dan ditembak. Mati, dan ketemu Sang Bidadari. Ngayal! Dan terus begitu polanya. Tak berubah.

Apa targetnya? Gak pernah jelas. Setidaknya bagi orang awam. Hanya samar-samar kedengaran suara: perang di negara kafir. Jihad melawan bughat. Ingin mati sahid. Makin gak jelas lagi.

Bom itu soal nalar. Ketika nalar kepentingan bertemu nalar kebodohan, bom menjadi alat efektif untuk sebuah tujuan. Tepatnya, sebuah kepentingan. Kepentingan apa?

Pertama, untuk menyerang kelompok tertentu. Stigma dibuat, opini diciptakan, terorisme dan radikalisme didesign narasinya. Umat Islam jadi terdakwa. Cap ekstrimis nempel di jidatnya. Satu ormas dengan ormas lain saling serang. Beda pilihan politik dapat lahan pertempuran. Celana cingkrang, jidat hitam, jenggot panjang dan cadar dibawa-bawa. Jadi aksesoris ledekan. Apa hubungannya? Lalu, image muncul: ajaran Islam itu membahayakan. Hehehe. Kerja yang sempurna!

Kedua, untuk menciptakan suasana tidak aman. Kesan konflik dimunculkan. Rasa takut dikondisikan. Untuk pengalihan isu? Ah, ada-ada aja. Tapi memang, dolar naik lepas pantauan. Kemenangan oposisi Malaysia sejenak terlupakan. Hasil survei balon presiden terabaikan.

Demi merawat anggaran? Anggaran siapa? Bisa siapa saja. Atau untuk menggeser suara dan elektabilitas seseorang? Jangan su’udhan. Gak baik. Bisa-bisa jadi delik aduan. Tapi, kalau dipikir, masuk akal juga. Apalagi, pendaftaran pilpres hanya tinggal beberapa bulan. Agustus sudah dekat.

Publik curiga. Jangan-jangan, bom bunuh diri memang bukan tunggal nalarnya. Nalar bidadari atau nalar surgawi. Tapi, bagian dari sekian banyak nalar yang terkait dan saling membutuhkan. Yang satu butuh bidadari, yang lainya butuh duniawi. Bisa jadi kecurigaan itu benar. Bom tidak berdiri sendiri. “Dependent variable”. Seperti puzzle, saling melengkapi kebutuhan.

Atas nama agama? Itu soal strategi. Di dalam agama, ada ideologi dan fanatisme. Lebih mudah menemukan dan melatih aktornya. Gampang goreng isunya. Enak jualannya. Besar peluang cari dananya. Terutama bagi mereka yang suka memancing ikan di air keruh.

Rakyat mulai belajar. Pelan-pelan dibuat sadar. Bosan mengutuk para pelaku. Ada yang bilang: para pelaku hanya pion yang dilatih untuk jadi korban. Mereka bukan orang-orang penting dari sebuah tragedi melo drama ledakan. Para aktor tak lebih dari para pengeja bidadari surga. Cukup bidadari surga. Tak terlalu minat bidadari dunia. Mungkin bidadari dunia besar ongkosnya. Bidadari akhirat? Gratis! Asal mati sahid. Oh ya? Adakah mati sahid dalam kutukan umat Islam?

Para aktor patuh pada sekenario dan catatan sang sutradara. Siapa Sang Sutradara? Tak pernah terungkap. Penuh misteri dan senyap. Hanya Almarhum Gus Dur, satu sosok yang bernyali membongkar gelap.

Marah rakyat mulai mengarah kepada sang sutradara. Pembuat dan penyedia sekenario ledakan. Tapi, anonim. Tak ada identitas pada mereka. Hanya spekulasi dan duga-duga. Tapi, jelas arahnya.

Para analis bilang, mereka bukan orang biasa. Tidak sembarangan manusia. Kelompok profesional yang terlatih, berpengetahuan soal teori, dan berpengalaman soal strategi.

Boleh jadi mereka adalah agent. Teroris jadi barang jualan untuk memperbesar pendapatan. Siapa saja bisa pesan. Termasuk pihak luar negeri yang gencar jual senjata dan bicara HAM..

Layaknya barang dagangan, makin berisiko dan banyak korban, harga pasti menyesuaikan. Siapa? Jangan tanya lagi. Jawabnya gelap dan senyap. Setidaknya bagi orang awam. Anda orang awam?

Yang pasti, rakyat jadi korban. Aparat lalu dikecam karena dianggap keteledoran. Negara “dikesankan” tak aman. Sang sutradara “anonim” tetap sembunyi dan tak ketahuan. Pesanan terus mengalir, dan keuntungan bisa dinikmati hingga untuk anak cucu tujuh turunan. Besar sekali? Begitulah kira-kira yang tercatat di sekenario Sang Sutradara. 

Penulis: Tony Rosyid

Sumber : PORTAL ISLAM

Sabtu, 12 Mei 2018

Mahathir Yang Menang, Kenapa Disini Yang Kejang? 😂

Mahathir Yang Menang, Kenapa Disini Yang Kejang? 😂


10Berita, Mahathir Yang Menang, Kenapa Disini Yang Kejang? 😂 Kenapa hayooo? Mau tau? Atau mau tau bangetttt? Simak paparan wartawan senior Hersubeno Arief berikut...

Mahathir Effect dan #2019GantiPresiden

Oleh: Hersubeno Arief

Apakah kemenangan kubu oposisi (pembangkang) di Malaysia punya dampak terhadap pertarungan politik Indonesia, khususnya Pilpres 2019? Topik tersebut banyak menyita perbincangan publik dalam dua hari terakhir.

Kemenangan koalisi Pakatan Harapan yang dipimpin oleh mantan Perdana Menteri (PM) Mahathir Muhammad menumbuhkan suatu keyakinan bahwa incumbent sekuat apapun, bisa dikalahkan.

Sampai sehari menjelang pemilu, banyak pengamat yang memperkirakan Barisan Nasional (BN), kubu pemerintah yang dipimpin PM Najib Tun Abdul Radjak akan menang tipis. Kendati diterpa berbagai isu, koalisi yang telah berkuasa selama 60 tahun di Malaysia tersebut akan tetap berjaya.

Fakta menunjukkan hasil yang sebaliknya. Tsunami politik melanda kubu BN. Kubu oposisi yang terdiri dari 4 partai berhasil meraih 113 kursi. Sudah memenuhi syarat untuk membentuk pemerintahan sendiri, yakni 112 kursi. Sementara kubu pemerintah yang terdiri dari 13 partai hanya memperoleh 79 kursi.

Para pengamat menyebutnya bencana yang menimpa Najib dan BN karena adanya faktor Mahathir Effect. Faktor apa saja yang kemudian meyakinkan kalangan kubu penentang Jokowi bahwa Mahathir Effect bisa berimbas secara signifikan dalam Pilpres 2019?

Tiga faktor kesamaan

Setidaknya ada tiga faktor yang bila kita cermati ada kesamaan antara Malaysia dan Indonesia. Ketiga faktor itu adalah isu dalam kampanye, bersatunya kubu koalisi, dan adanya figur pemersatu.

Pertama, soal isu. Di Malaysia isu korupsi, kenaikan harga barang, kenaikan tarif jalan tol, pencabutan subsidi listrik, kenaikan harga bahan bakar, utang negara yang menggunung, nilai ringgit yang terus menurun, dan isu pengaruh Cina yang semakin kuat bersamaan dengan masuknya investasi negeri tirai bambu itu. Yang juga cukup menarik, isu bahwa Najb semakin dekat dengan musuh Islam juga menjadi jualan kubu oposisi.

Isu itu hampir sama persis dengan yang terjadi di Indonesia. Isu korupsi yang melibatkan para pejabat tinggi negara dan elit partai penguasa, subsidi listrik dicabut, harga BBM non subsidi yang dilepas ke mekanisme pasar, kenaikan tarif jalan tol, impor kebutuhan barang pokok, utang negara yang menggunung, nilai rupiah yang terus melemah terhadap dolar, pertumbuhan ekonomi yang tidak memenuhi target, dan banjir tenaga kerja asal Cina yang masuk bersamaan proyek-proyek investasi di Indonesia. Tentu saja yang paling berat adalah tudingan Jokowi memusuhi umat Islam dan para ulama.

Isu-isu tersebut berhasil dikelola oleh kubu pembangkang dengan baik. Khusus korupsi yang melibatkan keluarga Najib, dan pengaruh Cina yang merajalela di Malaysia menjadi isu utama yang menjadi andalan kubu oposisi untuk men-downgrade pemerintah.

Mahathir bahkan sangat serius menangani kedua isu ini. Tak lama setelah terpilih, Mahathir menyebut akan membawa kasus korupsi Najib ke ranah hukum, dan akan melakukan renegosiasi proyek-proyek Cina. Isu ini bahkan diangkat menjadi berita besar di laman media  AS, The New York Times.

Apakah formula dari negeri jiran itu juga manjur di Indonesia, ini yang masih kita tunggu. Namun isu memusuhi umat Islam, dan tenaga kerja Cina belakangan ini sangat merepotkan pemerintahan Jokowi. Isu ekonomi berupa penurunan rupiah, kemungkinan pemerintah terpaksa menaikkan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) , gagalnya pemerintah memenuhi target pertumbuhan ekononomi, juga menjadi ancaman yang serius.

Kedua, bersatunya partai oposisi. Di Malaysia partai-partai oposisi berhasil menyingkirkan perbedaan yang bahkan sangat prinsipil. Mereka membentuk koalisi Pakatan Harapan (Aliansi Harapan) yang terdiri dari empat partai. Yakni Partai Aksi Demokratis (PAD) yang merupakan partai etnis Cina, Partai Keadilan Rakyat (PKR) yang didirikan Anwar Ibrahim, Partai Amanah Nasional (PAN) pecahan dari PAS dan sejumlah intelektual dari perguruan tinggi, dan Partai Pribumi Bersatu Malaysia (PPBM) pimpinan Mahathir. Hanya PAS yang berbasis partai Islam yang menolak bergabung.

Bergabungnya PKR pimpinan Anwar Ibrahim (70), dan PPBM pimpinan Mahathir ini sangat menarik. Sebagai mantan Deputi PM 1993-1998), Anwar disingkirkan dari kancah politik oleh Mahathir dengan tuduhan korupsi dan sodomi (1998). Dia kemudian menjadi penentang utama pemerintahan Mahathir, dan kemudian berlanjut pada pemerintahan Najib. Dia kini juga sedang menjalani hukuman selama 5 tahun, karena sodomi (lagi).

Nurul Izzah putri Anwar tertua menyatakan bila pertimbangannya personal, maka sangat berat untuk bersekutu dengan Mahathir. Namun untuk masa depan anak-anaknya, untuk masa depan Malaysia yang lebih baik, dia menyingkirkan semua pertimbangan personal.

Bisakah kubu oposisi di Indonesia, Gerindra, PKS, Demokrat, dan PAN bersatu untuk mengalahkan Jokowi?

Ketiga, faktor figur pemersatu. Di Malaysia faktor figur Mahathir dan Anwar menjadi kunci kekuatan oposisi. Keputusan menunjuk Mahathir yang telah berusia lanjut (92) selain karena pertimbangan Anwar sedang di penjara, juga karena faktor reputasi dan pengalaman Mahathir.

Sebagai PM terlama (1981-2003) Mahathir juga dikenal sangat berhasil membawa kemajuan bagi Malaysia. Mahathir yang sering juga disebut sebagai Sukarno kecil, berhasil menjadikan Malaysia sebagai negara yang dihormati tidak hanya di kawasan Asia Tenggara, tapi juga di forum-forum dunia.

Publik di Malaysia tentu tidak akan lupa, ketika Mahathir dengan gagah berani menolak campur tangan IMF ketika Malaysia seperti halnya Indonesia dilanda krisis ekonomi (1997). Indonesia yang bertekuk lutut kepada IMF mengalami keterpurukan ekonomi cukup panjang. Sementara Malaysia bisa segera bangkit. Presiden Soeharto akhirnya jatuh (1998), sementara Mahathir terus memerintah, sampai dia kemudian mengundurkan diri (2003).

Siapakah di Indonesia yang bisa berperan seperti Mahathir, dan Anwar? Bisakah Prabowo, Salim Segaf, Sohibul Iman, Susilo Bambang Yudhoyono, Amien Rais, dan Zulkifli Hasan menyingkirkan ganjalan dan kepentingan pribadi, seperti Anwar dan Mahathir? Masih menjadi pertanyaan besar.

Seperti kata Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan, kemenangan Mahathir menjadi inspirasi bagi Indonesia. Masalahnya bagaimana mewujudkan inspirasi itu menjadi sebuah aksi nyata?

Sumber: https://www.hersubenoarief.com/artikel/mahathir-effect-dan-2019gantipresiden/, PI 

Jumat, 11 Mei 2018

Malaysia Sudah, Indonesia Tahun Depan

Malaysia Sudah, Indonesia Tahun Depan


10Berita – Dibilang senja, ya memang senja usianya, tapi nampaknya tak menghalangi rakyat Malaysia untuk menentukan pemimpin barunya, Mahathir Mohamad politisi gaek berusia 93 tahun kembali terpilih sebagai perdana menteri Malaysia pada pemilu ke-14 kemarin, setelah meletakkan jabatannya sebagai penguasa selama 22 tahun sejak 1981-2003 lalu.

Memang beberapa tahun terakhir ini Malaysia sedang dihantam isu korupsi yang luar biasa, bagaimana tidak pasalnya diduga ada sejumlah uang yang nilainya kurang lebih setara dengan hampir sepuluh trilyun rupiah masuk ke rekening pribadi perdana menteri Najib Razak yang sedang menjabat.

Yang menarik bila kita lihat sejarahnya, Najib Razak ini merupakan ‘anak didik emas’ nya Mahathir Mohamad, bahkan Najib Razak menjadi pemimpin partai yang didirikan oleh Mahathir Mohamad, Partai United Malays National Organisation (UMNO), yang pada akhirnya UMNO lebih memilih berpihak kepada pemimpinnya, ketimbang pada yang mendirikannya.

Kasus yang menggoncang kepemimpinan Najib Razak, membuat gerah Mahathir Mohamad sang guru politiknya Najib, kasus ini tidak main-main, karena diketahui 1Malaysia Development Berhad (1MDB), badan investasi negara yang didirikan oleh Najib Razak, sebagai bagian dari Program Transformasi Ekonomi, selama enam tahun beroperasi, 1MDB dilaporkan memiliki utang hingga 42 miliar ringgit atau setara Rp149 triliun, memberikan gambaran buruk pertumbuhan ekonomi Malaysia.

Hingga akhirnya, pada 2 Juli 2015, Wall Street Journal merilis berita yang mengindikasikan ada aliran dana sebesar Rp9,5 triliun dari 1 MDB ke rekening pribadi Najib. Dan itulah awal yang membuat Mahathir Mohamad geram terhadap kondisi bangsanya. Tentu geram juga ingin menghentikan langkah anak didiknya tersebut, sekalipun Najib Rajak merupakan darah biru politik Malaysia, karena ayah dan pamannya merupakan mantan perdana menteri malaysia juga. Tapi, Bukan Mahathir Mohamad namanya bila dia tinggal diam.

Berkali-kali dipersekusi saat melakukan orasi, tapi tak menghentikan langkah Mahathir Mohamad untuk menyelamatkan negeri, berkolaborasi dengan mantan rivalnya Anwar Ibrahim, yang memimpin gerakan oposisi di negeri jiran itu, akhirnya, bisa meruntuhkan koalisi Barisan Nasional (BN) yang sudah bertengger menjadi penguasa selama lebih dari lima puluh tahun terakhir.

Banyak pelajaran dari pemilu Malaysia yang baru saja selesai dihelat, diantaranya, jadi petahana itu tak perlu jumawa. Lalu, usia tak dapat menghalangi siapa pun orang baik yang siap menyelamatkan keterpurukan bangsanya, oposisi yang berpihak pada rakyat pada akhirnya akan diberi mandat oleh rakyat, dan tentu saja yang perlu sangat kita perhatikan juga, bagaimana publik Malaysia dewasa dalam menentukan pilihan terhadap pemimpin harapan mereka. Sekalipun melawan petahana, pada akhirnya, mandat rakyat juga yang utama.

Nah, Itu malaysia, tahun depan giliran kita, Indonesia. Menentukan pemimpin terbaik bangsa, jangan lihat usia, tapi lihat komitmennya memajukan bangsa! []

Penulis: Kawendra Lukistian

Sumber :swa medium, Eramuslim.com

Kamis, 10 Mei 2018

Rontoknya Empat Pilar Istana

Rontoknya Empat Pilar Istana


10Berita, Gerakan kelompok Asal Bukan Jokowi (ABJ) tak dapat dibendung. Makin lama makin membesar. Salah satunya hashtag #2019GantiPresiden. Sudah mulai kepung istana. Dibiarkan, terus membesar. Dilarang, makin cepat besarnya.

Elektabilitas Jokowi diprediksi akan terus turun. Tak dapat ditahan. Kelompok ABJ tak berhenti bergerak. Terus mengambil posisi dan masif melakukan serrangan.

ABJ mirip gerakan massa yang liar dan natural. Tak terkordinir. Tapi punya isu dan tujuan yang sama #2019GantiPresiden.

Istana panik, pasti. Gerakan ABJ merepotkan tim Jokowi untuk membendungnya. Jika gelombang #2019GantiPresiden terus membesar, tak menutup kemungkinan akan jadi anti klimaks.

Operasi kaos putih di CFD gagal mengganti kaos #2019GantiPresiden. Kabarnya ada 1200 kaos disiapkan. Siapa yang nyiapin? Satpol PP? Ah, gak mungkin. Gak punya anggaran. Pasti ada orang lain. Pemprov? Lebih tak mungkin lagi. Mereka yang ada di CFD adalah para pendukung Gubernur dan Wakil Gubernur. Lalu, kelompok mana? Pikirkan sendiri.

ABJ semakin kreatif melakukan serangan. Tak berhenti. Melalui semua lini. Media mainstream tak kompromi, medsos jadi sarana tak kalah efektif. Kelompok ABJ mengoptimalkan penggunaan medsos. Facebook, WA, Tweeter, dan Instagram jadi sarana menggalang massa yang sangat efektif. Bisa digunakan 24 jam.

Setiap persekian detik ABJ menembakkan peluru-pelurunya di medsos. Sangat beragam. Ada kaos, spanduk, mug, tas, pepsodent, aplikasi gojek online, ATM, sampai meme, video dan foto-foto CFD. Dari Aceh sampai Papua. Bahkan juga dari sejumlah negara. Semuanya satu suara: #2019GantiPresiden. Terbukti, peluru-peluru itu sangat tajam mengarah ke istana. Efektif menggoyang elektabilitas penghuni istana.

Ada empat isu besar yang dijadikan narasi saat peluru itu ditembakkan. Pertama, isu ekonomi. Rakyat merasakan hidup sulit. Setelah subsidi dicabuti, rakyat dikejar pajak, daya beli melemah, kehidupan dirasa makin susah.

Kedua, isu banjirnya tenaga kasar dari China. Semakin dibantah, makin jelas datanya. Semua orang ngomong buruh China. Bahkan, pihak imigrasi menemukan kampung China di hutan. Tak bisa ditutup-tutupi. Ternyata bukan hoaxs. Sudah pukuhan ribu buruh China didatangkan. Dan terus mengalir deras, karena teken kontrak sudah dibuat bersamaan dengan ketergantungan hutang negara ke China yang semakin besar.

Ketiga, ketidakadilan hukum. Publik curiga. Kenapa penangkapan sejumlah ulama dan aktivis tanpa proses hukum. Habib Rizieq dijerat 17 kasus. Waktunya super singkat. Menjelang pilpres, satu persatu kasus Habib Rizieq mulai di SP3 kan. Ada apa? Publik makin curiga, kok hukum begitu rapuh? Tak bisa disalahkan jika publik menduga, ada permainan. Tepatnya, ada intervensi. Hukum tak lagi independen.

Keempat, isu janji-janji Jokowi. Tak kalah beratnya untuk bisa di atasi. Ada jejak digital terhadap 66 janji Jokowi. Satu persatu mulai diingat dan ditagih publik. Sementara, 2019 mesti buat janji lagi. Meme-meme mulai beredar. Narasinya berupa pertanyaan: janji yang lama gak dipenuhi, mau janji lagi?

Empat isu di atas yang terus menerus disuarakan dalam hashtag #2019GantiPresiden akan berpengaruh terhadap elektabilitas istana. Jika elektabilitas Jokowi terus runtuh, maka secara otomatis mengancam empat pilar kekuasaan istana. Empat pilar itu adalah partai koalisi, pemilik modal, media dan aparat hukum. Orang bilang oknum. Tepat sekali.

Pertama, rasionalitas partai hanya akan mendukung penenang. Diprediksi menang, dukung. Estimasi kalah, tinggalkan. Balik kanan dan ucapkan: Goodbye.

Manuver PKB untuk zig zag cari capres alternatif di luar Jokowi dipahami publik sebagai pertanda akan robohnya satu pilar istana. Apa yang dilakukan PKB disebabkan karena elektabilitas Jokowi tak aman. Di bawah 40%, bagi incumbent itu tak aman.

Begitu juga dengan PAN. Dukung istana, Amin Rais ancam Konggres Luar Biasa (KLB).

Langkah PKB dan PAN hampir pasti diikuti oleh partai-partai koalisi yang lain, terutama Golkar dan PDIP jika elektabilitas Jokowi tak bisa diselamatkan.

Kedua, konglomerat. Proses politik kita sarat logistik. Hanya para pemilik modal yang mampu menyiapkan peluru. Kabarnya, mereka mulai cari calon alternatif. Lobi-lobi sudah mulai dilakukan di luar istana. Ini tanda, pilar kedua istana juga terancam roboh.

Ketiga, media. Hitam putihnya kekuasaan bergantung kepada media. Hampir semua fakta bisa dicover oleh opini yang dikelola media. Media menjadi sumber opini yang paling efektif untuk memoles kekuasaan. “X” bisa diberitakan jadi “Bukan X”.

Masifnya gerakan #2019GantiPresiden mulai menggoda media. Satu persatu media mulai tertarik meliputnya. Termasuk detik.com dan tribun yang selama ini lebih dekat ke istana, pelan-pelan mulai ke tengah. Orang bilang, mulai insaf. Begitulah seharusnya media, jaga independensi

Keempat, aparat hukum. Hal yang sering terjadi, bahwa kekuasaan adalah pihak yang paling berpeluang untuk mengontrol hukum. Tidakkah aparat hukum itu netral? Itu harapannya. Tak semua harapan berbanding lurus dengan kenyataan. Faktanya, hukum bisa menjadi alat sandera yang efektif terhadap lawan. SP3 Habib Rizieq yang lagi hangat di media dianggap publik tak lepas dari dinamika penyanderaan.

Empat pilar ini mulai melemah, seiring dengan melemahnya elektabilitas Jokowi. Tak mustahil akan roboh. Artinya, jika penurunan elektabilitas Jokowi tak bisa ditahan, maka empat kelompok yang selama ini jadi pilar istana akan balik badan, cari selamat. Jokowi terancam tak dapat tiket untuk maju di pilpres 2019.

Penulis: Tony Rosyid

Sumber: PORTAL ISLAM

Selasa, 08 Mei 2018

KEGADUHAN, Karena Pemerintah Pilahara Buzzer dan Timses

KEGADUHAN, Karena Pemerintah Pilahara Buzzer dan Timses


Oleh: Ismail Fahmi, PhD
(Social Network Analys)

Tadi di Gedung Djoeang 45, ndak tahu kenapa saya diminta jadi penanggap bersama HS Dillon, Eva Sundari, dan dua penanggap lain, atas paparan dari Buya Syafii, Prof Mahfud MD, dan Prof Hariyono. Semua bicara soal politik, pilkada, pilpres, hoax, polarisasi, dll.

Karena saya bukan ahli di bidang itu, maka saya bicara dengan memodelkan fenomena hiruk pikuk di media sosial dan offline di Indonesia kini, dengan model kualitas transmisi dalam telekomunikasi yaitu "S/N Ratio" atau "Signal to Noise ratio". Agar dimaafkan oleh hadirin, saya bilang bahwa saya lulusan ITB, jurusan elektro, jadi minta ijin pake istilah telekomunikasi 😁

Dalam modeling ini, saya bilang bahwa bangsa Indonesia sudah terlalu jauh terjebak dalam pusaran noise (kebisingan/kegaduhan). Noise dibalas noise. Noise seperti hoax, hate speech, defamation, mis information, protes, dan kritik. Signal di balik noise ini tidak digali, tidak diamplifikasi. Yang diperkuat malah noisenya.

"The signal is the truth. The noise is what distracts us from the truth." Demikian tulis Nate Silver, seorang guru prediksi US, dalam bukunya 'The Signal and the Noise'.

Di balik noise itu ada sinyal yang harus ditangkap pemerintah, diakomodasi dalam kebijakan. Sinyal apa? Kedaulatan dan kemandirian rakyat. Keberpihakan pada rakyat. Ungkapan tersembunyi dari penderitaan dan kesulitan rakyat. Dampak kebijakan yang malah menyusahkan rakyat. Atau usulan dan gagasan dari publik bagi kemandirian. Harusnya sinyal-sinyal ini yang ditangkap pemerintah.

Sekarang yang terjadi sebaliknya. Kritik dan protes diperlakukan sama dengan hate speech dll. Digempur balik oleh tim pemerintah. Sinyal menjadi noise lagi. Bahkan tak jarang noise-noise baru diciptakan untuk meredam noise sebelumnya. Lalu dibalas lagi oleh oposisi dengan noise baru, dan seterusnya. Kita ping pong noise. "And we are distracted from the truth" (Dan kita teralihkan dari kebenaran -red).

Di depan forum para pendukung Jokowi ini saya sampaikan, siapapun yang tahun 2019 jadi presiden, harus segera membubarkan tim sukses dan buzzernya. Tidak boleh lagi ada buzzer bagi pemerintahan aktif, karena lebih banyak menguatkan noise dari pada sinyal.

Tim pendukung diganti dengan tim analis big data, data scientist, domain expert, yang bertugas menjadi telinga bagi pemerintah. Menangkap sinyal, mengabaikan noise, dan memastikan sinyal itu diperkuat dalam kebijakan yang pro rakyat.

Dengan strategi ini, diharapkan tidak ada lagi polarisasi di media sosial dan offline antara yang pro dan kontra pemerintah. Yang ada adalah pemerintah yang punya telinga lebar untuk mendengar aspirasi rakyatnya dalam bentuk apapun, dan rakyat yang bebas menyampaikan gagasan, kritik, protes, dll.


Disamping itu, saya juga sedikit beri masukan ke Prof Mahfud soal MCA berdasarkan data Drone Emprit. Bagaimana MCA lahir, siapa aja yang di sana, yang tidak monilitik. Bagaimana polarisasi di media sosial terbangun dari tahun 2014 hingga 2018. Bagaimana ping pong noise di atas terbangun.

Juga pandangan dari penanggap lain bahwa #2019GantiPresiden adalah upaya untuk menggagalkan pilpres saya tanggapi, dengan pandangan alternatif bahwa ini tak lebih dari antitesis #Jokowi2Periode yang udah lama ada sebelumnya. Tujuannya untuk melihat berapa besar dukungan terhadap ide ini dan mendorong alternatif buat maju.

Di akhir acara, tentunya saya minta maaf kepada panitia kalau mungkin terlalu keras dan kurang berkenan dengan apa yang saya sampaikan. Percayalah, ini demi NKRI.

(Ismail Fahmi dan HS Dilon)

Sebelum menyampaikan pandangan ini, awalnya saya ragu untuk bicara apa adanya. Tapi, saya belajar dari pak HS Dillon yang pertama kali memberi tanggapan. Dengan lugas, blak-blakan, dan independen, beliau menyampaikan kritik ke PDIP sebagai partai penguasa, padahal di sebelah beliau ada Eva Sundari. Nah, contoh ini yang saya butuhkan. Selanjutnya, saya lakukan hal yang sama. Be myself. Thanks Pak Dillon atas pelajaran independensinya dalam berpikir dan bertindak.

7 Mei 2018

(Gedung Djoeang 45, Jakarta)

Sumber: fb penulis, PI

CATATAN TENGAH: Benarkah Amerika Dukung Jokowi?

CATATAN TENGAH: Benarkah Amerika Dukung Jokowi?


Benarkah Amerika Dukung Jokowi?

Oleh Derek Manangka
(Wartawan senior)

RI Dalam Pusaran Pertarungan RRT dan AS

JAKARTA – Jufri Firmansyah, sahabatku yang berdiskusi pekan lalu tentang situasi Indonesia, bertanya, bagaimana reaksi pembaca Catatan Tengah bertajuk Situasi Indonesia Dari Kacamata ‘Asal Bukan Jokowi’?

“Fifty-fifty. Ada yang pro dan ada yang kontra. Ada yang bilang aku mempromosikan Jokowi, tapi ada juga yang menuding, aku menulis dengan data yang tidak valid. Terutama ketika berada pada alinea yang mengkritisi kinerja Jokowi,” jawabku.

“Buat saya, gak masalah. Namanya juga orang beropini,” lanjutku.

Dalam diskusi itu Jufri memang tertarik dengan pandanganku. Bahwa peluang Jokowi di Pilpres 2019, kembali membesar. Ibarat lampu, dukungan yang tadinya sudah temaram, kini berubah terang.

Kans Jokowi untuk memimpin Indonesia untuk kedua kalinya, ibarat rumah sudah mulai roboh, kini kembali direstorasi. Dan yang merestorasi Amerika Serikat.

Amerika melakukan perubahan di menit-menit terakhir, dan perubahan itu, menjadi sebuah pilihan yang tak tergantikan.

Kalau Amerika tidak kembali mendukung Jokowi, maka negara raksasa lain pun sudah siap mengambil alih peran itu.

Negara itu tak lain, RRT (Cina), yang selama tahun-tahun belakangan ini, merupakan pesaing kuat Amerika dalam segala bidang.

Lawatan Perdana Menteri RRT (Cina), Li Keqiang di Indonesia yang dimulai Senin kemarin, semakin memperjelas, RRT atau Cina tak mau "kehilangan" Indonesia.

Indonesia masuk dalam pusaran pertaruhan RRT dan AS.

Jufri lalu minta uraian yang lebih komprensif, tentang apa yang membuat Amerika berubah terhadap Jokowi? Seolah-olah saya ini pakarnya para pakar dalam soal politik kepresidenan dan dunia diplomasi.

Jufri yang tidak rela kalau urusan dalam negeri – apalagi soal pemilihan Presiden, dicampuri pihak asing, seperti mau meradang – mendengar Amerika, kembali mendukung Jokowi.

Tapi saya bilang: “Kita ini siapa? Apa kekuatan kita menghalau kekuatan asing seperti Amerika?”

Saya katakan, perubahan sikap Amerika itu, cukup ‘obvious’ (kentara/nyata).

Selain utusan Bank Investasi JP Morgan tiba-tiba awal Mei menemui Presiden Jokowi didampingi Menteri Keuangan Sri Mulyani, Amerika juga menggunakan IMF (Dana Moneter Internasional) dan World Bank (Bank Dunia), sebagai alat untuk ofensif diplomasi di Indonesia.

JP Morgan menyatakan kesanggupannya untuk menjadi agen penjual bagi Surat Berhutang Indonesia (SBI) ke pasar modal dunia. Yang artinya, di saat rezim Jokowi sedang kekurangan uang, JP Morgan menjanjikan akan mencarikan kekurangan tersebut.

Terlibatnya JP Morgan dalam pencarian uang untuk Indonesia, otomatis membuat cengkeraman AS di perekonomian dan tata niaga keuangan Indonesia, menjadi kuat.

Sebagai sebuah perusahaan yang sudah berusia lebih dari 150 tahun, sekalipun berstatus swasta, tapi bagi pemerintah Amerika Serikat, JP Morgan bisa menjadi perpanjangan tangan Washington di Indonesia.

Kehadiran JP Morgan, semakin memperjelas ofensif diplomasi Amerika di Indonesia, dilakukan secara terencana.

Hal mana terlihat dengan jatuhnya keputusan IMF dan Bank Dunia – yang menjadikan Bali, sebagai tempat pertemuan tahunan dua lembaga keuangan dunia tersebut pada Oktober 2018.

Penetapan Bali itu dilakukan jauh sebelumnya. Dan pematangannya dikoordinasi oleh Menko Kemritiman Luhut Panjaitan.

Luhut terbang langsung ke Washington dan boleh jadi yang dia urus, tidak terbatas soal pertemuan Bali. Tapi termasuk nasib Jokowi.

IMF dan Bank Dunia yang bermarkas besar di Washington, ibukota Amerika Serikat dikenal sebagai alat negara adidaya itu untuk mengontrol dan mengendalikan sistem keuangan dan perekonomian dunia.

Dua lembaga keuangan dunia Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia (World Bank), tidak mungkin memilih Bali sebagai tempat pertemuan 2018, tanpa alasan.

Apalagi kalau menyimak pernyataan Direktur Pelaksana IMF Christine Lagarde.

Ketika bertemu Presiden Jokowi Pebruari lalu, wanita berkewarganegaraan Prancis itu, memuji kinerja Presiden Jokowi yang dibantu Menkeu Sri Mulyani.

Pujian itu cukup menyentak kalangan dunia usaha dan komunitas politik.

Pujian itu punya makna. Pujian itu bisa ditafsirkan, akibat prestasi itulah, maka IMF dan Bank Dunia, mau mendukung kembali Jokowi menjadi Presiden RI untuk kedua kalinya.

Pujian itu bisa merupakan signyal kepada penantang Jokowi di Pilpres 2019, untuk tidak perlu mengganggu run-down IMF dan Bank Dunia yang tengah dijalankan oleh Jokowi dan Sri Mulyani secara baik.

Bahwasanya tafsiran IMF dan Bank Dunia berbeda dengan apa yang dirasakan dunia usaha, kelompok oposisi ataupun oleh rakyat jelata, itu bukan isyu penting.

Bagi IMF dan Bank Dunia, membela Jokowi harus pihak mereka. Pembelaan tidak boleh dilakukan oleh Presiden AS ataupun anggota kabinetnya. Melainkan oleh pihak ketiga – IMF dan Bank Dunia.

Pembelaan itu lebih kredibel dan membuat Jokowi akuntabel menghadapi Pilpres 2019.

Berubahnya sikap Amerika terhadap Jokowi, bukan tanpa alasan.

Kebangkitan RRT (Cina) yang sekaligus menjadi ancaman bagi dominasi Amerika di Indonesia, ikut masuk dalam kalkulasi.

Lebih baik Amerika mendukung Jokowi yang kelemahan dan kekuatannya sudah diketahui, dari pada capres lainnya yang belum tentu menguntungkan posisi Amerika.

Pembelaan Amerika itu, bukan tanpa syarat. Di antaranya Jokowi harus bersedia menjadi “wonder boy” atau semacam “boneka”-nya. Jokowi tidak lagi melirik-lirik godaan RRT.

Amerika menjadikan Jokowi sebagai “boneka”, kedengarannya sakit di kuping masyarakat Indonesia yang nasionalis dan bermartabat. Tapi buat Amerika, tak masalah.

Sebab menjadikan Jokowi sebagai “boneka” – kalau cara itu bisa disamakan dengan pembiayaan, jelas jauh lebih murah.

Juga jauh lebih mudah dari pada – sebutlah seperti mau “membonekakan” Prabowo Subianto, Ketua Umum Gerindra yang sudah mendeklarasikan sikapnya, maju di Pilpres 2019, menantang Jokowi..

Mudah. Sebab Jokowi, selain tidak pernah memperlihatkan perlawanan terhadap apapun yang dilakukan Amerika, sejumlah orang sekelilingnya – jelas sangat pro Amerika.

Juga sekalipun Jokowi berasal dari PDIP – partai yang berusaha membangkitkan kembali nasionalisme ala Soekarno, tapi secara tersirat apalagi tersurat, Jokowi tidak pernah sekeras Prabowo saat bicara soal dominasi asing atas kekayaan di Indonesia.

Asing itu bisa berarti Amerika atau Kekuatan Putih.

Dalam dimensi yang lebih luas, usaha mengeluarkan Jokowi dari pelukan RRT (Cina) jauh lebih mudah, ketimbang sosok lain yang belum pernah bekerja sama dengan Amerika.

Kalau IMF dan Bank Dunia dipersepsikan sebagai perusahaan yang memerlukan pertambahan nasabah, maka jauh lebih baik memelihara Indonesia sebagai nasabah lama. Dan memelihara nasabah lama, merupakan sebuah kewajiban Amerika sebagai koordinator pemberi hutang, pinjamam luar negeri.

Rezim Jokowi dianggap sudah bekerja sesuai dengan run-down IMF dan Bank Dunia.

Bahkan penegasan Christine Lagarde yang menyatakan perkembangan ekonomi Indonesia tahun depan lebih baik, semakin menunjukkan IMF dan Bank Dunia sudah punya agenda tersendiri dalam menjaga pemerintahan Jokowi.

Dengan kata lain, IMF dan Bank Dunia menjamin perekonomian Indonesia hanya akan membaik, bila Jokowi dipilih kembali d Pilpres 2019.

Soal peran dan pengaruh Amerika dalam pemilihan Presiden RI, sudah pernah saya ulas.

Diperkuat oleh kisah yang dialami langsung oleh Taufiq Kiemas (amarhum), suami Megawati, yang dikenal menjadi tokoh paling berpengaruh dalam menjadikan Mega sebagai Presiden RI periode 2001 – 2004.

Tiga tahun sebelum Pilpres 2004, Amerika sudah memberi tahu Taufiq Kiemas bahwa Washington, tidak akan mendukung Megawati, isterinya, kembali menjadi Presiden.

Pemberitahuan itu disampaikan langsung oleh diplomat senior AS, Ralph Boyce yang di tahun 2001 itu sudah ditetapkan oleh Washington untuk menjadi Dubesnya untuk Indonesia.

Dan hasilnya, dalam Pilpres 2004 itu, Jenderal SBY yang menang. SBY sendiri antara lain terkenal dengan pengakuannya. Bahwa tanah air keduanya adalah Amerika.

Bagi almarhum Taufiq Kiemas, kehebatan AS dalam mengatur negara-negara berkembang, sukar dilawan. AS terlalu piawai dan punya "dana kelakuan" yang cukup besar.

Ralph Boyce, misalnya, setelah berhasil menempatkan “boneka”nya di kekuasaan Indonesia, pindah ke Thailand. Hasilnya pada 19 September 2006, terjadi kudeta militer terhadap Perdana Menteri Thaksin Shinawatra.

Sukses “mengobok-obok” Indonesia dan Thailand, Ralph Boyce mengundurkan diri dari dunia diplomasi.

Ia menjadi Kepala Perwakilan Boeing wilayah Asia Tenggara, berkedudukan di Singapura.

Entah ada hubungannya atau tidak, yang pasti, di era pemerintahan SBY, dan Boing Asia Tenggara ditangan Ralph Boyce, Lion Air sebuah perusahaan swasta yang belum lama berdiri, mengumumkan pembelian tidak kurang dari 200 unit pesawat buatan Boeing.

Jufri dan saya sepakat, dukungan Amerika yang lebih tepat disebut campur tangan asing itu memang menyinggung martabat, harga diri bangsa.

Campur tangan asing, sama dengan pelecehan atas kedaulatan Indonesia.

Tapi lagi-lagi kami sadar, bahwa kedaulatan Indonesia, sudah lama dirampas atau terrampas.

Jadi yang menjadi keprihatinan dan kepedulian, siapapun yang menjadi Presiden di Pilpres 2019, sepatutnya dia bisa mengembalikan martabat yang terrampas itu.

Atau berbicara soal pergantian Presiden, Pilpres 2019, esensinya sebenarnya adalah, kita sedang berdiskusi soal kedaulatan sebuah bangsa.

Selasa 8 Mei 2018

__
Sumber: fb penulis
Link: https://www.facebook.com/catatan.tengah/posts/1955584201141365, PI



Ex Wartawan Senior BBC: Jangan Represif Kepada Gerakan #2019GantiPresiden, Mereka Akan Makin Kuat!

Ex Wartawan Senior BBC: Jangan Represif Kepada Gerakan #2019GantiPresiden, Mereka Akan Makin Kuat!


10Berita,   Mohon maaf kepada komunitas #2019GantiPresiden (komunitas). Hari ini saya mau memberikan advis kepada Pak Jokowi dan tim penasihatnya. Advis ini sangat merugikan komunitas. Sebaliknya akan menguntungkan Pak Jokowi. Sekali lagi, saya mohon maaf kepada pendukung gerakan ganti presiden 2019.

Advis saya begini. Kalau saya ada pada posisi Pak Jokowi, saya tidak akan memusuhi gerakan ganti presiden itu. Kebalikannya, saya akan membaiki mereka. Saya ajak mereka berdialog santai di Istana, saya sambut mereka dengan senang hati, dan saya yakinkan mereka bahwa saya bukanlah presiden yang harus mereka khawatirkan.

Saya akan jelaskan kepada mereka bahwa soal penggantian presiden, biarlah rakyat yang memutuskannya di hari pilpres 2019 nanti. Saya akan katakan kepada komunitas bahwa saya bukanlah orang yang sempurna. Saya akan merendah saja di depan komunitas. Saya juga akan katakan bahwa semua kekeliruan yang telah terjadi, akan saya perbaiki.

Saya bahkan akan mengajak komunitas tampil bersama di forum-forum terbuka dalam suasana rileks. Saya akan menggali sedalam mungkin apa-apa saja yang membuat komunitas merasa khawatir terhadap kepemimpinan saya. Saya akan meminta daftar keprihatinan komunitas. Saya akan minta agar mereka menuliskan apa saja unek-unek mereka.

Saya akan buat sesi khusus untuk pemuka komunitas guna menanyakan apakah ada bawahan saya yang overacting. Saya akan tanyakan apakah ada menteri yang menyebalkan. Kalau komunitas bilang ada dan mereka menyebutkan nama-namanya, saya akan langsung kumpulkan para pengamat independen untuk memberikan evaluasi. Kalau , misalnya, masyarakat sebal melihat menteri yang mengurusi semua hal, maka saya akan segera ganti.

Saya perintahkan para menteri urusan politik dan keamanan agar mendekati komunitas dan berbicara santai kepada mereka. Saya akan perintahkan semua pimpinan lembaga negara yang ada di bawah otoritas saya agar menunjukkan sikap dan perilaku yang ramah kepada komunitas.

Saya akan panggil Mendagri, Kapolri dan Kepala BIN untuk menanyakan mengapa sampai terjadi tindakan yang tak pantas terhadap para pemakai kaus #2019GantiPresiden. Saya akan tanya mengapa banyak pemda yang mengeluarkan instruksi untuk mensterilkan Car Free Day (CFD) dari kaus ganti presiden. Mengapa ada polisi dan satpol PP yang bersitegang dengan pemakai kaus.

Saya akan perintahkan kepada aparat keamanan supaya menunjukkan sikap bersahabat terhadap komunitas. Saya akan menginstruksikan kepada semua pejabat agar membiarkan komunitas meramaikan CFD dengan kaus #2019GantiPreaiden. Sebab, sikap represif hanya akan membuat citra saya semakin negatif.

Dengan menunjukkan sikap yang friendly (ramah), maka para pendukung gerakan ganti presiden 2019 akan kebingungan. Mereka akan kehabisan kata dan gagasan untuk memburukkan saya. Bagaimana tidak? Mereka tak bisa mengatakan pemerintah bersikap represif. Para komentator politik pun akan ramai-ramai mengatakan bahwa Jokowi adalah pemimpin yang ksatria. Berjiwa besar. Tidak terganggu oleh gerakan oposisi.

Di mana-mana akan tersiar berita bahwa Pak Jokowi adalah presiden yang berhati mulia. Akan muncul banyak headline yang berbunyi: “Jokowi Balas Permusuhan dengan Rangkulan dan Senyuman”. Ini akan menjadi viral. Pihak komunitas akan mati langkah. Komunitas akan pulang ke rumah masing-masing sambil merenung bahwa tagar #2019GantiPresiden ternyata tak relevan dengan kenyataan.

Tetapi, hari ini semua itu tampaknya sudah terlambat. Sudah banyak insiden “tegang leher” antara aparat keamanan dan komunitas. Sudah terbangun keyakinan di kalangan pendukung ganti presiden 2019 bahwa penguasa menunjukkan tindakan represif. Sebaliknya, pihak penguasa kelihatannya merasa bahwa cara represif adalah satu-satunya pilihan.

Percayalah, semakin represif tindakan terhadap gerakan #2019GantiPresiden, akan semakin keras pula semangat pendukungnya.

Kalaulah advis ini mau diadopsi juga, masih bisa. Cuma, untuk meyakinkan komunitas bahwa Pak Jokowi bukan seperti yang mereka sangka, tampaknya harus dilakukan perombakan kabinet. Para pejabat tinggi bidang keamanan, harus ditukar. Para menteri yang menyebalkan, perlu diganti.

Segitu dulu tip buat Pak Jokowi untuk menaklukkan #2019GantiPresiden.

Penulis: Asyari Usman

Sumber : PORTAL ISLAM

Senin, 07 Mei 2018

Catatan Jurnalis Senior: Brimob Tanyakan Kaus #2019GantiPresiden, Demokrasi Telah Diintimidasi

Catatan Jurnalis Senior: Brimob Tanyakan Kaus #2019GantiPresiden, Demokrasi Telah Diintimidasi


10Berita, Baru-baru ini beberapa anggota Brimob Polda Jawa Tengah melakukan patroli ke salah satu kantor partai politik di Semarang, Jawa Tengah. Anggota Brimob tersebut datang ke kantor partai politik dengan pakaian lengkap dan senjata laras panjang. Sontak, penghuni kantor partai tersebut panik.

Kedatangan beberapa personil Brimob tersebut tidak disertai surat tugas dan diduga menanyakan kaos bertagar #2019GantiPresiden. Bila memang benar kedatangan Brimob tersebut ke kantor partai politik hanya menanyakan kaos bertagar #2019GantiPresiden, tentu ada sesuatu di balik itu.

Brimob memang bertugas untuk mengatasi gangguan keamanan dalam negeri, tapi yang berintensitas tinggi, seperti kerusuhan massa, kejahatan terorganisir bersenjata api, bom, bahan kimia, biologi dan radioaktif, serta bersama unsur pelaksana operasional kepolisian lainnya untuk mewujudkan rasa aman dan tenteram masyarakat di seluruh wilayah yurisdiksi nasional RI. Tapi apakah pantas jika datang ke kantor partai politik hanya menanyakan kaos bertagar #2019GantiPresiden?

Tentu rasanya tidak layak dan pantas jika personil Brimob diturunkan hanya untuk menanyakan ada atau tidaknya kaos bertagar #2019GantiPresiden di kantor partai politik tersebut. Sebab, kaos bertagar #2019GantiPresiden bukan teroris, bukan kejahatan terorganisir atau menggangu keamanan masyarakat dengan intensitas tinggi. Entahlah kalau mengganggu penguasa? Silakan dijawab sendiri.

Motto Polri sebagai pelindung dan pengayom masyarakat, tidak terlihat dengan kedatangan satuan Brimob ke sebuah kantor partai politik. Dengan kedatangan Brimob tersebut, seolah-olah ingin memberi kesan bahwa partai politik tersebut adalah sarang teroris, menakutkan dan patut diwaspadai. Aparat Kepolisian harus netral dan memperlakukan masyarakat sama kedudukannya di depan hukum.

Kedatangan Brimob tersebut sudah masuk kategori intimidasi. Intimidasi terhadap orang atau masyarakat dan terhadap partai politik. Sementara partai politik adalah bagian dari demokrasi yang dilindungi UUD 1945. Dengan demikian aparat keamanan telah merusak dan mengintimidasi demokrasi yang selama ini diharapkan berjalan baik.

Adanya kaos bertagar #2019GantiPresiden merupakan sesuatu yang lumrah. Hal itu merupakan bentuk kebebasan menyatakan aspirasi dan pendapat yang dikemukan oleh masyarakat. Dalam alam demokrasi sekarang ini, kebebasan menyatakan aspirasi dan kebebasan menyatakan pendapat dapat dituangkan dalam berbagai bentuk seperti tulisan, dalam bentuk benda, dalam bentuk kartun dan sebagainya. Tinggal masyarakat menanggapinya.

Tentu ada alasan kuat ketika kaos bertagar #2019GantiPresiden merasuk ke jiwa masyarakat. Bisa karena faktor sosial, politik, ekonomi dan sebagainya. Akumulasi dari ketidakpuasan masyarakat itu diwujudkan dalam bentuk #2019GantiPresiden. Dari tagar tersebut jelas tertulis bahwa ganti presiden dilakukan tahun 2019, bukan tahun 2018 ini. Bila dilakukan tahun 2018, bisa dikatakan melanggar konstitusi dan bisa berakibat hukum atau pidana.

Secara kasat mata, maksud dan tujuan kedatangan Brimob ke kantor sebuah partai politik mudah ditebak arahnya. Tak perlu banyak tafsir. Apalagi masyarakat sekarang ini sudah cerdas membaca tanda-tanda bila ada perlakuan yang tidak sesuai dengan aturan yang berlaku. Yang bisa memperbaiki keadaan adalah Presiden. Presiden Jokowi harus bisa mengendalikan bawahannya agar tetap menjaga demokrasi sebagaimana yang dicita-citakan saat reformasi tahun 1998. Bila Presiden Jokowi tak mampu mengatasi, atau membiarkan perlakuan aparat keamanan terhadap partai politik, maka demokrasi akan bernasib tragis di tangan Jokowi.

Penulis: Zul Sikumbang

Sumber : PORTAL ISLAM 

Wartawan Senior: Jokowi dan Para Pendukungnya "Mati Angin" Kewalahan Menghadapi #2019GantiPresiden

Wartawan Senior: Jokowi dan Para Pendukungnya "Mati Angin" Kewalahan Menghadapi #2019GantiPresiden


Catatan: Hersubeno Arief
(Wartawan senior, konsultan media)

Polda Metro Jaya melarang relawan #2019GantiPresiden melakukan kegiatan di arena car free day. Langkah yang sama juga diambil oleh polisi di beberapa kota besar di Indonesia. Alasan mereka, kegiatan car free day tidak boleh digunakan untuk kegiatan yang bersifat SARA, dan politik.

Larangan tersebut muncul bersamaan dengan Deklarasi Relawan #2019GantiPresiden yang digelar di kawasan Patung Kuda, Ahad pagi (6/5). Lokasinya tak jauh dari kawasan car free day di sepanjang jalan MH Thamrin dan Sudirman, Jakarta.

Apapun alasan yang disampaikan polisi, pesan yang sampai kepada publik sangat berbeda. Ada kepanikan di kubu pemerintah. Kegiatan yang semula dianggap sekedar main-main, diremehkan, atau dalam bahasa Presiden Jokowi “Masak kaos sampai bisa ganti Presiden,” telah menjadi gerakan yang mengkhawatirkan, bahkan sangat menakutkan.

Polisi sekali lagi menunjukkan jati dirinya sebagai alat kekuasaan yang tidak imparsial. Berpihak pada satu golongan. Seharusnya polisi bisa lebih rileks, dan tidak perlu melakukan tindakan represif. Kalau Presiden Jokowi saja “santai,” mengapa polisi harus tegang?

Belajar dari kasus Aksi Bela Islam (ABI) 212, gerakan semacam ini semakin dilarang, akan semakin membesar. Publik akan semakin simpati, dan jatuh hati. Polisi harusnya belajar dari bintang basket terkenal Michael Jordan “enjoy this game”.

Dilihat dari perspektif komunikasi pemasaran politik, Pilpres 2019 sebenarnya memasuki tahapan menarik. Adu ide, kreativitas dalam menawarkan gagasan, dan menjual para jagoannya. Sebagai incumbent dan market leader, harus diakui Presiden Jokowi dan para pendukungnya, saat ini sedang kewalahan menghadapi munculnya “produk” baru yang mengusung hestek #2019GantiPresiden.

Walaupun “produknya” belum jelas dan spesifik, dalam artian belum mengacu pada figur tertentu, #2019GantiPresiden terus merangsek. Berbagai produk turunanannya sangat mudah ditemui di pasaran. Mulai dari kaus, topi, pin, gelang, syal, mug, sampai spanduk.

Industri sablon, dan para pedagang kaos eceran meraup berkah. Mereka kebanjiran order. Di luar penjualan eceran, banyak donatur yang memesan berbagai pernik merchandise tadi dalam jumlah besar, untuk dibagikan secara gratis.

Energi kreatif para pendukung #2019GantiPresiden seperti tak ada habisnya. Secara cerdas mereka memanfaatkan berbagai fitur yang selama ini tidak pernah terbayangkan bisa digunakan sebagai medium kampanye.

Beberapa hari lalu viral bukti transfer via ATM BCA yang berisi pesan #2019GantiPresiden. Fitur penilaian pelanggan tehadap driver ojek online (rating) tak luput dari sisipan pesan #2019GantiPresiden. Kampanye politik, mereka kemas menjadi sesuatu yang lucu, menggembirakan.

Kuatnya hestek #2019GantiPresiden bisa terlihat dari gerakan massif di berbagai kota yang dikemas dalam kegiatan car free day. Di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Solo, Semarang, Surabaya, Medan, dan Makassar masyarakat secara sukarela bergerak melakukan pawai. Secara natural gerakan ini tumbuh dimana-mana sebagai bentuk kesadaran perlunya figur seorang presiden baru.

Sebagai market leader para pendukung Presiden Jokowi tentu saja tak mau tinggal diam. Mereka mencoba meluncurkan hestek tandingan #2019TetapJokowi. Namun hestek ini tak bertahan lama. Oleh para pendukung #2019GantiPresiden hestek tersebut secara cerdas dan nakal diplesetkan menjadi #2019TetapGantiPresidenJokowi.

Pendukung Jokowi kemudian memunculkan hestek baru #DiaSibukKerja. Hestek ini dari sisi pemasaran politik bisa dilihat sebagai bentuk rebranding dari tagline yang diusung oleh Jokowi “Kerja….Kerja…Kerja…”

Seolah mati angin

Dalam strategi marketing, rebranding biasanya dilakukan berkaitan dengan penetrasi/ekspansi pasar baru, atau munculnya produk pesaing. Rebranding dimaksudkan untuk penguatan produk, pembeda atas produk pesaing/lawan. Dalam kasus #DiaSibukBekerja jelas dimaksudkan untuk menandingi gerakan #2019GantiPresiden.

Namun melihat kemasan dan frasa yang dipilih, #DiaSibukKerja juga tidak akan bertahan lama. Frasa ini kurang kuat dan tidak mampu menggerakkan publik. Tagline #DiaSibukKerja ini lebih terkesan hanya sebuah klaim dan tidak sejalan dengan “produk” yang coba dipasarkan, yakni Presiden Jokowi.

Dalam upayanya merebut pasar milenial, Jokowi belakangan ini banyak bergaya bak anak muda. Selfie menjadi sesuatu yang wajib dalam berbagai kegiatan, membuat vlog, naik sepeda motor, latihan tinju, beternak kodok, dan berbagai kegiatan lain yang terkesan “kurang kerjaan.” Jadi secara komunikasi pemasaran politik, antara produk, kemasan, dan brandingnya tidak nyambung.

Pada kampanye Pilpres 2014, Jokowi mempunyai tagline kampanye yang sangat kuat, “Jokowi Adalah Kita.” Tagline ini sangat berdaya karena dibarengi dengan kemasan Jokowi yang sederhana, gemar blusukan. Dalam bahasa anak muda, “Jokowi gue banget.” Mampu menggerakkan publik untuk bekerja, seolah memenangkan diri sendiri.

Namun melihat apa yang dilakukan oleh Jokowi belakangan ini, jualan kemasan “sederhana” tampaknya sudah tidak laku. Mengendarai sepeda motor chooper seharga Rp 140 juta, bukanlah bentuk kesederhanaan. Istri dan putrinya kedapatan mengenakan beberapa tas branded, tidak bisa lagi disebut sederhana. Diperlukan branding baru yang lebih sesuai dengan citra diri Jokowi dan keluarganya saat ini. Merek, brand, atau tagline tersebut tidak bisa asal comot.

Menghadapi gerakan #2019GantiPresiden, Jokowi dan para pakar brandingnya, seolah mati angin. Kabarnya sejumlah relawan sedang menyiapkan hestek baru #DILAN-jutkan. Hestek ini mengadopsi pada judul sebuah film yang sempat meledak di pasaran “Dilan.” Lagi-lagi yang menjadi sasaran bidik adalah pasar milenial.

Apakah hestek #DILAN-jutkan bisa mengalahkan hestek #209GantiPresiden seperti sengatan kalajengking yang mematikan? Masih kita tunggu.

Yang sudah terbukti keampuhannya justru ucapan Presiden Jokowi soal kalajengking. Pernyataan Presiden kalau mau kaya silakan beternak kalajengking, menjadi blunder yang hampir menenggelamkan hestek #2019GantiPresiden.

Media mainstream, maupun media sosial ramai-ramai membicarakan soal kalajengking. Suasananya sungguh heboh, dan riuh rendah. Hewan menakutkan itu tiba-tiba terangkat derajatnya menjadi trending topic. Hanya saja nada pembicaraan (tone) publik sangat negatif. Alih-alih membuat kaya, dan mensejahterakan bangsa, bisa “kalajengking” menyengat balik Jokowi dan mematikan hestek #DiaSibukKerja. End

6/5/18

Sumber: https://www.hersubenoarief.com/artikel/diasibukbekerja-vs-2019gantipresiden/, PI



Rabu, 02 Mei 2018

Insiden CFD Jauh Lebih Kecil dari Inkompetensi Pemimpin Negara

Insiden CFD Jauh Lebih Kecil dari Inkompetensi Pemimpin Negara


10Berita -Rekayasa atau murni, settingan atau tidak, insiden kecil yang terjadi di tengah aksi #2019GantiPresiden pada hari Car Free Day di Bundaran HI, Jakarta, tidak akan berdampak terhadap tekad kuat dan perjuangan konstitusional untuk mencukupkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) satu periode saja. Insiden itu menjadi berita yang dibesar-besarkan karena media-media raksasa yang korup pendukung penguasa tidak punya cara lagi untuk mengecilkan gerakan ganti presiden itu.

Sehingga, insiden yang sebetulnya bisa berlalu tanpa berita itu, menjadi seolah peristiwa besar. Seolah #2019GantiPresiden diisi oleh orang-orang yang ceroboh, diikuti oleh orang-orang yang tidak dewasa berdemokrasi, dlsb.

Secara psikologis, blow-up insiden kecil itu memang tak terelakkan. Sebab, pihak pendukung Jokowi sekarang kehabisan cara untuk menghadang laju gerakan ganti presiden 2019. Mereka tidak mampu lagi memikirkan strategi untuk melawan gerakan ini. Akhirnya, mereka hanya bisa mengintai dengan cermat kesalahan-kesalahan yang tak signifikan, yang tidak substantif. Pastilah akan selalu ada momen yang diintip-intip itu.

Sangat alami sekali bahwa tidak ada satu pun gerakan massa yang sempurna 100 persen tanpa noda. Dengan mengatakan seperti ini, saya tidak mengesampingkan kemungkinan adanya “pegaturan” insiden itu. Kalau pengaturan ini bisa dibutkikan, tentulah semakin menguatkan persepsi orang bahwa pihak penguasa selalu punya cara dan fasilitas untuk memercikkan noda ke pihak lain.

Tetapi, sekirannya insiden ibu yang bawa anak itu terjadi secara alamiah, tidak berarti #2019GantiPresiden telah ternoda. Sama sekali tidak!

Gerakan ini dilahirkan untuk berlangsung secara tertib dan damai. Dan sejauh ini telah berjalan tertib dan damai. Tidak pernah ada masalah. Jadi, tidak perlu ada “guilty feeling” yang berlebihan terkait insiden itu. Ibarat kain putih bersih yang memang sulit menjaganya dari percik-percik kotoran. Yang harus dilakukan oleh komunitas besar #2019GantiPresiden adalah introspeksi yang positif. Selain itu, perlu juga dilakukan peningkatan pemahaman tentang “crowd provocation and hostility”. Yaitu, trik-trik povokasi dan pemusuhan (bukan permusuhan) di tengah khalayak.

Provokasi dan pemusuhan bisa berkembang di tengah keyakinan bahwa keberkumpulan massa suatu gerakan tidak akan diganggu oleh keanehan yang dilakukan beberapa orang. Singkatnya, warga yang mengikuti gerakan #2019GantiPresiden tidak menduga bakal akan satu-dua yang berpenampilan lain di tengah mereka. Sehingga, sejumlah orang akan menunjukkan reaksi yang spontanitas. Menurut hemat saya, jalan cerita seperti inilah yang terjadi di perhelatan CFD yang didominasi oleh #2019GantiPresiden.

Warga pendukung gerakan ganti presiden 2019 pasti akan mencatat pelajaran dari insiden ibu-anak itu. Tampil dengan “self-refrain” (menahan diri) yang kuat bisa beperan untuk mengubah provokasi menjadi hiburan.

Yakinlah bahwa insiden CFD itu jauh, jauh lebih kecil dibandingkan pembahasan bagi-bagi fee proyek BUMN. Jauh lebih kecil dari ancaman hutang luar negeri Indonesia yang semakin menggunung. Jauh lebih kecil dari kerugian material dan korban jiwa akibat pengerjaan proyek infrastruktur yang dilakukan secara semberono. Jauh lebih kecil dibandingkan invasi tenaga kerja asing, khususnya tenaga kerja RRC.

Jauh lebih kecil dibandingkan kriminalisasi terhadap para ulama. Jauh lebih kecil dibandingkan pembohongan publik yang dilakukan oleh penguasa. Jauh lebih kecil dibandingkan korupsi e-KTP, dibandingkan skandal Bank Century, dibandingkan konspirasi penyeludupan narkoba, dlsb. Jauh lecih kecil dibandingkan pencolengan dan penggarongan kekayaan negara yang dilakukan oleh para konglomerat rakus dan culas.

Jauh lebih kecil dibandingkan kehidupan rakyat yang semakin sulit sekarang ini. Jauh, jauh lebih kecil dibandingkan dua korban tewas akibat sembako Monas plus penghinaan terhadap martabat bangsa karena bagi-bagi sembako itu. Jauh lebih kecil dari cara kasar melemparkan hadiah lewat jendela mobil.

Jauh lebih kecil dibandingkan pengelolaan negara yang semakin tidak jelas. Dan, insiden ibu-anak di CFD itu jauh, jauh lebih kecil dibandingkan inkompetensi pemimpin negara ini.

Karena itu, insiden CFD tidak akan mengganggu gerakan #2019GantiPresiden. (kk/swamedium)

Penulis: Asyari Usman, Jurnalis Senior.

Sumber : Eramuslim

Selasa, 01 Mei 2018

Kehidupan Perburuhan Di Era Jokowi Semakin Suram

Kehidupan Perburuhan Di Era Jokowi Semakin Suram


 Oleh: Fadli Zon*

10Berita , Untuk memuluskan kepentingan investasi asing, pemerintah Presiden Joko Widodo terus-menerus mengorbankan kepentingan buruh lokal. Ini membuat kehidupan perburuhan menjadi makin suram.

Pemerintah terus merilis berbagai aturan yang menyerahkan kesempatan kerja di dalam negeri kepada buruh asing, termasuk untuk pekerjaan-pekerjaan kasar. Selain itu, pemerintah juga selalu menyangkal dan menutup mata atas membanjirnya buruh kasar asal Cina di Indonesia. Ini membuat kehidupan perburuhan menjadi suram. Celakanya, alih-alih melakukan penegakkan hukum yang tegas dan ketat, pemerintah justru kian melonggarkan aturan tentang tenaga kerja asing.

Tiga tahun lalu, misalnya, melalui Permenakertrans No. 16/2015, pemerintahan telah menghapuskan kewajiban memiliki kemampuan berbahasa Indonesia bagi para pekerja asing. Belum ada setahun, peraturan itu kembali diubah menjadi Permenakertrans No. 35/2015. Jika sebelumnya ada ketentuan bahwa setiap satu orang tenaga kerja asing yang dipekerjakan oleh perusahaan harus dibarengi dengan kewajiban merekrut 10 orang tenaga kerja lokal, maka dalam Permenakertrans No. 35/2015, ketentuan itu tidak ada lagi.

Itu bukan regulasi terakhir yang merugikan kepentingan kaum buruh kita. Bulan lalu, tanpa kajian seksama atau melalui proses konsultasi yang melibatkan sejumlah pemangku kepentingan, pemerintah justru meluncurkan Perpres No. 20/2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing.

Perpres No. 20/2018, misalnya, secara gegabah telah menghapus ketentuan mengenai IMTA (Izin Menggunakan Tenaga Kerja Asing). Meskipun Perpres masih mempertahankan ketentuan tentang RPTKA (Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing), namun karena tak ada lagi IMTA, maka tidak ada lagi proses ‘screening’ atau verifikasi terhadap kebutuhan riil tenaga kerja asing.

Dengan kata lain, semua RPTKA ke depannya otomatis disetujui, apalagi kini seluruh prosesnya dipersingkat tinggal dua hari saja. Menurut saya, kebijakan ini sangat ceroboh dan berbahaya, selain tentu saja melanggar ketentuan UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan.

Masih terkait izin, sesudah menghapus IMTA, Perpres No. 20/2018 juga membuat perkecualian mengenai kewajiban membuat RPTKA. Pada Pasal 10 ayat 1a, disebutkan bahwa pemegang saham yang menjabat sebagai direksi atau komisaris tidak diwajibkan memiliki RPTKA. Ketentuan ini juga menyalahi UU No. 13/2003 , yaitu Pasal 42 ayat 1 dan Pasal 43 ayat 1. Sebab, seharusnya perkecualian bagi jabatan komisaris dan direksi untuk orang asing hanyalah dalam hal penunjukkan tenaga kerja Indonesia sebagai pendamping dan pelatihan pendidikan saja, bukan kewajiban atas RPTKA-nya.

Saya menilai kebijakan ketenagakerjaan yang disusun oleh pemerintahan saat ini kacau balau. Hanya demi mendatangkan dan menyenangkan investor, banyak aturan dilabrak.

Klaim bahwa Perpres No. 20/2018 ini disusun untuk melindungi tenaga profesional kita, menurut saya juga omong kosong. Coba baca Pasal 6 ayat 1, di mana diatur bahwa seorang tenaga kerja asing boleh menduduki jabatan yang sama di beberapa perusahaan. Ketentuan semacam ini kan berpotensi menutup kesempatan tenaga profesional kita. Lalu di mana perlindungannya?

Perpres No. 20/2018 juga mengabaikan kewajiban sertifikasi kompetensi bagi tenaga kerja asing yang masuk ke Indonesia. Sesuai dengan Pasal 18 UU No. 13/2003, dan PP No. 23/2004 tentang Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP), yang merupakan turunannya, setiap tenaga kerja asing yang masuk ke Indonesia seharusnya memiliki sertifikasi kompetensi yang diakui oleh BNSP. Namun, jika proses perizinan harus keluar dalam dua hari, apa mungkin verifikasi bisa dilakukan?

Maka jangan heran jika kemudian ada tenaga kerja asing asal Cina yang dalam RPTKA-nya disebut sebagai insinyur, tapi dalam kenyataannya ternyata hanyalah seorang juru masak. Kasus semacam ini sudah banyak ditemukan. Selain karena lemahnya pengawasan, kasus-kasus semacam itu bisa terjadi karena ada malpraktik dalam kebijakan perburuhan.

Kondisi ini sangat memprihatinkan. Apalagi dari sisi kesejahteraan upah minimum buruh kita merupakan yang terendah keempat di ASEAN. Kita hanya unggul atas Myanmar, Laos dan Kamboja.

Begitu juga kalau dilihat dari sisi kebebasan berserikat. Menurut catatan pemerintah, ada lebih dari 230 ribu perusahaan di Indonesia. Jika tiap-tiap perusahaan memiliki serikat buruh, seharusnya jumlah serikat buruh kita cukup banyak. Namun nyatanya, dalam 10 tahun terakhir jumlah serikat buruh kita malah anjlok hingga 50 persen. Pada tahun 2007 jumlah serikat buruh kita masih berada di angka 14.000. Namun, pada 2017 jumlahnya tinggal 7.000 saja. Ke mana sisanya?

Saya khawatir, meski pemerintah selalu mengklaim kondisi perburuhan kita dalam keadaan baik-baik saja, namun kenyataannya tidaklah demikian. Menurut data BKPM, jumlah lapangan kerja di Indonesia memang mengalami penyusutan dalam 10 tahun terakhir. Pada 2010, misalnya, setiap investasi sebesar Rp1 triliun masih bisa menyerap tenaga kerja hingga 5.015 orang. Namun di tahun 2016, rasio tersebut tinggal 2.272 orang saja per Rp1 triliun nilai investasi.

Itu sebabnya kita harus kritis terhadap turunnya angka pengangguran yang sering diklaim pemerintah. Di atas kertas, persentase jumlah pengangguran dilaporkan menurun, tetapi sebagian besar angkatan kerja itu tak lagi bekerja di sektor formal, melainkan telah terlempar menjadi pekerja di sektor informal.

Ini menjelaskan kenapa misalnya jumlah anggota serikat buruh pada 2017 hanya tinggal 2,7 juta orang saja, padahal pada tahun 2007 jumlahnya mencapai 3,4 juta orang. Mereka sudah di-PHK dan kini hanya bisa bekerja di sektor informal, seperti menjadi sisten rumah tangga, tukang pangkas rambut, pedagang asongan, atau ojek online. Ini jelas bukan sektor yang kita harapkan menjadi penopang penciptaan lapangan kerja.

Merujuk pada data BPS, dalam rentang tahun 2015-2016, perekonomian kita juga hanya bisa menciptakan 290 ribu hingga 340 ribu lapangan kerja per 1 persen pertumbuhan ekonomi. Padahal, dalam situasi normal angka serapan lapangan kerja seharusnya berada pada level 500 ribu per 1 persen pertumbuhan ekonomi. Jadi, kemampuan penciptaan lapangan kerja ekonomi kita sebenarnya di bawah standar.

Itu sebabnya, saya menyimpulkan kehidupan perburuhan di era pemerintahan Presiden Joko Widodo sejauh ini semakin suram. Dan kebijakan atas tenaga kerja asing kian memperburuk semua itu.

Saya membaca pernyataan pendukung pemerintah yang menyebut banjirnya tenaga kerja asing saat ini merupakan efek kebijakan pemerintah Orde Baru atau presiden di masa lalu. Menurut saya apologi itu sangat tak cerdas. Seharusnya dia baca buku dan berbicara dengan data.

Dia menyebut APEC dan lain sebagainya, padahal sesudah KTT APEC di Bogor tahun 1994, jumlah tenaga kerja asing di Indonesia justru turun, meskipun pertumbuhan ekonomi kita waktu itu rata-rata berada di angka 7 hingga 8 persen per tahun. Tahun 1995, misalnya, jumlah tenaga kerja asing 57,2 ribu. Angka itu turun menjadi 48,7 ribu pada 1996, dan turun kembali menjadi 37,2 ribu pada 1997. Itu dari sisi data jumlah tenaga kerja asing.

Sekarang, dari sisi akal sehat. Jika pemerintahan saat ini tak setuju kebijakan masa lalu, lalu kenapa tidak koreksi? Bukankah itu alasan kenapa demokrasi mendesain diadakannya Pemilu secara berkala, yaitu supaya kita bisa mengkoreksi pemerintahan di masa sebelumnya secara periodik?

Nyatanya, bukan di masa Presiden Soeharto terbit Permenakertrans No. 16/2015, atau Permenakertrans No. 35/2015, ataupun Perpres No. 20/2018, yang kesemuanya menyisihkan kepentingan kaum buruh lokal. Semua kebijakan tadi terbit di era pemerintahan Presiden Joko Widodo.

Saya mendukung Perpres No. 18/2018 dicabut begitu juga aturan-aturan lain yang mengkhianati buruh dan menghambat kesempatan buruh lokal sejahtera.

Selamat Hari Buruh!

*Dr. Fadli Zon, M.Sc., Wakil Ketua DPR RI, Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra

Sumber : Voa-islam.com

Senin, 30 April 2018

'Menyakiti Ulama', Menabuh Genderang Perang pada Allah Sang Pencipta Manusia

'Menyakiti Ulama', Menabuh Genderang Perang pada Allah Sang Pencipta Manusia

Senin, 14 Sya'ban 1439 H / 30 April 2018 20:37 wib

Oleh: Ummu Inqiyad

10Berita, Sejak akhir Januari hingga kini terjadi berbagai serangan terhadap ulama, ustadz, masjid dan pesantren di berbagai wilayah di negeri ini. Kasus pertama menimpa Pimpinan Pesantren Al-Hidayah Cicalengka, Kabupaten Bandung, KH Umar Basri (Mama Santiong).

Kemudian muncul kasus lain yang menimpa Komando Brigade PP Persis, Ustadz Prawoto. Beliau bahkan wafat setelah sempat menjalani perawatan di rumah sakit akibat dianiaya oleh seorang pria pada Kamis (2/1) pagi (Republika, 2/2/2018).

Di Jawa Timur, dua pengasuh Pesantren Al-Falah, Ploso, Kediri, KH Zainuddin Jazuli dan KH Nurul Huda Jazuli, disatroni oleh orang tak dikenal dengan membawa pisau sambil berteriak-teriak. (JawaPos, 20/2018). Masih banyak kasus lainnya yang datang silih berganti dengan kesamaan modus: menyerang ulama, ustadz, atau merusak masjid; lalu ketika pelakunya tertangkap, mereka dinyatakan mengalami gangguan jiwa atau gila.

Serangan terhadap ulama menunjukkan bahwa jaminan rasa aman di negeri ini masih mahal. Aparat pun malah terkesan meremehkan berbagai peristiwa tersebut. Dalam wawancaranya dengan media, Kapolri menyebutkan bahwa berbagai serangan itu adalah kriminal biasa (Republika, 13/2/2018).

Rentetan peristiwa ini pun dianggap sebagai kebetulan belaka. Ini sebagaimana yang disebutkan oleh Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigadir Jenderal Polisi Mohammad Iqbal (Republika, 2/2/2018).

“Menyakiti Ulama”,  Menabuh Genderang Perang Pada Allah Sang Pencipta Manusia.

Salah satu hadist yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, “Barangsiapa yang memusuhi kekasihKu, maka Aku memberitahukan padanya bahwa ia Kuperangi”.

Ikrimah, seorang thabi’in pun menyebutkan, “Janganlah kamu menyakiti ulama. Sebab barangsiapa menyakiti ulama, berarti menyakiti Rasulullah.”

Dalam Surat Al-Ahzab, dijelaskan balasan bagi orang-orang yang menyakiti Allah dan RasulNya:

إِنَّ ٱلَّذِينَ يُؤۡذُونَ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُ ۥ لَعَنَہُمُ ٱللَّهُ فِى ٱلدُّنۡيَا وَٱلۡأَخِرَةِ وَأَعَدَّ لَهُمۡ عَذَابً۬ا مُّهِينً۬ا (٥٧)

“Sesungguhnya orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya, Allah melaknatnya di dunia dan di akhirat, dan menyediakan azab yang menghhinakan mereka.” (QS: Al-Ahzab: 57)

Dalam lanjutan surat yang sama, Allah tegaskan umat Islam untuk tidak saling menyakiti,

وَٱلَّذِينَ يُؤۡذُونَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ وَٱلۡمُؤۡمِنَـٰتِ بِغَيۡرِ مَا ٱڪۡتَسَبُواْ فَقَدِ ٱحۡتَمَلُواْ بُهۡتَـٰنً۬ا وَإِثۡمً۬ا مُّبِينً۬ا (٥٨)

“Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat. Maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.” (QS: Al-Ahzab: 58).

Ulama Pewaris Nabi yang Harus Mendapatkan Perlindungan Negara

“Ulama adalah pewaris nabi.” (HR. Tirmidzi, Ahmad, Ibnu Hibban, dan Baihaqy).

Ulama menjadi perpanjangan dari para Nabi. Mereka mewairisi ilmu-ilmu yang dibawa oleh nabi dan Rasul bukan untuk disombongkan, namun untuk disampaikan dan menjadikan mereka orang-orang yang semakin takut tatkala semakin banyak ilmunya.

Dan merekalah para ulama yang sejatinya sering mengingatkan kita, memberi nasihat dan tausiyah pada kita, yang tanpa lelah berusaha menyelematkan hidup kita dari kemaksiatan demi kemaksiatan, baik itu sadar maupun tidak sadar. Mereka telah mencurahkan seluruh kemampuan mereka untuk menggali ilmu Islam dankemudian menyampaikannya dengan bahasa semudah mungkin pada kita

Sesungguhnya peran dan fungsi ulama bisa diwujudkan secara sempurna jika telah tegak Khilafah Islamiyah di tengah-tengah umat Islam.  Sebab, Khilafah Islamiyah adalah negara yang menjadikan akidah Islam sebagai dasar negara serta syariah Islam sebagai aturan yang mengatur seluruh interaksi yang ada di tengah-tengah masyarakat.  

Tidak ada pemisahan agama dengan negara (sekular), bahkan urusan negara dan rakyat diatur sepenuhnya dengan syariah Islam. Dalam kondisi seperti ini, ulama sebagai pihak yang paling mengerti risalah Islam akan memegang peran yang sangat besar dalam membina umat dan aparat negara, sekaligus meluruskan penyimpangan rakyat dan penguasa serta melindungi kesucian agama Islam. [syahid/]

Sumber : voa-islam.com

Minggu, 29 April 2018

Saling Sandera Jokowi dan HRS

Saling Sandera Jokowi dan HRS


10Berita, Persaudaraan Alumni (PA) 212 bertemu Jokowi. Pertemuan di istana Bogor. Tapi bocor. Tepatnya, dibocorkan. Oleh siapa? Mudah menebaknya. Siapa yang diuntungkan dengan bocornya pertemuan itu? Itulah pelakunya. Dan siapa yang dirugikan? Mereka adalah korbannya.

Aktivis PA 212 harus menghadapi dampaknya. Disalahpahami oleh umat. Dihajar fitnah. Berkembang dugaan dan prasangka. PA 212 masuk angin. Hanya segitu iman Habib Rizieq. Begitulah kira-kira target dan sasarannya. Lalu, banyak orang sibuk cari tahu dan melakukan klarifikasi. Jelas? Kalau gak paham juga, kebangetan.

Pertemuan itu menunjukkan pertama, ada indikasi pertemuan-pertemuan sebelumnya. Kecil kemungkinan presiden menemui PA 212 jika tidak ada pengkodisian. Dengar kabar, ada beberapa kali utusan istana. Nego dengan Habib Rizieq. Tentang apa? Mudah ditebak dan gampang dibaca isinya. Istana ingin aman suaranya di pilpres 2019. Menang lagi, dan lanjut dua periode. Habib Rizieq dan PA 212 jangan ganggu. Diem aja. Apa kompensasinya? SP3. Buat siapa? Semua aktivis 212 yang tersandera kasus hukum. Apalagi kalau bukan itu. Simple menganalisisnya. Apakah deal?

Kedua, bocornya pertemuan di istana Bogor menunjukkan bahwa negosiasi Istana dengan Habib Rizieq “No Deal” kalau deal, buat apa dibocorin. Kalau 212 masuk angin, istana akan anteng-anteng aja. Diam-diam aja. Tenang-tenang aja. Toh, Habib Rizieq, komandan GNPF Ulama dan PA 212 sudah takluk. Sudah bungkam mulutnya. Tinggal dirawat, dielus-elus, dan sedikit dimanjakan. Buat berlutut dan bersimbah kaki. Tak perlu ada ribut-ribut. Tapi nyatanya, dibongkar. Dibocorin. Dibuat gaduh. Kesimpulannya, Habib Rizieq belum juga takluk. Maka, mesti di-“downgrade.” Caranya? Bocorin pertemuan, biar ada stigma Habib Rizieq dan PA 212 masuk angin. Siapa yang melakukannya? Ah, jangan berlagak gak paham.

Kalau No Deal, kenapa ada pertemuan itu? Pertanyaan cerdas. Ada dua kemungkinan. Pertama, sebagai closing statement. Nge-deal-kan yang belum deal. Jika deal, maka tinggal eksekusi. Gak deal, balik badan. Atau membicarakan ekskusi poin yang sudah di-deal-kan. Poin yang sudah disepakati. Apa sudah ada yang disepakati? Boleh jadi. Tapi, tampaknya itu kesepakatan terpaksa. Kesepakatan yang pura-pura. Berat sebelah. Siapa yang merasa berat dan terpaksa?

Bocornya pertemuan di Istana Bogor tanda ada yang keberatan dengan kesepakatan itu. Itupun kalau ada. Indikasi adanya kesepakatan itu cukup kuat. Informasi yang berseliweran, Habib Rizieq sudah buat kesepakatan. Diceritakan kesepakatan itu kepada sejumlah ulama. Sebagai langkah antisipatif. Sehingga, ketika ada yang mengkapitalisasi kesepakatan itu untuk tujuan politik, sejumlah ulama yang sudah dapat informasi itu tidak akan kaget. Tidak salah paham. Sebaliknya, bisa jadi juru klarifikasi. Sebuah antisipasi yang cerdas.

Apa kesepakatannya? SP3 vs Gangguan politik. Kira-kira begini. Namanya juga kira-kira. Sebuah analisis. Bisa jadi benar. Dengan SP3, Habib Rizieq sepakat tidak ganggu dan melawan Jokowi di pilpres 2019. Tapi, dengan syarat. Syarat itu yang kira-kira tak mungkin bisa -atau setidaknya sulit- dipenuhi oleh istana. Misal, deal kalau Jokowi pecat Luhut Binsar Panjaitan (LBP). Deal, kalau Jokowi batalkan kerjasama dengan China. Deal, kalau Jokowi tidak melanggar aturan negara dan ajaran agama. Deal, kalau tidak ada lagi kriminalisasi atau perlakuaan tidak adil kepada umat Islam. Ini misalnya. Kalau begitu, tidak ketemu dong kesepakatannya? kalau toh deal, itu hanya di lisan. Atau hanya dalam tulisan. Tapi, tidak di hati dan tidak juga di sikap. Inilah deal pura-pura. Kesimpulannya “No Deal” juga.

Apakah sulit untuk deal? Pasti! Istana ingin GNPF Ulama yang mengoperasikan gerakannya melalui PA 212 tidak lagi ikut campur dan terlibat dalam politik, khususnya pilpres 2019. Ini tidak mungkin. Sebab, PA 212 yang dikomandoi Habib Rizieq justru “legitimed” di mata umat ketika bersama-sama melawan Jokowi di 2019. Diem, apalagi sampai mendukung Jokowi, PA 212 akan berakhir nasibnya. Mati, dan digantikan organisasi yang lain. Ini pasti disadari betul oleh Habib Rizieq dan seluruh aktivis PA 212.

Karena itu, Habib Rizieq membuat syarat yang tak mungkin bisa dipenuhi istana. Coba mengelabui dan menekan istana. Tapi, istana tak mudah ditekan. Bocornya pertemuan di Istana Bogor bisa diartikan sebagai bentuk perlawanan istana. Cara klasik untuk mematikan langkah lawan.

Saling menekan dan mengancam pihak satu dengan yang lain nampaknya akan terus terjadi. Satu pihak menggunakan kekuatan hukum. Pihak lainnya menggunakan jalur politik. Pilpres 2019 hanya tinggal menghitung bulan. Masing-masing pihak saling Sandera.

Kedua, ada pihak yang terlalu lihai untuk membujuk PA 212 agar mau bersilaturahmi ke istana. Bahasa “silaturahmi” seringkali ampuh untuk melumpuhkan kecerdasan politik sekelompok orang. Diksi “silaturahmi” ini mujarap untuk menjebak orang-orang polos yang keterlaluan polosnya. Tidakkah silaturahmi itu memperpanjang usia dan melapangkan rizki? Makin ketahuan polosnya. Silaturahmi yang bagaimana bro? Tanya anak gaul. Politik itu kepentingan. Silaturahmi itu ketulusan. Dua hal yang bertentangan. Intinya, silaturahmi itu beda dengan lobi. Lobi ada kalkulasi dan sarat hitung-hitungan. Tidak dengan silaturahmi.

Bocornya pertemuan di Istana Bogor adalah sebuah contoh “silaturahmi membawa luka”. Niat baik yang berujung duka. Negosiasi buntu, rekonsiliasi makin sulit terwujud. Pertama, masing-masing pihak semakin waspada. Kedua, konflik politik akan semakin seru. Kedua belah pihak akan menaikkan intensitas perlawanannya. Jalur hukum dan politik akan jadi sarana pertempuran. Pilpres 2019 adalah puncaknya. Siapa yang akan jadi pemenang? Apakah ganti presiden? Ataukah salam dua periode? Bergantung Sandera siapa yang paling kuat diantara keduanya.

Penulis: Tony Rasyid

Sumber : PORTAL ISLAM

Mengapa Ada Foto Presiden di Sertifikat Tanah?

Mengapa Ada Foto Presiden di Sertifikat Tanah?

(foto: Fajar.co.id )

(Sertifikat Surat Dinas, Presiden Bukan Lambang Negara RI)

Oleh. Natalius Pigai

10Berita, Perilaku yang diperlihatkan pemerintah terkait pembagian sertifikat tanah cukup menyita perhatian khususnya bagi kami pengkritik pemerintah. Setelah menyaksikan jawaban Presiden Jokowi yang kurang jelas dan menghindar ketika ditanya Najwa Sihab terkait adanya gambar Presiden dalam sebuah wawancara minggu ini justru menyadarkan saya untuk mencari tahu ada apa sesungguhnya.

Akhirnya, Perhatian saya justru bukan pada persoalan legalisasi tanah sebagai salah satu pilar reformasi agraria nasional, tetapi soal etika tata kelola pemerintah khususnya adanya gambar presiden dalam surat sertifikat.

Apa boleh gambar seorang presiden dalam sebuah sertifikat yang merupakan surat dinas? Apakah memang presiden adalah lambang negara seperti Garuda Pancasila? mengapa ada photo Presisen? Apakah justru merupakan kampanye terselubung menjelang Polres? Bukankah dalam Tata Naskah Dinas sudah ada peraturan yang mengatur bahwa surat dinas yang dikeluarkan oleh pemerintah dan ditanda tangani oleh Pejabat Negara hanya berlogo lambang negara. Ini harus ditelusuri secara serius karena merusak tatanan administrasi dan etika birokrasi.

Memang, Persoalannya bukan sekedar bagi-bagi sertifikat tanah. Sebagai negara agraris, Indonesia tidak terlepas dari problem agraria sebagaimana dihadapi oleh negara-negara agraris di belahan dunia lainnya. Bangsa kita juga mengalami problem serius terkait persoalan agraria, tidak muncul secara alamia tetapi ada akar historisnya.

Ironisnya, persoalan agraria bermula sejak bangsa kita masih dijajah Belanda, kemudian setelah peristiwa 65 yang juga merupakan tonggak sejarah lahirnya undang-undang agraria nasional nomor 5 tahun 1965.

Meskipun undang-undang tersebut masih memiliki persoalan sensitif terkait ideologi kepemilikan tanah yang bersifat komunal dan individual tetapi juga undang-undang ini yang menjustifikasi perampasan tanah secara besar-besaran oleh pemerintah baik TNI, Polri maupun juga kementerian kehutanan menyebabkan jutaan rakyat kecil yang telah menderita khususnya di pulau Jawa, Sumatera, Sulawesi dan seluruh negeri.

Arus reformasi yang ditandai dengan berhentinya peran binomial militer, demokratisasi, penghormatan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan pers menjadi gayung bersambut bagi masyarakat ikut berlomba-lomba mencari keadilan untuk memperoleh kembali tanah mereka. Komnas HAM selama 2012-2017 menangani rata-rata 1800 sampai 2000 kasus agraria dalam setahun. Persoalan utama adalah mengambil kembali lahan atau tanah yang dirampas oleh negara.

Sejak Jokowi menjadi presiden dengan menjanjikan adanya reformasi agraria menjadi angin segar bagi rakyat untuk mengklaim kembali tanah yang saat ini dikuasai oleh negara, koorporasi, juga menjadi milik individu-individu yang berkuasa. Beberapa upaya telah dilakukan oleh rakyat seperti masyarakat Jambi yang berjalan kaki selama 41 hari atau rakyat Tulung Agung jalan kaki ke Jakarta 27 hari, namun tidak pernah mendapatkan solusi yang pasti.

Reformasi agraria yang digulirkan oleh Presiden Jokowi tahun 2014, sebenarnya memberi angin segar bagi rakyat jika dilakukan secara komprehensif baik melalui legalisasi maupun juga redistribusi tanah. Ternyata pemerintah hanya mampu melakukan legalisasi tanah dengan memberi sertifikat kepada rakyat sebagaimana yang dilakukan oleh Presiden Jokowi saat ini.

Kebutuhan legalisasi tanah tentu penting karena kebutuhan legalisasi atau sertifikat tanah di Indonesia ada sebanyak 120 Baru 46 juta yang sudah bersertifikat sementara sisanya lebih kurang 74 juta masih belum tersertifikat.

Sedangkan redistribusi tanah sampai saat ini Jokowi pantas diberi kartu merah karena sama sekali tidak punya komitmen kuat dan kurang melakukan usaha-usaha secara masif untuk memulai redistribusi tanah bagi warga negara, petani, dan rakyat miskin.

Rakyat justru menjadi merana, nirlahan di atas tanah tumpa darahnya sendiri, sementara tanah dan lahan pertanian dimiliki oleh sekelompok oligarki yaitu negara melalui kementerian kehutanan, TNI dan Polri hasil rampasan tahun 65, konglomerat perkebunan, kooporasi tambang juga berupa real estat.

Memang reformasi agraria mengandung 2 pilar penting yaitu redistribusi tanah dan legalisasi atau sertifikasi. Pemberian sertifikat kepada pemilik tanah yang dilakukan oleh Presiden cukup menghebohkan seantero Republik ini. Ternyata bukan merupakan reformasi agraria nasional melalui redistribusi tanah baik yang dimiliki negara, pengusaha juga tanah terlantar (absente) tetapi hanya memberi sertifikat/legalitas tanah yang dimiliki oleh rakyat.

Pemberian legalitas tanah merupakan kewajiban negara untuk memastikan adanya jaminan pemenuhan kebutuhan hak asasi warga negara sesuai dengan salah satu prinsip dasar deklarasi umum PBB tentang HAM yaitu tentang kewajiban negara (The government obligation to fullfull on human right need).

Oleh Karena itu pemberian sertifikat merupakan suatu keharusan dan tidak ada yang istimewa. Negara justru harus memastikan agar 120 juta warga yang memiliki tanah harus disertifikasi karena sampai saat ini hanya 46 juta tersertifikat sementara 74 juta juta orang sampai saat ini belum memiliki sertifikat.

Setelah mempelajari dan menyimak berdasarkan pengalaman, maka komisi Ombudsmen RI perlu melakukan
Penyelidikan serius terkait adanya dugaan Palanggaran administrasi yang dilakukan oleh pemerintah khususnya kementerian Agrarian dan Tata Ruang.

Dugaan malladministrasi yang paling fatal adalah adanya Photo Presiden Jokowi yang terdapat dalam sertifikat tanah. Perlu diketahui bahwa Sertifikat Tanah adalah kategori Surat Dinas sebagaimana terdapat dalam Peraturan Kepala BPN Nomor 8 tahun 2009 tentang tata naskah dinas dan tata kearsipan di lingkungan Badan Pertanahan nasional.

Demikian pula secara spesifik diatur dalam Keputusan Menteri Agraria/ Kepala BPN Nomor 59/Kep-5.11/III/2017 tanggal 7 April 2017 tentang lambang, logo kementerian agraria dan tata ruang/BPN. Demikian pula Pada tahun 2016 ada peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang mengeluarkan peraturan nomor 7 tahun 2016 tentang bentuk dan isi sertifikat hak atas tanah.

Sesuai dengan berbagai aturan dan kelaziman dalam dunia Birokrasi maka Seritifat Tanah adalah SURAT DINAS. Dalam aturan tata naskah Dinas sebagaimana tersebut di atas dan kelaziman dalam dunia birokrasi maka Sertifikat adalah Surat Dinas yang hanya boleh dikeluarkan oleh Menteri/Kepala BPN. Maka sesuai dengan tata naskah dinas, surat dinas hanya boleh menggunakan atau terdapat LAMBANG NEGARA GARUDA.

Dalam Surat Dinas ada tiga surat yang diperbolehkan menggunakan Logo Garuda yaitu hanya pada surat yang ditandatangani oleh PEJABAT NEGARA:

1) Surat Dinas atas nama Kementerian dan atau Badan menggunakan Logo Garuda Berwarna.

2) Surat Dinas atas nama Menteri/ Kepala Badan menggunakan Logo Garuda Emas.

3) Surat Dinas Atas Nama Menteri/Kepala Badan menggunakan logo Garuda Berwarna Hitam Putih.

Dengan demikian Surat Dinas yang ditanda tangani oleh Pejabat Negara tidak boleh terdapat logo selain Garuda. Maka adanya photo Presiden dalam sertifikat menyalahi aturan karena Presiden bukan Lambang Nagera. Dalam Surat Dinas tidak boleh ada photo selain Garuda.

Oleh karena itu untuk menertibkan administrasi negara, maka Komisi Ombudsmen RI untuk melakukan penyelidikan atas dugaan malladministrasi ini dan jika terdapat kekeliruan, maka seluruh sertifikat yang telah diberikan oleh Presiden Jokowi diminta tarik kembali untuk diperbaiki atau Perubahan sebagaimana peraturan yang berlaku tersebut diatas. Komisi Ombudsmen RI harus mampu mengawasi dan menertibkan kebijakan yang secara potensial malakukan penyalahgunaan kewenangan oleh Presiden Jokowi untuk kepentingan Politik untuk Pilpres 2019.

Kita semua memiliki hak asasi untuk itu berpartisipasi dalam pemerintahan dan politik tentunya dengan jalan yang beretika, bermatabat dan menjaga profesionalitas, objektivitas dan imparsialitas untuk membangun iklim demokrasi yang sehat demi kejayaan Indonesia. (**)

( Natalius Pigai, Staf Khusus Menakertrans, Konsultan BRR Aceh, Tim Asistensi Dirjen OTDA Sudarsono dan Johermansyah, Pejabat Stuktural & Fungsional Kemenakertrans, Pimpinan Komnas HAM RI, dll). Pengalaman 18 tahun di Instansi Pemerintah Pusat. Saat ini Penyelidik Profesional)

Sumber :UC News 

Kamis, 26 April 2018

Jokowi Enggak Ngerti Di Balik Lemahnya Rupiah

Jokowi Enggak Ngerti Di Balik Lemahnya Rupiah

Oleh: Mudrajad Kuncoro

Guru besar FE universitas UGM

Versi ringkas dimuat di harian Bisnis Indonesia, 23 April 2018, http://m.bisnis.com/surabaya/read/20180423/251/787301/di-balik-lemahnya-...

10Berita, Ada apa di balik melemahnya rupiah di tengah cadangan devisa yang tertinggi dalam sejarah? Gubernur Bank Indonesia (BI), baik yang barusan terpilih maupun yang masih aktif, harus bisa memitigasi pelemahan kurs rupiah yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir, tanpa hanya menyalahkan faktor global.

Selama 3,5 tahun pemerintahan Presiden joko Widodo (Jokowi), nilai rupiah cenderung terus merosot terhadap dolar AS (USD). Sejak dilantik sebagai Presiden RI ke-7 pada 20 Oktober 2014, rupiah terus mengalami depreasi terhadap dolar AS. Nilai US$1 pada 20 Oktober 2014 sebesar Rp12.041 menurun menjadi Rp13.332 pada 30 juni 2015. IHSG sempat meningkat akibat “Jokowi Effect” dari 5.041 (20/10/2014) menjadi 5.523 (7/4/2015). Habis itu, masa “bulan madu” dengan Kabinet Kerja usai dan IHSG terus melemah. Pada 3 Juli 2015, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melorot hingga 4.958 dan kurs dolar AS melemah hingga Rp 13.316. Bandingkan dengan awal 2013, saat kurs masih Rp 9.685 dan IHSG 4.346,48. Memasuki tahun 2018, IHSG mulai melejit menembus 6.680-an, meskipun mulai merosot di akhir bulan Maret menjadi hanya sekitar 6.100-an. Seiring dengan merosotnya IHSG, kurs rupiah terhadap dolar AS berfluktuasi dengan trend melemah, di sekitar Rp 13.288-13.797. Gambar berikut menunjukkan adanya korelasi positif yang signifikan antara kurs dan IHSG. Artinya, bila IHSG merosot maka rupiah cenderung melemah, namun bila IHSG meningkat maka rupiah cenderung menguat terhadap dolar AS.

Kendati demikian, kita tidak bisa menyalahkan pemerintah semata karena kewenangan menjaga stabilitas nilai tukar rupiah ada di tangan BI selaku bank sentral di negeri ini. UU No. 6/2009 memberi mandat kepada BI untuk menjaga kestabilan nilai Rupiah. Untuk itu, BI menerapkan kerangka kebijakan moneter dengan inflasi sebagai sasaran utama kebijakan moneter (inflation targeting framework) dengan menganut sistem nilai tukar yang mengambang. Menurut Perry Warjiyo (2015), BI menerapkan pendekatan baru dengan bauran kebijakan (policy mix) dalam pelaksanaan 3 tugas pokok yaitu: (1) kebijakan moneter yang konsisten dan kredibel, (2) stabilitas sistem keuangan yang kuat dan teruji, dan (3) penyelenggaraan sistem pembayaran yang inovatif dan bertatakelola baik. Kebijakan difokuskan untuk menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah dan relaksasi kebijakan makroprudensial untuk ikut mendorong pertumbuhan ekonomi.

Sejak Gubernur BI dipegang Agus Martowardoyo, nyatanya depresiasi rupiah mencapai lebih dari 41% pasca 24 Mei 2013. Catatan depresiasi rupiah terhadap USD di era SBY jilid 1 hanya 4.5%, era SBY jilid 2 mencapai 30,5%, era Jokowi 14,2% Uniknya, melemahnya nilai tukar rupiah dibarengi dengan melesatnya IHSG. Pelemahan Rupiah tersebut, menurut versi resmi (BI, 2018: 14), dipengaruhi oleh penguatan dolar AS secara global dan terbatas…[11:56, 4/24/2018] Herdi Simpati: Sejak Gubernur BI dipegang Agus Martowardoyo, nyatanya depresiasi rupiah mencapai lebih dari 41% pasca 24 Mei 2013. Catatan depresiasi rupiah terhadap USD di era SBY jilid 1 hanya 4.5%, era SBY jilid 2 mencapai 30,5%, era Jokowi 14,2% Uniknya, melemahnya nilai tukar rupiah dibarengi dengan melesatnya IHSG. Pelemahan Rupiah tersebut, menurut versi resmi (BI, 2018: 14), dipengaruhi oleh penguatan dolar AS secara global dan terbatasnya sentimen positif di domestik. Volatilitas Rupiah sampai dengan akhir 2017 juga tercatat mengalami peningkatan meski tetap lebih rendah dibandingkan dengan negara pembanding antara lain Rand (Afrika Selatan), Lira (Turki), Real (Brazil), Won (Korea Selatan), Rupee (India), Peso (Filipina), Singapore Dollar (Singapura), Bath (Thailand), dan Ringgit (Malaysia).

Penyebab

Benarkah faktor eksternal semata ataukah pondasi ekonomi Indonesia yang “tidak sehat” sehingga rawan terhadap guncangan eksternal? Faktor apa di balik merosotnya nilai tukar rupiah?

Pertama, dari sisi eksternal, ada beberapa faktor di balik rentannya pasar valas dan modal kita. Pelemahan rupiah dipengaruhi sentimen negatif terkait dengan meningkatnya ketidakpastian global akibat pertumbuhan ekonomi dunia yang cenderung turun. Sejak Januari 2012, rupiah terdepresiasi terus-menerus, dari Rp 9.000-an awal Januari 2012 menembus di atas Rp 11.000 per dollar AS Agustus 2013, akhir September-Oktober 2016 melemah hingga Rp 14.700. Selewat itu, hingga hari ini (23 april 2018) kurs berada di rentang Rp 13.010 hingga 13.990.

Rupiah sempat melemah paling tajam akibat banyak investor asing menarik investasi mereka di Asia seiring dengan rencana bank sentral AS (The Fed) mengurangi kebijakan quantitative easing (QE). QE adalah kebijakan moneter yang diterapkan The Fed untuk mendorong perekonomian karena kebijakan moneter yang standar menjadi tidak efektif dan suku bunga sudah amat rendah mendekati nol. Caranya, The Fed membeli sejumlah aset finansial, yang berupa obligasi jangka panjang dan US Treasury Notes, di bank komersial ataupun lembaga keuangan lain. The Fed melakukan QE yang pertama pada 25 November 2008 hingga akhir Maret 2010, tadinya hanya 600 miliar dollar AS, tetapi akhirnya mencapai 1,75 triliun dollar AS. Pada QE tahap kedua, The Fed membeli 600 miliar dollar AS selama November 2010-Juni 2011. QE ketiga 12 September 2012, The Fed mengumumkan membeli surat berharga jangka panjang 40 miliar dollar AS per bulan. 19 Juni 2013, the Fed mengumumkan penurunan (tapering off) pembelian surat berharga jangka panjang. QE dinyatakan berakhir pada September 2017 dan the Fed mulai menaikkan suku bunga (federal fund rate) hingga 1,5% pada tahun 2018. Arah kebijakan moneter AS dapat disimak di Federal Reserve System, Monetary Policy Report, 23/2/2018.

Kedua, gejolak di Bursa Efek Indonesia (BEI), yang banyak terpengaruh program QE AS, telah mendorong investor membeli aset berisiko, terutama yang dimiliki negara berkembang, termasuk Indonesia. Setelah QE1, QE2, dan QE3 diberlakukan, terjadi tren yang sangat bullish pada indeks Dow Jones dan IHSG. Namun, sebaliknya apabila QE dikurangi, likuiditas di pasar AS menurun seiring dengan dikuranginya pembelian aset. Hal ini berdampak terhadap performa indeks saham negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, memasuki tren bearish seiring keluarnya dana asing. Inilah agaknya yang terjadi selama 3 bulan terakhir di mana nilai tukar Rupiah dan IHSG merosot akibat the Fed secara bertahap menaikkan suku bunga di AS.

Ketiga, faktor internal yang memperburuk adalah defisit neraca perdagangan dan transaksi berjalan yang masih berlanjut. Inilah penyakit kronis yang menggerogoti ekonomi kita dan membuat tidak sehat. Pada Triwulan IV 2017, defisit transaksi berjalan melonjak hingga USD5,8 miliar (2,2% dari PDB), lebih tinggi dibandingkan dengan defisit pada triwulan IV 2016 yang sebesar USD1,8 miliar (0,7% dari PDB). Meningkatnya defisit diakibatkan oleh menyusutnya surplus neraca perdagangan nonmigas serta meningkatnya defisit neraca perdagangan migas dan neraca jasa. Surplus neraca perdagangan nonmigas menurun karena impor nonmigas meningkat 8,4% (qtq), melampaui peningkatan ekspor nonmigas yang hanya 4,3% (qtq). Defisit neraca perdagangan migas meningkat, terutama didorong oleh peningkatan impor minyak yang lebih besar dari peningkatan ekspor minyak. Kenaikan defisit neraca jasa terutama dipengaruhi oleh peningkatan defisit jasa transportasi seiring kenaikan impor barang. Indonesia kini menjadi net importer minyak namun belum berhasil menggenjot ekspor nonmigas, menjalankan strategi substitusi impor, serta menekan defisit neraca jasa.

Defisit transaksi berjalan yang meningkat perlu dicermati penyebabnya. Defisit terjadi karena didorong terus menurunnya ekspor akibat pelambatan ekonomi global, penurunan tajam harga komoditas global, di tengah masih tingginya impor, baik migas maupun nonmigas, serta adanya pembayaran bunga utang yang cukup besar sejak triwulan II-2013. Pada akhir Mei 2015, cadangan devisa sebesar 110,77 miliar dollar AS, yang ekuivalen dengan 7,1 bulan impor. Bandingkan dengan posisi cadangan devisa akhir Februari 2018 yang tercatat 128,06 miliar dolar AS, yang menurun dibandingkan dengan posisi akhir Januari 2018 yang mencapai 131,98 miliar dolar AS. Posisi cadangan devisa ini mampu membiayai sekitar 7,9-8,1 bulan impor dan diyakini di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor. Penurunan cadangan devisa pada Februari 2018 ini terutama bersumber dari penggunaan devisa untuk pembayaran ULN pemerintah, stabilisasi nilai tukar rupiah, serta menurunnya penempatan valas perbankan di BI akibat pembayaran kewajiban valas penduduk.

Keempat, faktor internal lain yang perlu dicermati adalah utang swasta yang sebagian besar jatuh tempo. BI melaporkan, utang luar negeri (ULN) Indonesia pada akhir November 2017 tercatat sebesar 347,3 miliar dollar AS atau sekitar Rp 4.636,455 triliun dengan kurs Rp 13.350 per dollar AS, yang artinya meningkat 9,1 persen per tahun. Kendati rasio ULN Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) tercatat stabil di kisaran 34%, ULN sektor swasta pada November 2017 tercatat sebesar 170,6 miliar dollar AS, sementara ULN sektor publik tercatat 176,6 miliar dollar AS pada periode yang sama. ULN swasta ini terkonsentrasi 78% di sektor keuangan, industri pengolahan, listrik, gas, dan air bersih, serta pertambangan. ULN tetap didominasi ULN jangka panjang yang memiliki pangsa 85,7% dari total ULN.

Data resmi menunjukkan surplus transaksi modal dan finansial meningkat dari USD29,3 miliar pada 2016 menjadi sebesar USD29,9 miliar pada 2017. Faktor pendorongnya adalah kenaikan surplus investasi asing baik dalam bentuk Foreign Direct Investment (PMA) maupun investasi portofolio. PMA terlihat surplus sebesar USD4,6 miliar, lebih tinggi dibandingkan dengan surplus pada periode yang sama tahun sebelumnya sebesar USD3,5 miliar. Namun, investasi penduduk Indonesia di luar negeri pada triwulan IV 2017 mencatat arus keluar sebesar USD0,5 miliar. Investasi langsung yang dilakukan oleh investor asing di Indonesia mengalami arus masuk neto sebesar USD5,1 miliar.

Kelima, melorotnya nilai tukar rupiah berpotensi menyulut utang macet dalam bentuk valas. Apalagi ULN swasta nasional banyak yang belum memiliki lindung nilai (hedging). BI melaporkan pada tahun 2014, sebanyak 88% ULN sektor swasta di Indonesia belum melakukan fasilitas lindung nilai. Pertumbuhan ULN swasta terus menurun meskipun levelnya masih tinggi. Di akhir 2014, utang luar negeri sekitar USD163,6 miliar, menurun pada akhir 2016 menjadi sebesar USD158,7 miliar, pada November 2017 kembali meningkat sebesar USD170,6 miliar, atau tumbuh 4,2%.

Efektifitas Kebijakan

BI menerbitkan sejumlah kebijakan moneter guna meningkatkan pasokan valas secara lebih efektif. Namun, sejak Agus Martowardojo menjadi gubernur BI, rupiah terus merosot terhadap USD. Awal dilantik sebagai gubernur BI (24 Mei 2013), kurs rupiah masih senilai Rp 9.772. Pada 29 Marer 2018, kurs melemah menjadi Rp 13.756. Artinya. dari 24 Mei 2013 hingga Maret 2018, rupiah telah mengalami depresiasi hingga 40,7%.

Sebenarnya berapa seharusnya kurs rupiah yang mendekati daya belinya? Berdasarkan teori purchasing-power parity (PPP), dalam jangka panjang kurs akan bergerak dengan harga yang sama untuk komoditi yang sama. Inilah yang dikenal dengan “the law of price”. Harga komoditi global, seperti hamburger BigMac, seharusnya sama bila dinyatakan dalam mata uang yang sama di seluruh negara di dunia. Dengan kurs Rp/USD yang aktual sebesar Rp 13.359, harga hamburger BigMac di Indonesia Rp 35.750 (atau setara dengan USD2,68) pada Januari 2018. Harga BicMac di Amerika Serikat pada waktu yang sama jauh lebih mahal senilai $5.28. Jadi kurs Rp yang sesuai dengan PPP harusnya Rp 6.771. Namun karena kurs senyatanya sebesar Rp 13.359, maka bila dinilai dalam Big Mac Currency, nilai rupiah saat ini sudah dinilai terlalu rendah (undervalued) hingga 49,3%. Dibandingkan dengan Juli 2013, undervalued Rp hanya sebesar 38%, artinya nilai Rp makin merosot. Anda bisa mencermati kurs Big Mac untuk semua mata uang, termasuk Rp, di http://www.economist.com/content/big-mac-index, Dengan kata lain, fungsi utama BI berdasarkan UU No.3/1999 yang menjaga stabilitas nilai tukar rupiah masih perlu dipertanyakan efektifitasnya.

Penyebab utama anjloknya IHSG dan terpuruknya nilai tukar rupiah sebetulnya adalah struktur ekonomi kita yang sejak lama ”tidak sehat”, tetapi diberi obat yang tidak cespleng. Agaknya masih perlu ”obat” yang mampu menyembuhkan Indonesia dari penyakit kronis. Melemahnya rupiah dan IHSG perlu dicari akar masalahnya. Faktor eksternal hanya pemicu, tetapi sumber penyakit kronis yang membikin struktur ekonomi tidak sehat perlu diprioritaskan dan dipilih obatnya. Tanpa ada QE dan kenaikan bunga di AS pun, neraca perdagangan dan transaksi berjalan yang tidak sehat, mengakibatkan pelemahan rupiah, hanya tunggu waktu. Tanpa perubahan mendasar kebijakan makro dan sektoral, ancaman krisis di pasar modal dan valas, cepat atau lambat akan merembet ke semua sektor, termasuk pasar tradisional dan Usaha Mikro, kecil, Menengah.

Dibandingkan dengan krisis Asia 1998 dan krisis global 2008, penurunan kurs dan IHSG selama beberapa bulan terakhir belum masuk tahap ”krisis” sehingga belum bisa diterapkan protokol krisis. Menurut UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan Pasal 45, definisi ”krisis pada sistem keuangan” adalah kondisi sistem keuangan yang sudah gagal menjalankan fungsi dan perannya secara efektif dalam perekonomian nasional yang ditunjukkan dengan memburuknya berbagai indikator ekonomi dan keuangan antara lain berupa kesulitan likuiditas, masalah solvabilitas, dan/atau penurunan kepercayaan publik terhadap sistem keuangan. Namun, langkah antisipatif dan proaktif bernuansa jangka pendek dan menengah agaknya amat ditunggu pelaku bisnis dan rakyat. Obat yang ”tidak generik” dibutuhkan untuk mengobati ”penyakit kronis” yang sudah 15 tahun terakhir menggerogoti ekonomi Indonesia.(KONF/)

Sumber : BISNIS.COM