OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Senin, 15 Januari 2018

Penyesalan Ahli Neraka Karena Masalah Ketaatan

Penyesalan Ahli Neraka Karena Masalah Ketaatan

10Berita – Kitab Suci Al-Qur’an seringkali menggambarkan berbagai bentuk penyesalan para penghuni Neraka. Salah satu di antara bentuk penyesalan itu berkaitan dengan urusan ”ketaatan”. Kelak para penghuni Neraka pada saat tengah mengalami penyiksaan yang begitu menyengsarakan berkeluh kesah penuh penyesalan mengapa mereka dahulu sewaktu di dunia tidak mentaati Allah dan RasulNya. Kemudian mereka menyesal karena telah menyerahkan kepatuhan kepada para pembesar, pemimpin, Presiden, Imam, Amir, Qiyadah dan atasan mereka yang ternyata telah menyesatkan mereka dari jalan yang lurus. Akhirnya, karena nasi telah menjadi bubur, mereka hanya bisa mengharapkan agar para mantan pimpinan mereka itu diazab oleh Allah dua kali lipat daripada azab yang mereka terima. Bahkan penghuni Neraka akhirnya mengharapkan agar para mantan pimpinan mereka itu dikutuk dengan kutukan yang sebesar-besarnya. Semoga Allah melindungi kita dari penyesalan demikian. Na’udzubillahi min dzaalika..!

يَوْمَ تُقَلَّبُ وُجُوهُهُمْ فِي النَّارِ يَقُولُونَ يَا لَيْتَنَا أَطَعْنَا اللَّهَ وَأَطَعْنَا الرَّسُولَا وَقَالُوا رَبَّنَا إِنَّا أَطَعْنَا سَادَتَنَا وَكُبَرَاءَنَا فَأَضَلُّونَا السَّبِيلَا رَبَّنَا آَتِهِمْ ضِعْفَيْنِ مِنَ الْعَذَابِ وَالْعَنْهُمْ لَعْنًا كَبِيرًا

”Pada hari ketika muka mereka dibolak-balikkan dalam neraka, mereka berkata: “Alangkah baiknya, andaikata kami ta`at kepada Allah dan ta`at (pula) kepada Rasul”. Dan mereka berkata: “Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah menta`ati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar). Ya Tuhan kami, timpakanlah kepada mereka azab dua kali lipat dan kutuklah mereka dengan kutukan yang besar”. (QS. Al-Ahzab [33] : 66-68)


Gambaran di atas merupakan suatu gambaran yang sungguh mengenaskan. Bagaimana kumpulan manusia yang sewaktu di dunia begitu menghormati dan mempercayai para pembesar dan pemimpin mereka, tiba-tiba setelah sama-sama dimasukkan Allah ke dalam derita Neraka mereka baru sadar ternyata telah ditipu oleh para pemimpin tersebut sehingga berbalik menjadi pembenci dan pengutuk para mantan pembesar dan pemimpin tersebut. Mereka terlambat menyadari jika telah dikelabui dan disesatkan dari jalan yang benar. Mereka terlambat menyadari bahwa sesungguhnya para pemimpin dan pembesar itu tidak pernah benar-benar mengajak dan mengarahkan mereka ke jalan yang mendatangkan keridhaan dan rahmat Allah.

Itulah sebabnya tatkala Allah menyuruh orang-orang beriman mentaati Allah dan RasulNya serta ”ulil amri minkum” (para pemimpin di antara orang-orang beriman) saat itu juga Allah menjelaskan kriteria ”ulil amri minkum” yang sejati. Yaitu mereka yang di dalam kepemimpinannya bilamana menghadapi perselisihan pendapat maka Allah (Al-Qur’an) dan RasulNya (As-Sunnah/Al-Hadits) menjadi rujukan mereka dalam menyelesaikan dan memutuskan segenap perkara.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

”Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisaa [4] :  59)

Benar, Islam sangat menganjurkan kita semua supaya taat kepada pemimpin, namun pemimpin yang seperti apa? Apakah patut kita mentaati para pembesar dan pemimpin bilamana mereka tidak pernah menjadikan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai rujukan untuk menyelesaikan berbagai problema yang muncul? Mereka lebih percaya kepada hukum dan aturan bikinan manusia, bikinan para legislator, daripada meyakini dan mengamalkan ketentuan-ketentuan Allah dan RasulNya. Pantaslah bilamana masyarakat yang sempat menghormati dan mempercayai para pembesar dan pemimpin seperti ini sewaktu di dunia kelak akan menyesal ketika sudah masuk Neraka. Bahkan mereka akan berbalik menyerang dan memohon kepada Allah agar para ulil amri gadungan tersebut diazab dan dikutuk…!

Tetapi kesadaran dan penyesalan di saat itu sudah tidak bermanfaat sama sekali untuk memperbaiki keadaan. Sehingga Allah menggambarkan bahwa pada saat mereka semuanya telah divonis menjadi penghuni Neraka lalu para pengikut dan pemimpin berselisih di hadapan Allah sewaktu di Padang Mahsyar. Para pengikut menuntut pertanggungjawaban dari para pembesar, namun para pembesar itupun cuci tangan dan tidak mau disalahkan. Para pemimpin saat itu baru mengakui bahwa mereka sendiri tidak mendapat petunjuk dalam hidupnya sewaktu di dunia, sehingga wajar bila merekapun tidak sanggup memberi petunjuk sebenarnya kepada rakyat yang mereka pimpin. Mereka mengatakan bahwa apakah mau berkeluh kesah ataupun bersabar sama saja bagi mereka. Hal itu tidak akan mengubah keadaan mereka barang sedikitpun. Baik pemimpin maupun rakyat sama-sama dimasukkan ke dalam derita Neraka.

وَبَرَزُوا لِلَّهِ جَمِيعًا فَقَالَ الضُّعَفَاءُ لِلَّذِينَ اسْتَكْبَرُوا إِنَّا كُنَّا لَكُمْ تَبَعًا فَهَلْ أَنْتُمْ مُغْنُونَ عَنَّا مِنْ عَذَابِ اللَّهِ مِنْ شَيْءٍ قَالُوا لَوْ هَدَانَا اللَّهُ لَهَدَيْنَاكُمْ سَوَاءٌ عَلَيْنَا أَجَزِعْنَا أَمْ صَبَرْنَا مَا لَنَا مِنْ مَحِيصٍ

”Dan mereka semuanya (di padang Mahsyar) akan berkumpul menghadap ke hadirat Allah, lalu berkatalah orang-orang yang lemah kepada orang-orang yang sombong: “Sesungguhnya kami dahulu adalah pengikut-pengikutmu, maka dapatkah kamu menghindarkan daripada kami azab Allah (walaupun) sedikit saja? Mereka menjawab: “Seandainya Allah memberi petunjuk kepada kami, niscaya kami dapat memberi petunjuk kepadamu. Sama saja bagi kita, apakah kita mengeluh ataukah bersabar. Sekali-kali kita tidak mempunyai tempat untuk melarikan diri”. (QS. Ibrahim [14] : 21)

Allah menggambarkan bahwa kumpulan pengikut taqlid dan pemimpin sesat ini adalah kumpulan orang-orang zalim. Para pemimpin sesat akan berlepas diri dari para pengikut taqlidnya. Sedangkan para pengikut taqlid bakal menyesal dan berandai-andai mereka dapat dihidupkan kembal ke dunia sehingga mereka pasti berlepas diri, tidak mau loyal dan taat kepada para pemimpin sesat tersebut. Tetapi semuanya sudah terlambat.

وَلَوْ يَرَى الَّذِينَ ظَلَمُوا إِذْ يَرَوْنَ الْعَذَابَ أَنَّ الْقُوَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا وَأَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعَذَابِ إِذْ تَبَرَّأَ الَّذِينَ اتُّبِعُوا مِنَ الَّذِينَ اتَّبَعُوا وَرَأَوُا الْعَذَابَ وَتَقَطَّعَتْ بِهِمُ الْأَسْبَابُ وَقَالَ الَّذِينَ اتَّبَعُوا لَوْ أَنَّ لَنَا كَرَّةً فَنَتَبَرَّأَ مِنْهُمْ كَمَا تَبَرَّءُوا مِنَّا كَذَلِكَ يُرِيهِمُ اللَّهُ أَعْمَالَهُمْ حَسَرَاتٍ عَلَيْهِمْ وَمَا هُمْ بِخَارِجِينَ مِنَ النَّارِ

”Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal). (Yaitu) ketika orang-orang yang diikuti itu berlepas diri dari orang-orang yang mengikutinya, dan mereka melihat siksa; dan (ketika) segala hubungan antara mereka terputus sama sekali. Dan berkatalah orang-orang yang mengikuti: “Seandainya kami dapat kembali (ke dunia), pasti kami akan berlepas diri dari mereka, sebagaimana mereka berlepas diri dari kami.” Demikianlah Allah memperlihatkan kepada mereka amal perbuatannya menjadi sesalan bagi mereka; dan sekali-kali mereka tidak akan ke luar dari api neraka.” (QS. Al-Baqarah [2] : 165-167)

Sumber : Eramuslim

Presiden Palestina: Israel Telah Mengakhiri Perjanjian Oslo

Presiden Palestina: Israel Telah Mengakhiri Perjanjian Oslo


Pertemuan PLO di Ramalah. Foto: Jerusalem Post

10Berita, RAMALAH—Menjelang rapat dengan sejumlah pemimpin Palestina di Ramalah guna membahas pengakuan Presiden Amerika Serikat Donald Trump terhadap Yerusalem sebagai ibu kota Israel, Presiden Palestina Mahmoud Abbas pada Ahad (14/1/2018) menyatakan bahwa Israel melalui sejumlah aksinya  telah mengakhiri Perjanjian Oslo. 

“Saya bicara tentang Oslo, tak ada lagi Oslo. Israel telah mengakhiri Oslo,” kata Abbas seperti dilansir dari AFP.

Oslo merupakan perjanjian antara pemerintah Israel dengan otoritas Palestina, PLO. Perjanjian Oslo ditandatangani pada 1993 di Washington DC, Amerika Serikat dan pada 1995 di Mesir.

Poin penting dalam perjanjian itu salah satunya adalah pengakuan PLO terhadap negara Israel dan sebaliknya, pengakuan pemerintah Israel terhadap PLO sebagai perwakilan rakyat Palestina dan mitra negosiasi.  Selain itu, perjanjian Oslo juga membahas jalan menuju perdamaian Israel-Palestina.

Abbas mengatakan pihaknya akan segera memutuskan langkah ke depan setelah Israel mengakhiri Perjanjian Oslo. []

Sumber :Islampos 

Militer Myanmar Akui Adanya Pembunuhan Warga Rohingya, Suu Kyi: Kami Sedang Mengambil Langkah untuk Bertanggung Jawab

Militer Myanmar Akui Adanya Pembunuhan Warga Rohingya, Suu Kyi: Kami Sedang Mengambil Langkah untuk Bertanggung Jawab


Pemimpin sipil Myanmar Aung San Suu Kyi Foto: CNN

10Berita, YANGON—Pemimpin sipil Myanmar Aung San Suu Kyi menyambut pengakuan militer Myanmar soal pembunuhan warga muslim Rohingya di Rakhine dan memuji pengakuan itu sebagai langkah positif.

Suu Kyi memuji pengakuan militer Myanmar mengenai keterlibatan dalam pembunuhan warga Rohingya di Inn Din sebagai langkah baru yang diambil negara kami.

“Pada akhirnya, aturan hukum di negara adalah tanggung jawab negara itu. Ini indikasi positif bahwa kami sedang mengambil langkah-langkah untuk bertanggung jawab,” ujar Suu Kyi sepert dilansir AFP, Sabtu (14/1/2018) kemarin.

Lebih dari 600 ribu warga Rohingya telah meninggalkan Rakhine dan mengungsi ke Bangladesh.Para pengungsi Rohingya tersebut melaporkan tentang kekejaman yang dilakukan militer Myanmar, namun pihak militer Myanmar membantahnya.

Setelah berbulan-bulan membantah, militer Myanmar untuk pertama kalinya pada Rabu (10/1/2018) lalu menyatakan, hasil penyelidikan menunjukkan bahwa empat tentara Myanmar membantu membunuh 10 tersangka militan Rohingya.

Hingga saat ini, wilayah konflik Rakhine masih tetap dinyatakan tertutup bagi media, badan-badan kemanusiaan dan para penyelidik Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). []

Sumber : Islampos

Orang-Orang Yang Tenggelam Dalam Keringatnya

Orang-Orang Yang Tenggelam Dalam Keringatnya


10Berita– Mari menepi sejenak. Asingkan diri dari segala soalan tentang dunia yang amat sementara ini. Abaikan semua godaan dan pernak-perniknya. Merenunglah. Hitung-hitunglah dosa. Sesali. Dan berkomitmenlah untuk melakukan berbagai jenis amal shalih di sisa hidup yang Allah Ta’ala berikan.

Bayangkanlah. Kelak, kita akan dihisab atas semua amal. Dari yang paling kecil, sampai yang terbesar. Dari sesuatu yang kita anggap remeh, hingga persoalan yang amat kita sesali sebagai sebuah kesalahan besar dalam hidup.

“Hisab,” demikian disampaikan oleh Ustadz Salim A. Fillah, “adalah salah satu kengerian terdahsyat dari rangkaian peristiwa sesudah manusia dibangkitkan sebakda kiamat.”

Cobalah renungi sabda sang manusia junjungan dalam salah satu sabdanya yang diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi,

“Ketika seorang hamba dihadapkan kepada Allah Ta’ala, maka ditunjukkanlah semua nikmat yang telah Dia karuniakan kepadanya.”

Bayangkan; semua nikmat! Bukankah amat banyak nikmat yang telah Allah Ta’ala kurniakan? Pun tentang seteguk air yang membasuh dahaga, atau yang lebih kecil dari itu. Semuanya akan dimintai pertanggungjawabannya.

Ketika semuanya dibeberkan, lanjut Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, “Diperlihatkanlah semua amal yang dia lakukan dengan anugerah dari Rabbnya itu hingga dia merasa sangat malu karenanya.”

Malu. Maknanya bisa ganda. Negatif sebab salah memanfaatkan amal. Atau malu sebab lupa mensyukuri, padahal nilainya sangat agung. “Dia malu karena banyaknya hal nista yang ditampilkan di sana.”

“Dia malu,” kata Rasulullah dalam sabdanya ini, “karena rezeki dari Yang Maha Memberi digunakan untuk mendurhakai Sang Pengarunia.”

Bukan sekadar malu. Tapi malu yang amat mencekam jiwanya. “Rasa malu sangat parah mencekam jiwanya. Sampai-sampai keringatnya mengucur deras. Di hadapan hisab itu, hamba-hamba Allah Ta’ala akan tenggelam di dalam keringatnya sendiri.”

Pungkas Rasulullah mengakhiri sabdanya ini, “Ada yang tergenang (dengan keringatnya) hingga mata kaki. Ada yang terbenam hingga lutut. Ada yang mencapai pundaknya. Dan ada yang tenggelam hingga kepala.”

Lantaran kengerian dan mencekamnya hisab ini, Sayyidina ‘Umar bin Khaththab mengatakan, “Orang yang dihisab sudah (seperti) merasakan azab.”

Duhai diri, adakah kalian tidak berpikir sehingga lupa mensyukuri atas setiap nikmat yang kelak dimintai pertanggungjawabannya? [Pirman/Kisahikmah]

Sumber : Eramuslim 

Media Islam Di Tengah Gelombang Pilkada 2018

Media Islam Di Tengah Gelombang Pilkada 2018


Oleh: Roni Tabroni*

10Berita, Tahun 2018 diberi stempel tahun politik. Entah siapa yang memulai. Yang jelas di tahun ini ada 171 daerah yang melakukan Pilkada serentak, terdiri dari 17 Provinsi, 39 kota, dan 115 Kabupaten. Karena jumlah yang besar mungkin orang menganggap ini tahun politik, padahal 2017 pun ada 101 daerah yang melakukan Pilkada.

Terlepas dari itu, membincangkan Pilkada sangat erat dengan media, sebab tidak bisa dipisahkan. Namun juga, di tema yang sedikit berbeda, kita akan menemukan kehawatiran publik akan tahun politik ini. Apa sebab, dalam hiruk pikuk politik, sering kali diwarnai dinamikanya yang khas. Politik identik dengan kegaduhan, konflik baik di dunia nyata maupun di dunia maya, perang urat syaraf, sampai kerusuhan massal.

Karena kehawatiran itulah maka ada pihak juga yang ingin mengganti penyebutan tahun politik dengan tahun demokrasi. Alasannya, penyebutan demokrasi dirasa lebih adem dibanding politik yang identik dengan konflik. Tetapi, dalam demokrasi juga biasanya ada embel-embelnya ketika menghadapi Pilkada atau pemilu yaitu “pesta demokrasi.” Penambahan kata “pesta” memberikan asosiasi kepada sebuah aktivitas yang riuh.

Artinya, tidak ada pilihan kata yang bisa mewakili kata hati dari publik yang sesungguhnya berkeinginan bahwa Pilkada tidak mengganggau kondisifitas sosial dan tetap harmonis. Suara hati publik, termasuk elit politik, dari hati yang paling dalam sesungguhnya mengingikan sebuah kondisi yang tetap aman dan tidak berujung pada konflik. Kehendak untuk tetap damai ini menjadi kebutuhan bersama, siapapun mereka, apapun partai dan pilihan politiknya.

Walaupun demikian, berbicara Pilkada, seperti halnya juga pemilu dan Pilpres, memiliki resiko yang tidak ringan, karena menentukan nasib bangsa dan masyarakat lima tahun ke depan. Di sinilah sesungguhnya letak pentingnya Pilkada. Berbicara masa depan masyarakat lima tahun ke depan jauh lebih penting dari proses pestanya itu sendiri. Jika salah dalam menentukan pemimpin ke depan, maka nasib masyarakat akan tergadai.

Saya kira, dalam konteks inilah kita berbicara pentingnya kehadiran media massa Islam. Di mana masyarakat membutuhkan edukasi yang paling tulus dari media pada ajang Pilkada, bukannya menjadikan Pilkada sebagai komoditas ekonomi dan kekuasaan melalui media massa. Sudah lama masyarakat muak dengan keberadaan media-media mainstream yang cenderung partisan dan tidak melakukan fungsi edukasinya kepada masyarakat. Yang terjadi, media hanya dijadikan saluran hasrat politik dari pemilik dan penguasa tertentu. Masyarakat menjadi korban dari konten media yang cenderung memframing sebuah objek berita berdasar pada kepentingan tadi.

Media Islam, pada dasarnya juga memiliki kepentingan seperti halnya media-media umum lainnya. Hanya saja, letak perbedaannya terdapat pada misi kehadiran medianya dan motif dari pemberitaannya. Misi kehadiran media artinya media massa lahir dengan sejumlah kepentingan, dan media Islam tentu saja lahir dengan misi yang mulia, berdasar pada kebutuhan dakwah, maka di dalamnya pasti dibarengi dengan moral dan etika. Sedangkan motif pemberitaan nanti akan terlihat dari target pemberitaan, jika media pada umumnya lebih mendewakan materi dan kepentingan politik, maka media Islam lebih berorientasi pada kemaslahatan ummat.

Maka konten-konten yang selayaknya ada dalam media Islam adalah pesan-pesan yang mengandung unsur edukasi. Pilkada tidak dimaknai sebagai sesuatu yang berlebihan, tetapi hanya sebagai momentum untuk meningkatkan kebajikan dalam bentuk informasi yang mendidik sebagaimana halnya media Islam berjalan selama ini. Jika Pilkada bagi masyarakat cukup menakutkan, maka oleh media Islam dibalik menjadi sesuatu yang menyejukkan.

Karenanya, ada dua agenda yang setidaknya dapat diperankan oleh media massa Islam pada momentum Pilkada ini. Pertama, agenda jangka pendek, Pilkada sebagai momentum untuk mencerdaskan masyarakat lewat kemasan-kemasan informasi yang sejuk dan inspiratif. Selama Pilkada banyak orang yang menghindari media karena jengah dengan berita-berita politik. Ketika publik menghindar berarti ada yang salah dengan media kita, dan disitulah ruang kosong dimana media Islam harus mengambil peran untuk mengembalikan minat masyarakat.

Sebab jika masyarakat (khususnya ummat Islam) kemudian menjadi apatis politik, maka nanti yang memanfaatkan adalah pihak lain yang tidak memiliki kredibilitas dan kualitas baik sebagaimana yang diharapkan. Itu artinya ummat Islam menyerahkan resiko masa depan ummat lima tahun ke depan kepada pihak lain.

Kedua, agenda jangka panjang, yaitu membangun visi yang jauh ke depan tentang bangunan peradaban sebuah bangsa yang disusun dari kondisi daerah satu dengan lainnya. Di sini media Islam mestinya menyusun agenda, mau seperti apa Indonesia sepuluh, dua puluh, atau lima puluh tahun ke depan. Dari mulai daerah, media Islam harus mulai membenahi sehingga masyarakat dengan segala potensinya tidak jatuh kepada pihak-pihak yang hanya mementingkan urusan dunia.

Untuk menghindari dosa politik (membuat orang apatis politik), maka media Islam harus menjadi bagian paling depan dalam melakukan edukasi politik dengan didasarkan pada akhlak dan moral yang tinggi. Pada ajang Pilkada juga media Islam dapat menunjukkan kredibilitasnya untuk menampakkan Islam yang rahmatan lil alamin, dengan muatan wawasan global. Sehingga, ummat tidak picik melihat Pilkada bahkan menjadi aktif dan produktif berpartisipasi dalam memajukan demokrasi di daerahnya masing-masing. Wallai a’lam. [syahid/voa-islam.com]

*Penulis adalah Pengurus Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah

Sumber : Voa-islam.com

Pengamat: Politik Mahar dan Politik Balas Budi Sama-sama Merusak

Pengamat: Politik Mahar dan Politik Balas Budi Sama-sama Merusak


10Berita, JAKARTA - Beredar belakangan ini isu bahwa adanya mahar dari partai tertentu. Isu ini dilontarkan lantaran misalnya saja urungnya bakal calon tersebut karena dianggap tidak setor uang yang diminta. Dan isu ini menyerang ke partai oposisi. Namun sesungguhnya di antara mahar dan juga politik balas budi menurut pengamat politik menyebabkan kerusakan yang samaa, yakni sama-sama merusak demokrasi yang ada.

“Oposisi kena serangan kenceng gara-gara isu politik mahar, sebentar lagi mungkin giliran penguasa panas dingin lantaran politik balas budi dibahas, hanya bila ada yang berani, hayoooo yang komisaris, siap siap! Politik Mahar dan Politik balas budi damage-nya sama buat demokrasi,” kata Hendri Satrio, melalui akun Twitter pribadi miliknya, belum lama ini.


Hendri tidak menyebutkan secara tegas partai mana yang diterpa isu politik mahar dan politik balas budi. Namun demikian, jika dilihat pemberitaan belakanga ini, ada nama partai Gerindra yang diserang oleh mahar karena, sebut saja La Nyalla kecewa lantaran tidak jadi dicalonkan sebagai Cagub di Jawa Timur.

Adapun untuk politik balas budi, bisa diasumsikan (bukan oposisi) ke pemerintahan Jokowi. Di mana ada beberapa nama yang duduk sebagai komisaris karena dianggap berjasa membantu memenangkan Jokowi. (Robi/)

Sumber : voa-islam.com

Keran Impor Beras Dibuka, Siapa yang Untung?, Nggak nyangka ini diantaranya

Keran Impor Beras Dibuka, Siapa yang Untung?, Nggak nyangka ini diantaranya

 



10Berita, Sebanyak 500.000 ton beras impor dari Vietnam dan Thailand dipastikan akan datang akhir Januari ini. Kementerian Perdagangan (Kemendag) telah menunjuk PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (Persero) untuk mengimpor beras.

Keputusan impor beras ini diambil Kemendag setelah operasi pasar yang dilakukan Perum Bulog sejak akhir 2017 lalu gagal meredam kenaikan harga beras. Sekarang harga beras medium sudah menembus level Rp 12.000/kg, jauh di atas Harga Eceran Tertinggi (HET) sebesar Rp 9.450/kg yang ditetapkan pemerintah.

Terkait masalah ini, analis ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudistira Adhinegara, berpendapat penunjukan PPI untuk mengimpor beras tidak tepat.
Menurutnya, yang paling ideal untuk melakukan impor adalah Perum Bulog yang sudah berpengalaman, memiliki infrastruktur memadai, serta jaringan pasar untuk penyaluran beras.

"Apalagi dengan adanya sengkarut pangan ini, harusnya komunikasi Kemendag dan Bulog harus lebih diintensifkan. Peran Bulog harus dominan dan ditingkatkan," katanya kepada kumparan (kumparan.com), Minggu (14/1).

Ia memprediksi, katanya, akan ada permainan jika nantinya PPI menggandeng pihak swasta sebagai mitra untuk melakukan impor dan menyalurkan beras.

"Dikhawatirkan ada pemburu-pemburu rente yang memanfaatkan kondisi untuk mendapatkan margin yang besar," lanjutnya.

Selain itu, ia menduga ada oknum-oknum yang sengaja menimbun beras agar seolah-olah pasokan kurang dan mendorong dibukanya impor.

Oknum-oknum ini, kata Bhima, biasanya adalah supplier besar yang berpotensi untuk mendapatkan rekomendasi impor. Sehingga, berhak mendapatkan beras impor dan menjualnya.

"Bertambahnya pasokan dari beras impor ini tentu sangat menguntungkan untuk mereka. Ambil untung Rp 1.000/kg saja untuk 500.000 ton tersebut, sudah besar sekali untungnya," ujarnya.

Sumber : kumparan, pembelaislam.com, tribunislam

Objektif dalam Jurnalistik, Mungkinkah?

Objektif dalam Jurnalistik, Mungkinkah?



Oleh: Irfan Saeful Wathon, S.I.Kom.

(Alumni Prodi Ilmu Komunikasi Fisip Unpas)

Tujuan seorang wartawan muslim adalah tawashaw bil haq (menyampaikan kebenaran). Yang pada intinya, seorang wartawan muslim ingin menyeru seluruh umat di dunia kepada agama Islam – yang dalam pandangan seorang muslim adalah sebuah kebenaran satu-satunya. Pun demikian dengan wartawan berideologi lainnya, pasti ingin menyampaikan gagasan-gagasan dari pemikirannya melalui tulisan-tulisan yang dimuatnya.

Banyak orang berkomentar miring dan negatif tentang keberpihakan media massa kepada sebuah ideologi, baik ideologi politik, ekonomi, agama, atau yang lainnya. Media massa di Indonesia pun tak jauh dari cercaan masyarakat terkait keberpihakannya pada sebuah kepentingan politik.

Ideologi, ekonomi, politik, budaya atau apapun juga. Tentu saja keberpihakan tersebut sangat berpengaruh pada isi berita. Dalam konteks itulah, media memproduksi konstruksi realitas. Ia memiliki sudut pandang sendiri yang dianggap penting dan menarik. Perilaku seorang wartawan ketika memproduksi berita senantiasa dipengaruhi keyakinan, nilai, norma, dan budaya tertentu. Media (wartawan) selalu berada posisi tertentu ketika mencari berita. Dengan kata lain, tidak ada berita atau produk media yang bebas nilai, tuna ideologi, dan nihil kepentingan.

Peta ideologi media mainstream di Indonesia juga sebenarnya sudah menjadi rahasia umum. Contohnya, TVOne punya ideologi politik Golkar (pro Abu Rizal Bakrie), MetroTV punya ideologi politik Partai Nasional Demokrat (pro Surya Paloh). Republika adalah media Islam, Suara Pembaruan medianya kaum Kristen, dan media lainnya yang saat ini gampang menilainya. Jika ada yang tidak setuju, anggap saja ini adalah “pandangan pribadi” penulis.

Pertanyaan utamanya adalah, mengapa masyarakat umum bisa menilai, memandang negatif, dan sensitif terhadap sebuah media yang memihak kepada salah satu pihak? Hal ini sebenarnya terkait pada karakter ideal lembaga pers dan karya jurnalistik yang disimpulkan sebagian akademisi harus netral, objektif, tidak berpihak, dan berimbang.

Pasal 1 KEJ (Kode Etik Jurnalistik) berbunyi, “Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.” (dewanpers.or.id).

Pasal ini tidak salah sebagai sebuah nilai ideal. Tapi proses penyampaiannya yang menyebabkan banyak masyarakat dan akademisi menghujat media yang berpihak kepada salah satu pihak atau kelompok politik.

Dasar ini juga yang menjadi bahan pengajaran dosen-dosen di bidang jurnalistik dan media massa. Menurut kriteria nilai ideal tersebut, yang dituntut untuk berperilaku ideal adalah wartawan, bukan beritanya.

Ananda Puja Wandra, Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat IISIP Jakarta Periode 2010-2011, melalui tulisannya Jurnalis Berpihak itu Sebuah Keniscayaan, mengatakan bahwa dari 11 pasal yang terdapat dalam KEJ tersebut, semua ditujukan kepada manusia, bukan kepada produk jurnalistik yang dihasilkan.

“Kalau boleh berguyon, harusnya nama Kode Etik Jurnalistik itu diganti, Kode Etik Wartawan atau Kode Etik Jurnalis, karena frasa jurnalistik dalam Kode Etik Jurnalistik harusnya mengacu kepada produk jurnalistik yang dihasilkan. Jurnalistik itu adalah benda, sedangkan jurnalis adalah subyek,” pungkasnya. (pbhmi.or.id – 08/04/2016)

Akademisi seharusnya sudah memahami karakter dari setiap pasal dalam KEJ yang selalu memuat kata “wartawan” di awal bunyi setiap pasal. Artinya kelompok pers atau organisasi pers yang menyepakati KEJ tersebut paham bahwa produk jurnalistik yang dihasilkan berasal dari wartawan-wartawan yang membuatnya.

Perspektif berita sebagai hasil rekonstruksi yang tidak mungkin sepenuhnya netral, objektif, dan berimbang adalah berangkat dari paradigma positivisme. Ia menyimpan berita di luar diri wartawan atau media, seakan sebuah berita selalu bersih dari nilai yang dimiliki oleh seorang wartawan. Namun, fakta berbicara sebaliknya bahwa berita adalah sebuah realitas kedua atau sebuah informasi buatan.

Everette E. Dennis, sebagaimana dikutip oleh Dudi Sabil Iskandar dan Rini Lestari dalam Mitos Jurnalisme, mengemukakan bahwa objektivitas dalam jurnalisme adalah kondisi yang mungkin dicapai. Ia berangkat dari standar jurnalistik seperti cover all sides, kejujuran, dan sebagainya. Sebaliknya, John C. Merril membantahnya. Objektivitas tidak mungkin terjadi (mustahil). Semua proses berita (isu, narasumber, kata, kalimat, paragraph, sampai strategi penulisan) merupakan percampuran antara sikap mental, tindakan ideologis, dan kemampuan nalar yang didasari subjektivitas wartawan dan media. (2016:161-162).

Perkembangan kajian jurnalistik kontemporer hari ini telah membuktikan kepada kita bahwa pendapat Merril sulit dibantah. Berita di situs berita (online), surat kabar, televisi, dan majalah, semuanya hasil konstruksi wartawan dan media. Objektivitas berita sesuatu yang utopis dan berada di dunia lain.

Hasil produk jurnalistik tidak akan pernah terlepas dari wartawan/jurnalis. Semua elemen dalam karya jurnalistik itu berasal dari jurnalisnya sendiri. Bukankah sebuah tulisan adalah buah dari hasil pemikiran? Salah satu kebijakan redaksional yang dimiliki oleh seorang wartawan adalah; memilih satu berita atas berita lainnya. Karena tentu tidak semua peristiwa akan diliput oleh seorang wartawan, melainkan hanya yang sejalan dengan pemikirannya.

Bahkan hasil sebuah wawancara dengan narasumber pun bukanlah sebuah hasil yang bebas nilai. Ia selalu terikat dengan nilai, yaitu nilai dari ideologi wartawan itu sendiri. Mungkin kita menganggap bahwa sebuah berita tidak mengandung opini karena tanggapan/komentar yang tercantum dalam tulisan berita merupakan hasil wawancara dengan narasumber. Tapi pernahkah terpikir bahwa narasumber tersebut adalah pilihan atas kemauan sang wartawan? Ya, sebuah kemauan atas pemikirannya.

Ini yang menjadi dasar mengapa KEJ dibuat untuk wartawan, bukan untuk produk jurnalistiknya. KEJ “berharap” wartawan akan memakai nilai-nilai tersebut dalam karya jurnalistik yang dibuatnya. Sebagai suatu nilai ideal ini tidak salah, tapi hal ini adalah nilai uthopis yang tidak akan pernah bisa tercapai. Inilah yang bisa kita sebut bahwa berita adalah realitas kedua, karena realitas sesungguhnya ada sebagaimana sebuah peristiwa terjadi di tempat.

Pemahaman akademisi dan masyarakat umum saat ini banyak yang salah tafsir. Banyak yang berpendapat bahwa karya jurnalistik itu harus sesuai dengan KEJ. Harus berimbang, harus netral, tidak berpihak, tidak menyudutkan. Menurut penulis ini salah, karena KEJ sendiri sebagai landasan kegiatan kejurnalistikan tidak pernah menganjurkan berita/produk jurnalistik lainnya untuk bisa berimbang, dan netral. Kata kuncinya pada KEJ itu ditujukan untuk wartawan, bukan produk jurnalistiknya.

Mengapa Penulis katakan nilai ideal ini tidak akan pernah tercapai? Jawabannya sangat simpel, karena wartawan atau jurnalis itu adalah manusia, dan manusia itu adalah subjek. KEJ menuntut objektifitas, sedangkan manusia sebagai subjek akan sangat sulit bisa objektif memandang suatu masalah/kasus. Terutama jika sudah menyangkut pada ideologi pribadinya sendiri.

Wartawan-wartawan yang beragama Islam punya kecenderungan memihak golongannya dalam setiap karya jurnalistik yang dihasilkan ketika menyikapi kasus-kasus konflik horizontal antar agama, begitu juga sebaliknya dengan agama lain. Wartawan-wartawan TVOne (pembahasan ini sebenarnya masuk dalam ekonomi politik media) tidak akan rela untuk memberitakan kejelekan Golkar dengan porsi besar. Begitu juga MetroTV tidak akan memberitakan sesuatu yang negatif tentang Partai Nasional Demokrat dan Surya Paloh. Bukankah ini subjektif? Penulis katakan ini sangat sarat subjektifitas.

Manusia tidak bisa diperintahkan untuk berlaku objektif, karena manusia bukan benda yang tidak terpengaruh oleh lingkungan. Jika wartawan adalah benda mati, barulah objektifitas bisa didapatkan, tapi selama wartawan masih bernyawa, memiliki lingkungan, berideologi, beragama, dan bermasyarakat, objektifitas tidak akan pernah bisa terwujud, yang ada hanya upaya dari jurnalis untuk meminimalisir subjektifitas yang ada.

Hemat penulis, karya jurnalistik yang dihasilkan tidak bisa objektif (ini tidak lantas menjadi buruk), khususnya yang berkaitan dengan isu-isu ideologi politik dan ekonomi media massa yang bersangkutan. Apakah hal ini salah? Penulis pikir tidak. Karena memang subjektifitas adalah sebuah keniscayaan dan objektifitas adalah suatu uhtopia dalam karya jurnalistik.

Idealnya pengajar dan akademisi di bidang jurnalistik di kampus-kampus lebih mendalami paradigma kritis media dari pada secara terus menerus menekankan objektifitas jurnalis/produk jurnalistik yang tidak akan pernah ada (pandangan positivis).

Mereka yang sedang menimba ilmu kejurnalistikan harus lebih ditekankan pada karya-karya yang berpihak pada sebuah ideologi. Karya jurnalistik itu tidak netral, tapi berpihak. Berpihak pada nilai-nilai kebenaran pribadi jurnalis dan nilai-nilai kebenaran umum yang berlandaskan pada hukum yang berlaku.

Wartawan yang berusaha idealis itu banyak, tapi wartawan yang objektif tidak akan ada, karena idealis adalah upaya mempertahankan dan memasukkan nilai-nilai kebenaran pribadi pada karya jurnalistik yang dihasilkan. Dan sekali lagi, ini adalah sebuah keniscayaan.

Ukuran objektifitas sebuah karya jurnalistik hanya bisa diukur lewat mode kuantitatif, dan hal ini hampir mustahil, karena wartawan tidak akan pernah menghitung jumlah kata-kata ideologis yang dimuat dalam karyanya ketika menulis teks. Terlebih karena sentimen produk jurnalistik tidak bisa pula diukur secara kuantitas.

Hal ini semakin memperkuat teori bahwa teks (produk jurnalistik) tidak bisa berdiri sendiri karena dipengaruhi subjektifitas wartawan. Masyarakat dan akademisi harusnya bukan mengkritisi media massa/jurnalis yang berpihak kepada salah satu ideologi, tapi kritik harusnya ditujukan pada konten karya jurnalistiknya. Karya jurnalistik yang baik juga memperhatikan isu sosial dan efek di masyarakat sebagai sebuah kontrol sosial. Berhentilah menghujat media karena keberpihakan adalah sebuah kepastian, dan netralitas adalah sebuah uthopia. [syahid/]

Tulisan diambil dari skripsi penulis yang berjudul Konsep Diri Wartawan Muslim, Universitas Pasundan, Bandung, 2017

Sumber : voa-islam.com

Ini Kalimat dan Kebijakan ‘Rasis’ yang Pernah Dikeluarkan oleh Trump

Ini Kalimat dan Kebijakan ‘Rasis’ yang Pernah Dikeluarkan oleh Trump


Donald Trump Foto: NBC News

10Berita, WASHINGTON— Presiden Amerika Serikat, Donald Trump sering membuat pernyataan yang mengejutkan dan Rasis. Pernyataan Rasis Trump sering mendapatkan kecaman dari beberapa pemimpin dunia.

Juru Bicara Hak Asasi Manusia PBB, Rupert Colville mengatakan “Tidak ada kata lain yang bisa digunakan untuk menggambarkan seorang Trump selain rasis. Anda tidak bisa menyebut sebuah negara atau benua ‘gembel’ hanya karena populasinya bukan orang kulit putih. Ini tidak bisa diterima,” ujar Rupert.

Rupert melanjutkan, Bukan sekali saja Trump menyampaikan kalimat yang menunjukkan rasisme-nya. Dilansir dari laman Channel News Asia, Sabtu (13/1/2017),  berikut beberapa komentar dan kebijakan rasis Trump yang pernah dikatakannya:

1. Sebut Barack Obama orang Afrika, bukan AS

Trump pernah secara terang-terangan menyatakan keraguannya atas kewarganegaraan mantan presiden AS Barack Obama. Bahkan tanpa didukung bukti yang jelas, Trump menyebut Obama orang Afrika bukan orang AS.

Namun, saat diungkit kembali mengenai pernyataannya pada masa kampanye di 2016 lalu, dengan enggan Trump mengakui bahwa Obama memang lahir di AS.

“Presiden Barack Obama lahir di Amerika Serikat. Titik,” katanya, sebelum menolak menjawab pertanyaan lain dari wartawan.

2. Sebut warga Meksiko kebanyakan orang jahat

Saat mengumumkan pencalonannya sebagai presiden AS di Trump Tower pada Juni 2015 lalu, Trump membuat pernyataan yang sarat penghinaan tentang imigran Meksiko.

“Saat Meksiko mengirim warganya ke sini, mereka tidak mengirim orang-orang baik. Mereka justru mengirim orang-orang yang memiliki banyak masalah. Mereka adalah pecandu narkoba, pemerkosa, dan pelaku kejahatan lain, meski mungkin ada juga beberapa orang baik,” ujarnya.

3. Membuat kebijakan anti-muslim

Setelah dilantik menjadi presiden, Trump langsung mengeluarkan kebijakan yang menunjukkan dirinya anti-muslim. Trump melarang penduduk dari negara mayoritas muslim masuk ke AS sebagai upaya yang diklaimnya untuk mencegah terorisme.

Adapun negara-negara yang terkena dampak kebijakan kontroversialnya itu antara lain adalah Chad, Iran, Libya, Suriah, Somalia dan Yaman.

4. Sangat condong kepada orang kulit Putih

Pada Agustus 2017 lalu, Trump pernah mendapat kecaman dari sejumlah pihak karena tidak mengutuk aksi demonstrasi supremasi kulit putih di Charlottesville, Virginia, AS. Padahal demonstrasi yang berujung bentrokan itu telah menyebabkan kematian seorang demonstran.

“Saya pikir kesalahan ada di kedua belah pihak. Kedua belah pihak pasti ada sisi baiknya. Tidak semua dari mereka adalah neo-Nazi. Tidak semua dari orang-orang itu adalah supremasi kulit putih,” pungkasnya. []

Sumber :Islampos 

Teroris Israel Dibalik Ledakan Bom Mobil Lebanon yang Mentargetkan Anggota Hamas

Teroris Israel Dibalik Ledakan Bom Mobil Lebanon yang Mentargetkan Anggota Hamas

Ledakan tersebut menghancurkan mobil Mohammed Hamdan [Ali Hashisho / Reuters]

10Berita,  Sebuah ledakan bom mobil di kota Sidon, Lebanon selatan, telah melukai seorang anggota Hamas, menurut kelompok Palestina tersebut, yang menyalahkan Israel atas upaya pembunuhan tersebut.

Mohammed Hamdan menderita cedera kaki pada hari Minggu (14/1/2018) setelah sebuah bom yang ditanam di mobilnya diledakkan, kelompok media Hamas mengatakan dalam sebuah pernyataan.

"Indikasi awal menunjuk pada jari-jari Zionis [Israel] di balik tindakan kriminal ini," kata Hamas tanpa rincian lebih lanjut.

Hamdan dibawa ke rumah sakit setempat untuk perawatan, menurut laporan media lokal dan sebuah foto yang dikeluarkan oleh Hamas.

Stasiun berita Lebanon mengatakan ledakan tersebut terjadi saat orang-orang Palestina memasuki mobilnya di daerah al-Boustan al-Kabir di Sidon, sekitar 40km selatan ibukota Lebanon, Beirut.

Ledakan dahsyat

Bom tersebut menggunakan sekitar 500 gram bahan peledak dan ditempatkan di bawah kursi pengemudi, menurut Kantor Berita Nasional Lebanon.

Ledakan tersebut menghancurkan kendaraan dan menyebabkan kerusakan pada bangunan di dekatnya, menyebabkan asap hitam naik di atas kota.

Petugas pemadam kebakaran bergegas ke tempat kejadian untuk memadamkan api, sementara pasukan keamanan mengepung daerah tersebut.

Hamas menyebut Israel terlibat dalam pembunuhan sejumlah anggotanya di dalam dan di luar Palestina.

Pada bulan November 2017, agen intelijen nasional Israel Mossad melakukan pembunuhan atas Mohammed al-Zawari, seorang komandan sayap militer Hamas, Brigade Qassam, setelah melakukan pengintaian selama 11 bulan.  ()

Sumber : Al-Jazeera