OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Jumat, 21 April 2017

Pelajaran untuk PKS

Pelajaran untuk PKS

Oleh: Sapto Waluyo, Center for Indonesian Reform

SEMULA  artikel ini akan diberi judul ‘Pelajaran dari PKS’. Tapi, setelah penyusunan fakta dan logika, Penulis bertanya kepada diri sendiri: memangnya sehebat apa Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang baru berusia 19 tahun (jika dihitung dari kelahiran Partai Keadilan pada 1998 sebagai cikal bakalnya)? Tak ada yang dahsyat seperti, misalnya Partai Demokrat (PD) yang berusia lebih muda (16 tahun), namun sudah sukses menempatkan pendirinya (Susilo Bambang Yudhoyono) sebagai Presiden RI selama dua periode (2004-2014).

Pendukung PKS sering menyebut diri sebagai ‘Partai Dakwah’, tetapi capaian dakwahnya masih sangat jauh dibandingkan gerakan dakwah sekelas Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) yang sudah berusia satu abad. Dalam usia muda dan ukuran politik menengah (6,79 persen perolehan suara nasional dalam pemilihan umum 2014), maka kontribusi PKS untuk umat dan bangsa belum cukup signifikan. Karena itu, lebih realistik untuk mengajak kader dan konstituen PKS berefleksi bersama: apa pelajaran yang bisa dipetik selama 19 tahun masuk kancah politik nasional?

Pemerhati sejarah PK pasti mengingat artikel epik dari jurnalis senior Dahlan Iskan dalam sebuah harian lokal (Suara Indonesia, 21 September 1998) bertajuk “Massa Santun dalam Dunia yang Bergetah”. Dalam tulisan singkat itu, Dahlan memberi apresiasi kepada PK yang melakukan deklarasi di Gelora Pancasila Surabaya. Pendiri Grup Jawa Pos itu melihat suasana yang berbeda dibanding rapat besar partai-partai lainnya. Sebagian besar massa PK saat itu berusia muda (20-30 tahun), berwajah intelektual dan santun. Pesan utamanya, apakah PK (kemudian bermetamorfosi menjadi PKS) mampu bertahan dari getah (polutan politik) yang lama maupun baru?

Sekarang, saat yang tepat untuk menjawab pertanyaan sekaligus kekhawatiran Dahlan. Entah bagaimana pengurus PKS mendiskusikan dan merespon tantangan kontekstual itu. Yang jelas, selain capaian politik pemilu dan partisipasi dalam pemerintahan, PKS telah mengalami berbagai gelombang ujian: pimpinannya pernah didakwa korupsi, ada kader tersenggol kasus moral, ada pula tokoh pejabat yang bersengketa dengan partai sendiri. Makin lama publik menyaksikan PKS sudah seperti partai lainnya. Political parties as usual. Tak ada diferensiasi dan karakter yang jelas, karena itu tak cukup penting untuk diperhitungkan. Walaupun harus diakui, tingkat penyimpangan PKS jauh lebih rendah dibandingkan partai-partai nasionalis pada umumnya.

Sambil menunggu evaluasi obyektif dan komprehensif, perlu dilirik beberapa tindakan kecil yang dilakukan PKS, tapi luput dari sorotan publik karena PKS bukan media darling, bahkan pernah menjadi media demon. Pertama, beberapa hari lalu Presiden PKS Sohibul Iman ketahuan mengajukan surat pengunduran dari anggota DPR RI (DetikNews, 10 April 2017). Sebenarnya tak ada pengumuman resmi dari DPP PKS, karena surat itu bocor ke media setelah dikirimkan ke pimpinan DPR RI dan KPU. Waktu ditanya wartawan, Sohibul yang pernah menjabat Wakil Ketua DPR RI periode 2013-2014 itu hanya menjawab singkat, “Ya, rapat pimpinan tertinggi PKS memerintahkan saya fokus untuk mengurus partai.”

That’s it. Cukup sekian, tak ada penjelasan yang berbunga-bunga dan para wartawan juga memandang: itu bukan berita! Nilai berita (news values) di negeri ini sudah berubah total. Jika seorang konglomerat mendirikan partai: itu berita. Jika konglomerat lain merebut kursi pimpinan partai politik, lalu menduduki posisi lembaga publik (DPR atau DPD RI): itu baru super berita!.

Publik tak sempat menyimak alasan PKS untuk menjaga nilai dan akhirnya menjadi norma organisasi, bahwa pimpinan partai harus konsentrasi mengurus partai dan tidak rangkap jabatan publik. Itulah yang dilakukan Nur Mahmudi Ismail (Presiden PK periode 1998-1999) ketika diangkat sebagai Menteri Kehutanan dan Perkebunan oleh Presiden Abdurrahman Wahid. Itu yang dilakukan Hidayat Nur Wahid tatkala terpilih sebagai Ketua MPR RI (2004-2009). Itu pula yang dilakukan Tifatul Sembiring (Menteri Komunikasi dan Informatika) serta Anis Matta (melepas jabatan Wakil Ketua DPR RI saat ditetapkan sebagai Presiden PKS). Norma itu tak sempat dilaksanakan Lutfi Hassan Ishaq saat menjabat Presiden PKS (2010-2013).

Apakah makna yang ingin dihayati PKS terkait rangkap jabatan itu? Bukan semata merayakan slogan, “My loyality to my party ends, when my loyality to my nation begins”, seperti sering dikutip oleh Presiden Soekarno dan John F. Kennedy. PKS hendak menegaskan batas yang jelas antara pengurus partai versus pejabat publik. Di tengah kepercayaan publik yang terus merosot terhadap partai politik, PKS berani membuktikan, bahwa mengurus partai sama penting dan ‘mulia’ dengan mengelola jabatan publik. Karena itu harus 24/7, tak bisa diselingi dengan kesibukan lain. Keyakinan yang terkesan naïf, tapi PKS tidak peduli, selama nilai dan norma itu efektif mengendalikan perilaku kadernya.

Tindakan PKS merupakan keganjilan di tengah keumuman baru yang melanda politik Indonesia, ketika para pengusaha berbondong-bondong masuk ke dunia politik: berebut jabatan partai dan lembaga publik. Normalitas baru juga berlaku bagi para pengamat dan relawan yang masuk ke ranah kekuasaan. Batas-batas kewenangan serta pertanggung-jawaban publik menjadi kabur, bahkan ada oknum yang secara sengaja membangun pintu berputar (revolving doors) agar bisa keluar-masuk domain yang berbeda dengan bebas, tanpa konsekuensi apapun.

Sohibul Iman, doktor ahli kebijakan teknologi dan industri lulusan Japan Advanced Institute of Science and Technology (JAIST) itu, tak bisa hidup di dua alam sebagai pimpinan partai dan politisi. Bukan karena kapasitas terbatas, tapi beban organisasi PKS memang lebih berat, mungkin beda dengan partai lain. Dari situ, PKS membuka peluang untuk membangun Good Political Party Governance (GPPG) yang makin jarang terdengar dalam perbincangan publik. Apakah eksperimen PKS berhasil? Masih perlu ditunggu dampaknya, tapi sampai saat ini –alhamdulillah– Sohibul terbebas dari ‘getah politik’ yang ditengarai Dahlan Iskan.

Kedua, PKS membuktikan diri bukan partai eksklusif, hanya membela kepentingan kelompok/komunitas tertentu. Pemilihan Kepada Daerah di Provinsi DKI Jakarta adalah contoh paling hangat untuk didiskusikan. PKS yang dikategorikan sebagai partai relijius mampu menggalang koalisi dengan partai nasionalis (Gerindra). Saat melukiskan kekompakkan PKS dan Gerindra, Prabowo Subianto dalam kesempatan Mukernas PKS 2016 menyatakan: “PKS adalah partai relijius yang nasionalis, Gerindra adalah partai nasionalis yang relijius. Jadi, kita punya titik temu. Kita belajar agama sama PKS, PKS boleh belajar sejarah kebangsaan sama Gerindra.” Sebenarnya kerjasama politik PKS juga dengan partai-partai lain di berbagai daerah, tapi lagi-lagi itu bukan isu menarik untuk media.

Sikap akomodatif dan inklusif PKS semakin kentara saat menerima pencalonan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DKI. PKS kehilangan kesempatan untuk menominasikan kadernya di pentas politik lokal yang bergema secara nasional, bahkan internasional. Namun, PKS belajar dari sikap legowo Prabowo yang menerima pencalonan Anies Baswedn –notebene adalah orang dekat Joko Widodo dalam pemilihan presiden tahun 2014.

PKS pernah mengalami isolasi politik total saat Pilkada DKI 2007 mengajukan pasangan Adang Daradjatun-Dani Anwar. Seluruh partai besar dan kecil (20 partai) melawan PKS sendirian, tapi PKS tak gentar. Lalu, pada Pilkada DKI 2012, PKS berkoalisi dengan PAN untuk mengusung Hidayat Nur Wahid dan Didik J. Rachbini, pasangan intelektual-ulama, tapi tak optimal. Karena, warga Jakarta memilih figur lain yang berpenampilan ‘ndeso’ (Joko Widodo). PKS sempat mengalami keguncangan internal, sehingga berkoalisi dengan petahana (Fauzi Bowo) yang akhirnya dinyatakan kalah suara.

Keterbukaan PKS dalam Pilkada 2017 ternyata masih disalahpahami sebagai partai yang tidak memiliki kader mumpuni untuk menjadi pejabat publik. Betapa bertolak belakang dengan persepsi yang dibangun terhadap PDIP yang dipuja-puji karena mempromosikan Joko Widodo (pengusaha furnitur) dan Tri Rismaharini (akademisi) selaku Walikota Solo (2005-2012) dan Surabaya (2010-2020), atau Gerindra yang mengusung Ridwan Kami (arsitek) sebagai Walikota Bandung (2013-2018).  Nasib PDIP dan Gerindra memang lebih beruntung dari PKS dalam isu promosi pejabat publik, karena dianggap sebagai partai yang sanggup menampung bakat-bakat besar, meski bukan kader binaannya langsung.

PKS tidak ambil pusing dengan pandangan nyinyir yang tidak berbasis argumentasi solid. Dalam usia remaja menurut ukuran politik, PKS ingin tampil sebagai diri sendiri, tidak terpengaruh oleh gaya kepemimpinan partai lain yang menonjolkan figuritas. Walaupun kader PKS, Ahmad Heryawan sukses memimpin Provinsi Jawa Barat selama dua periode (2008-2018) dengan penghargaan dari Kementerian Dalam Negeri dan Komisi Pemberantasan Korupsi (Republika, 24/2/2017), termasuk Irwan Prayitno yang baru saja terpilih kembali menjadi Gubernur Sumatera Barat periode kedua (2017-2022). Kader PKS terbukti mampu mengelola stabilitas daerah yang menjadi modal dasar pembangunan dan kemajuan daerah rawan, seperti Provinsi Maluku Utara yang dipimpin Abdul Gani Kasuba sebagai Gubernur (2013-2018).

Sikap keterbukaan dan kemampuan merawat kemajemukan juga ditunjukkan kader PKS, Muhammad Haris, yang menjabat Wakil Walikota Salatiga, Jawa Tengah mendampingi Walikota Yuliyanto (berlatar profesi pengusaha). Yuliyanto-Haris baru saja terpilih untuk melanjutkan periode kedua pemerintahannya. Tetapi, kader PKS harus bersikap obyektif dan berani introspeksi, bahwa menduduki posisi kekuasaan bukan berarti otomatis menciptakan kesejahteraan.

Pengalaman pemerintahan di Kota Depok sejak masa Nur Mahmudi Ismail (teknokrat) hingga Idris Abdul Shomad (ulama) menunjukkan tidak mudah untuk mengelola koalisi politik dan memperjuangkan aspirasi masyarakat yang beragam. Kinerja pemerintah kota Depok yang tidak terlalu mencorong menjadi tantangan kualitas kepemimpinan PKS di ranah publik.

Inilah, dua pelajaran penting yang patut diperhatikan PKS saat memperingati milad ke-19 tahun: bagaimana menjaga nilai dan norma partai secara konsisten, serta bagaimana membangun kapasitas kader dan partai/lembaga agar mampu mewujudkan harapan publik. Sudah lewat masa kampanye yang meluapkan janji-janji manis kepada masyarakat pemilih yang kondisi sosial-ekonominya kebanyakan masih memprihatinkan. Kini, tiba saatnya untuk memperjuangkan nasib rakyat dan mengangkat taraf kesejahteraan rakyat melalui tindakan dan kebijakan nyata.

Spirit baru PKS untuk “Berkhidmat kepada Rakyat” tidak hanya bermakna pelayanan dan pemberdayaan, sebagaimana selama ini sudah dilakukan oleh kader PKS bersama mitra organisasi/kelompok warga. Tetapi juga, harus melakukan pembelaan atas kepentingan rakyat di berbagai sektor kehidupan strategis. Sesuai dengan garis kebijakan Presiden PKS Sohibul Iman, kader PKS yang menjadi anggota legislatif di pusat dan daerah atau Kepala Daerah, harus melakukan transformasi struktural. Mengelola segala sumberdaya publik untuk menciptakan tatanan sosial-ekonomi-politik yang berkeadilan. []

Sumber: Islampos