OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Sabtu, 29 Juli 2017

Jokowi tak Perlu Kebakaran Jenggot Terkait Penolakan Presidential Threshold 20%

Jokowi tak Perlu Kebakaran Jenggot Terkait Penolakan Presidential Threshold 20%


10Berita- JAKARTA – Sekretaris Fraksi Partai Demokrat Didik Mukrianto mengatakan pernyataan Presiden Joko Widodo mengenai ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold menggelikan. Pernyataan Jokowi menyederhanakan persoalan yang normanya berbeda dengan logika dan nalar yang sangat subyektif dan tidak rasional. 

Didik mengatakan penetapan presidential threshold dengan besaran 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara sah nasional dalam Pemilu 2014 dan Pemilu 2019 memiliki posisi norma atau hukum dan logika yang berbeda. Juga, berbeda dalam hal implikasi struktur politik yang melandasinya. 

“Akal dan nalar sehat sangat jelas dapat menjelaskan, bagaimana menetapkan presidential threshold di kala pileg dan pilpres dilakukan serentak,” kata dia, Sabtu (29/7). 

Mulai Pemilu 2019, pemilihan legislatif (pileg) dan pemilihan presiden (pilpres) tidak lagi digelar pada waktu yang berbeda. Sesuai amanat putusan Mahkamah Konstitusi (MK), masyarakat memilih anggota legislatif dan presiden pada waktu yang sama atau serentak. 

Dengan demikian, Didik menjelaskan hasil Pileg 2014 tidak bisa digunakan sebagai tiket pada Pilpres 2019. Dia menyebutkan hasil pemilu tiga tahun lalu sudah kehilangan legitimasi untuk dijadikan dasar penetapan presidential threshold pada Pilpres 2019. 

Didik menyebutkan dua alasan hasil Pileg 2014 tidak bisa lagi digunakan sebagai dasar Pilpres 2019. Pertama, hasil Pileg 2014 sudah digunakan sebagai tiket atau menjadi dasar Pilpres 2014 yang mengantarkan Jokowi ke kursi presiden. 

“Selain itu, sudah barang tentu bisa menistakan siklus kepemimpinan nasional,” kata dia. 

Didik menjelaskan siklus kepemimpinan nasional dalam ketatanegaraan dan konstitusi berlangsung selama lima tahun. Dengan melandaskan Pilpres 2019 kepada hasil Pileg 2014 memberikan makna siklus kepemimpinan bisa begeser kepada siklus sepuluh tahun. “Tentu kalau ini yang terjadi maka akan melanggar konstitusi kita,” uja dia. 

Didik menambahkan Jokowi memang benar ketika menyatakan undang-undang merupakan produk legislatif atau DPR. “Tapi, sepertinya beliau lupa bahwa sesuai dengan konstitusi kewenangan membuat UU dilakukan oleh DPR bersama-sama pemerintah,” kata dia.

Apalagi, dia menerangkan, RUU Penyelenggaraan Pemilu adalah inisiatif Pemerintah. Selama pembahasan rancangan itu, pemerintah yang sejak awal bersikukuh menginginkan presidential threshold 20 persen kursi parlemen atau 25 persen suara sah nasional. 

“Atas dasar itulah, pascapenetapan presidential threshold 20 atau 25 persen menjadi keharusan bagi kami untuk menegakkan mandatory konstitusi tersebut,” kata Didik. 

Didik menjelaskan penegakkan kewajiban konstitusi merupakan bagian check and balances pelaksanaan dan kinerja pemerintah dalam konteks pengelolaan negara yang berbasis good and clean governance. Dengan demikian, pemerintah tetap berjalan pada trackyang benar serta tidak melanggar konstitusi. 

Sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara, Didik menambahkan, Jokowi tidak perlu kebakaran jenggot dengan subyektifitasnya. Sebagai Presiden, ia menuturkan, sudah seharusnya Jokowi bisa memberikan pembelajaran dan warisan yang baik, cerdas, dan punya nilai edukatif. “Apabila ingin menjadi negarawan,” kata dia. 

Sebelumnya, Jokowi menyindir sejumlah partai politik yang menolak ambang batas pencapresan sebesar 20 persen-25 persen. Dia menyatakan penolakan aturan tersebut baru terlontar sekarang, meski aturan serupa sudah diberlakukan pada Pemilu 2009 dan 2014. 

Sumber: Ngelmu