MEMBONGKAR CATATAN KELAM Kebohongan dan Kebiadaban PKI
10Berita~ Dalam acara Indonesia Lawyers Club (ILC) Selasa, 19 September 2017 lalu di TVOne, Ilham Aidit, putra DN Aidit (pimpinan PKI), menyatakan, peristiwa G 30S PKI bukan kudeta terhadap pemerintahan yang sah; tapi merupakan konflik internal dalam militer.
Ilham menyatakan, Kol Untung dan Mayjen Latief, dua orang gembong PKI, adalah teman-teman dekat Soeharto. Tampaknya Ilham ingin menyatakan bahwa peristiwa G30 S PKI adalah kesalahan Soeharto.
Pernyataan Ilham ini, jelas-jelas tidak sesuai fakta dan sejarah yang ada, di mana saksi-saksinya masih hidup sampai sekarang. Ilham, sekali lagi menunjukkan watak (seorang yang berjiwa PKI), pembohong besar.
Saat orang-orang yang terlibat dalam perjuangan menumpas PKI masih hidup, Ilham sudah melakukan pembohongan besar. Begitu pula teman-teman Ilham yang sekarang aktif di dunia politik. Mereka ingin membersihkan nama PKI dengan mencari kambing hitam; yaitu militer.
Militer dianggap pihak paling bertanggungjawab terhadap pembantaian para jenderal, pembantaian rakyat tak bersalah, dan pembantaian orang-orang PKI.
Tahun 1973-1975, waktu bertugas di Pulau Buru sebagai rohaniawan, saya banyak berbincang dengan “orang-orang PKI” yang menjadi tapol di sana. Sejumlah tapol di Pulau Buru sempat bercerita kepada saya, PKI memang berniat merebut kekuasaan. PKI ingin menjadikan Indonesia sebagai negara sosialis-komunis yang berkiblat ke Uni Soviet.
Jadi bohong besar kalau ada orang-orang dari keluarga aktivis PKI menyatakan bahwa Peristiwa G30 S PKI terjadi karena perselisihan intern di kalangan petinggi militer, khususnya Angkatan Darat.
Korban peristiwa G30S PKI memang banyak. Tapi, menurut Jenderal Abdul Haris Nasution, jika PKI menang niscaya jumlah korbannya di Indonesia lebih banyak lagi. Apa yang dikatakan Pak Nasution itu, nyata-nyata terjadi di Uni Soviet, Tiongkok, dan Kamboja.
Dalam buku The Black Book of Communism – Crimes, Terror, Repression (Mark Kramer, editor) tersaji data pembantaian manusia oleh partai komunis di berbagai negara. Selama lima tahun (1917-1923), Lenin membantai 500.000 orang di Uni Soviet. Penggantinya, Stalin dari tahun 1925-1953, membantai 40 juta rakyat Rusia. Kemudian Mao Zedong di Tiongkok, 1947-1976, membunuh 40 juta rakyatnya demi tegaknya komunisme. Sedangkan Rejim Komunis Polpot di Kamboja (Khmer), selama 4 tahun (1975-1979) membantai 2,5 juta orang. Menurut buku tersebut, orang-orang komunis di 72 negara di dunia telah membunuh 120 juta orang untuk merebut kekuasaan.
Dr. Mutiara, peneliti perbandingan ideologi, menyatakan satu-satunya ideologi yg mewariskan ajarannya dan juga "dendam"nya dalam struktur keluarga hanya komunisme. Itulah sebabnya, setiap negara yang dikuasai komunisme, pembanataian massal merupakan “ritual” yang tak terelakkan.
Di Indonesia sendiri, ambisi komunisme untuk menguasai pemerintahan, ditunjukkan sejak tahun pertama proklamasi. Sejarah mencatat, baru dua bulan setelah Indonesia merdeka, PKI sudah berkhianat dan menusuk pemerintahan yang sah dari belakang.
Di tahun 1945 saja, PKI melakukan sedikitnya delapan kali pengkhianatan dan teror terhadap pemerintahan yang sah. Pertama, 8 Oktober 1945, Gerakan Bawah Tanah PKI membentuk API (Angkatan Pemuda Indonesia) dan AMRI (Angkatan Muda Republik Indonesia) dengan tujuan untuk menjatuhkan pemerintah yang sah. Kedua, 15 Oktober 1945, AMRI Slawi pimpinan Sakirman dan AMRI Talang pimpinan Kutil meneror, menangkap dan membunuh sejumlah pejabat pemerintah di Tegal. Ketiga, 17 Oktober 1945 tokoh komunis Banten Ce’ Mamat yang terpilih sebagai Ketua KNI (Komite Nasional Indonesia) membentuk DPRS (Dewan Pemerintahan Rakyat Serang) dan merebut pemerintahan Keresidenan Banten melalui teror dengan kekuatan massanya. Keempat, 18 Oktober 1945, Badan Direktorium Dewan Pusat yang dipimpin Tokoh Komunis Tangerang, Ahmad Khoirun, membentuk laskar yang diberi nama Ubel-Ubel dan mengambil alih kekuasaan pemerintahan Tangerang dari Bupati Agus Padmanegara. Kelima, 21 Oktober 1945, PKI dibangun kembali secara terbuka dengan tujuan untuk makar terhadap pemerintah. Keenam, 4 November 1945 API dan AMRI menyerbu Kantor Pemda Tegal dan Markas TKR, tapi gagal. Lalu membentuk Gabungan Badan Perjuangan Tiga Daerah untuk merebut kekuasaan di Keresidenan Pekalongan yang meliputi Brebes, Tegal dan Pemalang. Ketujuh, 9 Desember 1945, PKI Banten pimpinan Ce’ Mamat menculik dan membunuh Bupati Lebak, R. Hardiwinangun, di Jembatan Sungai Cimancak. Kedelapan, 12 Desember 1945, Ubel-Ubel Mauk yang dinamakan Laskar Hitam di bawah pimpinan Usman membunuh Tokoh Nasional Otto Iskandar Dinata.
Sejak Indonesia merdeka tahun 1945 sampai Muso kembali ke Indonesia (1948), setelah “sekolah Marxisme dan Leninisme” di Uni Soviet selama 12 tahun, gerakan komunis terus melakukan berbagai upaya untuk merebut kekuasaan.
Begitu Muso pulang, gerakan komunis makin intensif. Juli 1948, Muso menggalang pemogokan buruh di Klaten. Agustus 1948, PKI membakar pameran HUT RI ke-3 di Taman Sriwedari, Surakarta. September 1948, Gubernur Jawa Timur RM Ario Soerjo dan dua perwira polisi dicegat massa PKI di Ngawi dan dibunuh, serta jenazahnya dibuang di dalam hutan.
Pada bulan yang sama, PKI menculik para kyai Pesantren Takeran di Magetan. KH Sulaiman Zuhdi Affandi digelandang secara keji oleh PKI dan dikubur hidup-hidup di sumur pembantaian Desa Koco, Kecamatan Bendo, Kabupaten Magetan. Di sumur tersebut kemudian ditemukan 108 kerangka jenazah korban kebiadaban PKI.
Selain itu, ratusan orang ditangkap dan dibantai PKI di Pabrik Gula Gorang Gareng. Puncaknya, 18 September 1948 Kolonel Djokosujono dan Sumarsono mendeklarasikan NEGARA REPUBLIK SOVIET INDONESIA dengan Muso sebagai Presiden dan Amir Syarifoeddin Harahap sebagai Perdana Menteri.
Sehari setelah deklarasi tersebut, PKI merebut Madiun, lalu menguasai Magetan, Ponorogo, Pacitan, Trenggalek, Ngawi, Purwantoro, Sukoharjo, Wonogiri, Purwodadi, Kudus, Pati, Blora, Rembang dan Cepu serta kota-kota lainnya. Ribuan orang tewas selama PKI menguasai daerah-daerah tersebut.
Pemberontakan ini baru berakhir 30 Oktober 1948 ketika Muso, Amir Syarifuddin, Suripno, Djokosujono, Maruto Darusman, Sajogo, dan pimpinan PKI yang lain ditangkap dan kemudian dihukum mati.
Gambaran di atas menunjukkan bagaimana karakter PKI. Ia terus merongrong NKRI, dari lahir (merdeka) sampai sekarang. Meski sudah dibubarkan dan dilarang keberadaannya di Indonesia, PKI terus mencoba hidup lagi dengan berbagai cara.
Di antaranya menyebarkan kebohongan-kebohongan seperti yang dilakukan Ilham Aidit dan kawan-kawannya tersebut.
Penulis: M. Bambang Pranowo (Guru Besar UIN Ciputat/Rektor Universitas Mathla’ul Anwar, Banten)
Sumber: Portal Islam