OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Kamis, 07 Februari 2019

Diganduli 7 Masalah Ekonomi, Jokowi Sulit Menang?

Diganduli 7 Masalah Ekonomi, Jokowi Sulit Menang?

I0Berita, Jakarta - Ditopang mayoritas lembaga survei dan media mainstream untuk menguatkan pamor Joko Widodo, boleh dibilang gagal. Elektabilitas sang petahana malahan terjun bebas karena masalah ekonomi.
Salah satu faktornya adalah realisasi janji kampanye Jokowi terutama sektor ekonomi. Terkesan kuat, janji Jokowi jauh panggang daripada api.
Menarik untuk menyimak pandangan dari mantan Menteri Otonomi Daerah, Prof Ryaas Rasyid. Dia mencatat ada tujuh fakta yang membuat Jokowi sulit memenangkan Pilpres. Ya, Jokowi bisa saja kalah kendati didukung kekuatan politik besar serta pemodal kakap.
Pertama, Prof Ryaas menyebut tutupnya ribuan perusahaan sepanjang pemerintahan Jokowi, terasa sangat mengganggu pertumbuhan ekonomi nasional.
Perusahaan yang gulung tikar itu, didominasi perusahaan yang mengolah bahan baku impor. Termasuk 50 atau 100 perusahaan tekstil di Jawa Barat nyungsep. "Saya baca di media online berita Kadin, tiga ribu lebih perusahaan anggota Kadin yang mengerjakan proyek infrastruktur juga belum dibayar," kata Prof Ryaas.
Kedua, gelombang PHK dan pengangguran sebagai konsekuensi gulung tikarnya perusahaan. Ketiga, masalah yang mendera Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau BPJS Kesehatan. Saat ini, BPJS Kesehatan dirundung masalah keuangan yang cukup serius. Banyak rumah sakit yang klaimnya belum dibayar.
"Saya belum cek betul apakah tidak dibayarnya itu karena dana BPJS dipakai untuk proyek infrastruktur, karena ada isu begitu. Atau karena dananya memang tidak cukup karena tanggungannya lebih besar daripada biaya penanggungan," jelas Prof Ryaas.
Alhasil, lanjutnya, ada usulan untuk menaikkan iuran BPJS Kesehatan. Di sinilah nyali Jokowi diuji. Kalau berani menaikkan iuran BPJS Kesehatan maka simpati untuk Jokowi bakal meredup dalam sekejab saja. "Begitu iursan BPJS naik maka rakyat akan langsung teriak," kata pria kelahiran Gowa, Sulawesi Selatan ini.
Keempat, meruginya sejumlah BUMN pertanda telah terjadi salah urus. Sejumlah BUMN disebu-sebut memiliki utang hingga US$50 juta dari China. Duit utangan itu kabarnya disuntikkaan ke sejumlah bank pelat merah untuk menyokong infrastruktur agar tidak mangkrak. "BUMN yang karya karya itu kan kontraktor sebenarnya tapi dipaksa menjadi investor. Coba bayangkan, apa nggak ngawur ini."
Kelima, utang negara terus membengkak yang acapkali menjadi pembicaraan di ruang publik. Hingga Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Ekonom Senior Rizal Ramli, sem[at adu argumentasi kuat soal ini.
Yang satu mengatakan pengelolaan utang sudah tepat dan sangat prudent. Sedangkan kubu lainnya menyebut utang negara sudah masuk lampu merah. Ini kan membingungkan. Saya yang bukan ahli keuangan dan ekonomi, cuma bisa begini saja. "Utang bukan diukur dari sekian persen dari PDB, tapi hitunglah dari kemampuan membayar cicilan. Itu lebih riil kan. Sekarang APBN mampu-enggak bayar cicilan?
Faktanya, untuk membayar cicilan utang tahun ini, duitnya dari pinjaman alias ngutang lagi. "Jadi jangan sok bicara ekonomi makro ini masih sekian persen dari PDB dll. bukan itu. Aspek membayar cicilan itu, sanggup tidak APBN kita. Ternyata kan tidak. Tapi orang ekonomi terlalu teoritis semua," tegas Prof Ryaas.
Keenam, importasi komoditas pangan mulai dari garam, beras, bawang dan lain lain. "Bukan rahasia lagi dalam impor itu ada kongkalikong. Gak mungkin dapat izin impor itu kalau tidak menyogok. Gak ada impor itu yang gratis.
Menariknya, ada pejalasan dari Menteri Perdagangan Enggartiarso Lukito bahwa semua impor beras itu perintah dari Wakil Presiden Jusuf Kalla. "Dia bilang semua keputusan berdasarkan rapat koordinasi. Dengan Menko Ekuin. Jadi penambahan menjadi dua juta ton itu perintah JK dengan alasan karena takut ada chaos."
Ketujuh, anjloknya nilai tukar (kurs) rupiah terhadap dolar AS. "Tadi saya kasih statemen kalau dolar AS bertahan 15 ribu, atau lebih buruk lagi sampai hari H pemilu, maka Jokowi bukan dikalahkan Prabowo tapi dikalahkan oleh dolar AS," ujar Ryaas Rasyid.
Kemungkinan Jokowi dikalahkan dolar AS, bisa jadi benar adanya. Apalagi, neraca perdagangan sepanjang Jokowi masih defisit. Hal inilah yang mendorong rupiah tidak akan pulih ke keadaan semula.
"Tiga bulan lalu, saya bertemu teman di Singapura dan orang-orang perbankan. Mereka bilang, Pak Ryaas rupiah tidak mungkin menguat selama neraca perdagangan masih defisit. Kalau defisit maka Anda akan butuh dolar AS dalam jumlah besar. Nah kalau sudah begitu, dolar AS tidak akan turun," paparnya.
Jadi, tidak usah pakai ilmu yang tinggi-tinggi kalau mau memperbaiki nilai tukar rupiah, perbaikilah dulu neraca perdagangan. Dan itu hanya bisa terwujud kalau ekspor naik signifikan serta impor bisa ditekan.
Dua ekonom senior Rizal Ramli dan Kwik Kian Gie, sudah sering mengingatkan Jokowi untuk membatasi impor khususnya pangan. Karena hal itu tidak sesuai dengan janji kampanyenya yakni kedaulatan pangan, energi, dan keuangan.
Melambungnya impor di era Jokowi melahirkan defisit atas neraca perdagangan sepanjang 2018 sebesar US$8,57 miliar. Padahal, saat kampanye menjelang pilpres 2014, Jokowi selalu mengumandangkan setop impor pangan.
Mandat dari langit masih ditunggu pada April nanti, meski sinyal perubahan terus menguat sejak awal tahun ini. Namun semuanya bisa jadio meleset lantaran Jokowi mampu berbenah dalam sekejab. Sebaiknya kita tunggu saja apa hasilnya. [ipe]

Sumber :