Referensi pihak ketiga
10Berita  Baru-baru ini nama Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani memang menjadi fokus banyak pihak. Tak hanya dari oposisi namun, beberapa ekonom juga menyoroti kebijakannya.
Apalagi beberapa hari lalu Sri Mulyani tegas dalam puisinya menyindir Calon Presiden Nomor Urut 02, Prabowo Subianto gara-gara tudingan 'Menteri Pencetak Utang'.
Tapi seakan jadi boomerang untuk Sri Mulyani, puisinya mendapatkan tanggapan kurang positif dari ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira Adhinegara. I menyebut tulisan Sri Mulyani dalam unggahan media sosialnya tidak relevan. Sebab, yang dikritik tentang Sri Mulyani adalah soal utang.
Sementara dalam narasinya, Sri Mulyani menjelaskan capaian pemerintah dalam pengalokasian dana APBN—yang notabene berasal dari penerimaan negara dan utang.
"Jangan lupa, di situ ada kontribusi penerimaan pajak. Prabowo tidak mengkritik penerimaan pajak, Prabowo mengkritik utangnya," jelas Bhima seperti dikutip BBC.
"Bu Sri Mulyani mencampurkannya. Jadi kita bingung, apa benar itu dibiayai utang? Padahal penerimaan pajak juga punya andil cukup besar untuk pembangunan," imbuhnya.
Bhima sepakat, bahwa infrastruktur diperlukan untuk meningkatkan konektivitas, daya saing, dan produktivitas. Di sisi lain menurunkan biaya logistik yang sekarang masih 24 persen dari produk domestik bruto (PDB)—salah satu yang tertinggi di ASEAN.
Namun, yang menjadi polemik kemudian adalah infrastruktur mana yang menjadi prioritas di tengah keterbatasan. Di sinilah muncul paradoks.
"Untuk menurunkan biaya logistik, yang dibangun jalan tol. Pembuatan jalan tol yang komersil otomatis biayanya pasti lebih mahal dan pastinya akan berujung pada tarif yang lebih mahal kepada pengguna, khususnya angkutan logistik," jelas Bhima.
Menurut Bhima, pembangunan tol laut lebih tepat ketimbang memperbanyak tol darat mengingat Indonesia adalah negara maritim,
"Itu solusi yang lebih bagus. Armadanya diperbanyak, pelabuhan laut dalamnya didorong," kata dia.
Lebih jauh, Bhima mengungkapkan tidak semua proyek infrastruktur didanai oleh APBN. Sebagian besar malah dibangun oleh perusahaan negara (BUMN). Masalah yang muncul kemudian adalah BUMN yang mencari pembiayaan sendiri harus menghadapi risiko likuiditas.
"BUMN yang terus dipaksa untuk membangun infrastruktur melalui penugasan, ternyata punya masalah ke depan dalam segi cashflownya. Idealnya, swasta yang harus banyak bangun infrastruktur yang komersil," terangnya.
Sumber : pantau.com (04/02/2019)