07
Politik Membelah Ulama dan Pembelaan Terhadap Penista Agama
oleh : Dr. Slamet Muliono*
Situasi politik pasca ditetapkannya Ahok sebagai tersangka, negeri ini sudah memasuki tahap yang memprihatinkan. Setelah adanya upaya untuk memecah kekuatan berbagai elemenIslam, maka saat ini muncul upaya untuk membenturkan antar ulama.
Yang lebih tragis lagi, benturan antar ulama itu sengaja diciptakan dalam rangka untuk memecah belah kekuatan umat Islam. Politik pecah belah ini tidak lepas dari munculnya fenomena persatuan umat Islam yang demikian kokoh pasca terjadinya Aksi Bela Islam II pada tanggal 4 Nopember 2016 (411). Aksi umat Islam yang demikian solid ini tidak lepas dari komando ulama yang konsisten dalam memperjuangkan aspirasi umat Islam.
Mendelegitimasi Ulama
Aksi 411 merupakan sebuah respon umat Islam, karena tidak disentuhnya Basuki Thahaja Purnama (Ahok) oleh aparat penegak hukum, setelah terbukti melakukan penistaan agama. Aksi umat Islam itu sifatnya murni dan tidak ada kepentingan lain kecuali untuk membela Al-Qur’an yang telah dinistakan oleh calon Gubernur beretnis China itu. Aksi elegan dan massif setelah pihak Majelis Ulama Indonesia (MUI) secara resmi mengeluarkan fatwa untuk menghukum pelaku penista agama itu.
Atas fatwa itu, para pendukung Ahok mengadakan pukulan balik dengan sebuah gerakan untuk menistakan ulama. Tuntutan mereka adalah menuntut pembubaran terhadap MUI. MUI dituduh sebagai pemicu munculnya aksi 411 sehingga menjadi gerakan besar yang meresahkan masyarakat. Mereka melihat bahwa fatwa MUI itu dianggap sebagai akar dari gejolak yang mendorong umat Islam untuk melakukan gerakan massif. Oleh karena itu, pembubaran MUI merupakan konsekuensi logis guna menghindari aksi-aksi serupa.
Gerakan untuk mendekonstruksi MUI terus dilakukan pasca 411. Salah satunya adalah memecah belah ulama sehingga terjadi benturan di antara ulama. Salah satu indikator itu bisa dilihat dari kedatangan presiden Jokowi di kantor NU dan Muhammadiyah pasca aksi 411 itu. Kedatangan Jokowi ke kantor kedua ormas keagamaan ini setidaknya mengandung dua interpretasi.
Pertama, sebagai upaya agar gelombang aksi akan mereda di tengah proses pemeriksaan Ahok. Kedua, upaya untuk memperoleh dukungan dari kedua ormas itu untuk menghadapi kekuatan MUI. Dengan kata lain, mendatangi kedua ormas terbesar umat Islam itu adalah sebuah gerakan untuk mendelegitimasi peran MUI sekaligus mengajak umat Islam untuk merujuk hanya kepada kedua ormas ini.
Upaya mendeligitimasi MUI ini bisa dilihat dengan tidak dikunjunginya ormas lain yang berperan dalam menggerakkan aksi umat Islam seperti Front Pembela Islam (FPI). Tidak diajak bicaranya ormas Islam secara keseluruhan menunjukkan adanya upaya untuk membenturkan antara elemen ormas Islam. Namun membenturkan di antara ulama tidak menunjukkan hasil yang signifikan.
Membenturkan antar ulama tidak berhenti disitu. Memecah belah ulama terlihat dengan adanya tawaran James Riyadi yang siap menyumbang rumah sakit melalui Pengurus Besar Nahdhatul Ulama (PBNU). Tidak ada angin dan tidak ada hujan, tiba-tiba sanga Taipan itu membantu salah-satu ormas Islam. Arahnya jelas bahwa bantuan itu agar suara ulama NU tidak terlau kencang sehingga proses penegakan hukum terhadap Ahok agak melemah. Yang jelas bahwa langkah membantu NU bukan tahap tujuan atau gratis. Secara politik, bantuan terhadap NU akan menciptakan situasi yang berbeda sehingga NU bisa tidak sekencang MUI dalam kasus Ahok. Kalau MUI menuntut tindakan pemenjaraan terhadap Ahok, maka dengan adanya bantuan itu, NU diharapkan akan bersikap lunak terhadap proses penegakan hukum bagi sang penista agama.
Solidaritas dan Soliditas Ulama
Namun yang luput dari sorotan para Ahokers bahwa para ulama baik yang tergabung dalam MUI, NU, Muhammadiyah maupun ormas yang lain, memiliki pandangan yang sama dalam melihat Ahok.
Pertama, Ahok sebagai penista agama. Para ulama dari ormas Islam yang berbeda baju sepakat bahwa Ahok telah menistakan agama dan sudah seharusnya memperoleh hukuman berat. Kedua, harus ada penegakan hukum. Para ulama lintas ormas Islamsepakat bahwa penyelesaian kasus Ahok dengan menegakkan hukum yang berlaku.Ketiga, tidak ditangkapnya penista agama akan menciptakan keresahan sosial. Para ulama semuanya sepakat bahwa kegaduhan dan keresahan sosial dikarenakan adanya pembiaran terhadap penista agama. Oleh karena itu, terjadinya kegaduhan dan keresahan berakar pada ucapan Ahok yang jelas-jelas telah menistakan agama.
Fenomena 411 merupakan momentum yang tepat untuk melihat bersatunya ulama. Bersatunya ulama bisa dilihat dari sejarah keberhasilan Indonesiaketika mengusir penjajah kolonial yang telah bercokol berabad-abad di Indonesia. Pekik “Allahu Akbar” merupakan produk ulama dan terbukti telah mempersatukan umat Islam sehingga Belanda harus kalah dan hengkang dari bumi pertiwi ini.
“Penista agama” adalah musuh bersama umat Islam, dan hal ini telah membuat ulama dan umat Islam bersatu. MUI merupakan kumpulan para ulama yang saat ini terus dibenturkan. Membenturkan ulama dengan membela penista agama merupakan cara kolonial yang ingin diterapkan kembali. Belanda memang membenci dan memusuhi Islam tetapi ulama berhasil menyatukan energi umat Islam dan berhasil mengusirnya.
Sementara sang penista agama bukan hanya memusuhi Islam tetapi menistakannya secara terbuka. Para ulama yang tergabung dalam MUI terus menerus mengalami delegitimasi, dibelah, dan dibenturkan, hingga dituduh sebagai otak makar di negeri ini. Namun Allah menunjukkan dan membongkar makar mereka, sehingga ulama berhasil mempersatukan umat Islam untuk berjuang melawan sang penistaagama dan kroninya.
Surabaya, 23 Nopember 2016
*Penulis adalah dosen di UIN Sunan Ampel dan STAI Ali Bin Abi Thalib Surabaya
*Penulis adalah dosen di UIN Sunan Ampel dan STAI Ali Bin Abi Thalib Surabaya
Sumber: Fokus Islam